10 Diplomasi Meraih Kedaulatan Penuh Indonesia


Dalam arus sejarah nasional Indonesia, buat memperoleh kemerdekaan Indonesia menempu sejumlah cara agar bisa memproklamasikan kemerdekaannya. Hidup dalam masa pendudukan Jepang bukan berarti Indonesia mendapatkan angin segar buat mencapai kemerdekaan lewat Jepang yang berhasil mengusir kedudukan Belanda di Hindia Belanda.

Indonesia sendiri kemudian perlu hidup dalam pengaruh Jepang serta mendukungnya dalam Perang Asia Timur Raya. Kekalahan Jepang serta kekosongan kekuasaan, kemudian menjadi titik terang bangsa Indonesia buat memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Proklamasi bukanlah akhir, melainkan pijakan awal bagi bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan secara penuh dari ujung barat hingga timur Indonesia. Bangsa Indonesia kemudian menyelenggarakan segala upaya seperti pertahanan secara militer serta diplomasi internasional buat memperoleh pengakuan dunia Internasional.

Berikut 10 Diplomasi Indonesia buat meraih kedaulatan penuh:

1. Kapitulasi Jepang, September 1945


Tiga hari pasca penghancuran Nagasaki oleh bom atom yang dijatuhkan AS. Panglima Militer Jepang, Jenderal Terauchi Hisaichi pada tanggal 12 Agustus 1945 mengundang Soekarno serta Radjiman Wedyodiningrat ke Dalat, Vietnam.

Kehancuran Jepang seperti terlah terlihat oleh Terauchi serta kemudian membiarkan Indonesia buat memproklamasikan kemerdekaannya. Kemudian pada 2 September secara resmi mengungkap kapitulasi di atas kapal USS Missouri.

2. Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945


Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Golongan Pemuda Sudah mengetahui Kabar kekalahan Jepang lewat sambungan radio Jepang serta memaksa Soekarno serta Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus 1945.

Soekarno sendiri kemudian menyetujui kalau kemerdekaan bakal dilaksanakan Jumat, 17 Agustus 1945 setelah serangkaian perdebatan dengan golongan muda serta mendapatkan jaminan oleh Ahmad Sobardjo. Pada malam hari sebelum proklamasi, Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi.

Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya buat dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno serta Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56.

3. Kabinet Sjahrir I, November 1945


Ketika Soekarno serta Hatta kemudian menjadi presiden serta wakil presiden Indonesia. Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Tanggal 14 Oktober 1945, dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel atau Semi-Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan dari presidensil menjadi parlementer  agar dianggap lebih demokratis.

Sutan Sjahrir kemudian menjadi Perdana Menteri Indonesia yang awal serta kemudian menjadi diplomat ulung Indonesia dalam menggalang dukungan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir kemudian mempunyai peran besar dalam Perundingan Linggarjati.

Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat selaku momen paling menentukan

4. Perundingan Linggarjati, November 1946


Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) serta meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral serta dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak selaku mediator dalam perundingan ini.

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro serta kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Diantara mereka yang kontra terhadap perjanjian tersebut menilai Perdana Menteri Sjahrir lemah dalam mempertahankan kedaulatan, sebab perjanjian tersebut merugikan Indonesia.

Sjahrir kemudian mundur selaku perdana menteri, sebulan setelah penadatanganan perjanjian.

5. Agresi Militer I, Juli 1947


Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Tujuan utama agresi Belanda yaitu merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya serta daerah yang mempunyai sumber daya alam, terutama minyak.

Namun selaku kedok buat dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini selaku Aksi Polisionil, serta mengungkap tindakan ini selaku urusan dalam negeri.

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, sebab agresi militer tersebut dinilai Sudah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India serta Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. Ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.

6. Perjanjian Renville, Desember 1947
Perjanjian Renville yaitu perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat selaku tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda hanya mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, serta Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan.

Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 serta ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, serta Belgia.

Pemerintah RI serta Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat buat menyelenggarakan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tetapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan mermacam laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, serta sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang serta Bekasi.

7. Agresi Militer II, Desember 1948


Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melanggar gencatan senjata serta isi Perjanjian Renville. Mengerahkan 80.000 pasukan Belanda kemudian menyerang ibu kota Indonesia di Yogyakarta serta menyelenggarakan penangkapan kepada Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir serta beberapa tokoh lainnya.

Pemerintah RI kemudian membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda.

AS sendiri kemudian berhasil menekan Belanda buat berunding dalam dengan Indonesia dalam KMB dengan mengancam mencabut Marshall Plan yang harusnya digunakan buat kepentingan ekonomi, bukan agresi militer.

8. Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949


Pasca mendapatkan desakan internasinal serta menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen , Belanda kemudian bersedia menarik mundur pasukannya serta menghentikan agresi serta membebaskan para pemimpin republik.

Belanda kemudian bersedia berunding dengan Indonesia pada 23 Agustus 1949. Perundingan ini menyertakan perwakilan Republik Indonesia, Belanda, serta BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili mermacam negara yang dibentuk Belanda di kepulauan Indonesia.


Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial serta militer.Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda dalam waktu selambatnya 30 Desember 1949. Belanda sendiri mengakui kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS.

Mengenai Papua Barat bakal dibahas setahun kemudian. Indonesia sendiri perlu bersedia membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai buat agresi militer selama perang kemerdekaan.

9. Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949

 buat memperoleh kemerdekaan Indonesia menempu sejumlah cara agar bisa memproklamasikan k 10 Diplomasi Meraih Kedaulatan Penuh Indonesia
Bung Hatta (kedua dari kiri) di Istana Dam, Amsterdam, serta Ratu Juliana (kedua dari kanan) pada ketika penyerahan kedaulatan. Image Source

Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia serta Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.

10. Perjanjian New York 1962, Penyerahan Papua Barat


Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag ketika pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda disebutkan kalau masalah Papua bagian barat bakal diselesaikan dalam tempo satu tahun sejak KMB. Namun sampai tahun 1961, tidak terselesaikan.

Dalam perjalanannya pihak Belanda kemudian menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan buat menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.

Indonesia menentang rencana ini sebab mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua selaku bagian dari wilayahnya.  PBB sendiri memutuskan kalau Papua bagian barat mempunyai hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.


Karena tidak mendapatkan dukungan PBB dalam penyelesaian konflik Papua Barat pada awalnya. Presiden Soekarno kemudian mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik antara Indonesia serta Belanda.

Presiden Soekarno kemudian menyusun operasi militer buat merebut secara paksa Papua Barat dari Belanda. Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto selaku Panglima Komando. Tugas komando Mandala yaitu buat merencanakan, mempersiapkan, serta menyelenggarakan operasi militer buat menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.



Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jenderal A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, serta akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika

Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya, Jerman, serta Perancis agar mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda Apabila pecah perang antara Indonesia serta Belanda.

Amerika Serikat sendiri kemudian berbalik mendukung Indonesia setelah sebelumnya menolak memberikan bantuan militer ke Indonesia. Amerika sendiri takut Apabila Indonesia bergantung pada blok komunis Uni Soviet dalam situasi Perang Dingin ketika itu.

Amerika Serikat kemudian mendesak Belanda buat mengadakan perundingan dengan Indonesia. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Adam Malik serta Belanda oleh Dr. van Roijen, tengah E. Bunker dari Amerika Serikat menjadi perantaranya.

Pada 15 Agustus 1961 kemudian dilakukan Perjanjian New York yang berisi penyerahan Papua Barat oleh Belanda diperantarai oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Papua Barat kemudian kembali menjadi wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963. Kedudukan Papua bagian barat menjadi lebih pasti setelah diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969, rakyat Papua bagian barat memilih tetap dalam lingkungan RI.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel