Trio Komunis: Aidit, Lukman, Serta Njoto

Dari Kiri ke Kanan: Lukman, Aidit, Njoto. Foto: Arsip Majalah Life/katarsisalamalika

 - Revolusi memakan anak sendiri. Sebelas pemimpin PKI tewas. Muso, Amir Sjarifuddin, serta Maruto Darusman ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo. Partai limbung ini, tercerai-berai. Tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, serta Lukman, bagaikan The Three Musketeers, mereka muncul menjadi tulang punggung partai. 

Ketiganya menghidupkan partai serta bisa membuat lebih besar. Mereka kemudian diketahui selaku trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, serta Wakil Sekjen II. Kisah persahabatan serta konflik tiga sahabat itu menarik dikenang. 

Dipa Nusantara Aidit awal kali bertemu dengan Mohamad Hakim Lukman pada 1943 di Menteng 31, Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu populer selaku sarang para pemuda aktivis kemerdekaan. Mereka bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga tahun lebih muda daripada Lukman, yang dikala itu baru 23 tahun. Aidit kemudian menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka, serta Lukman anggota.

Sejak itu, Aidit serta Lukman menjadi akrab serta seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup yang sama. Keduanya pada 1944 terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia, kumpulan 100 pejuang paling setia kepada Bung Karno. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara Jatinegara oleh Polisi Militer Jepang sebab ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Keduanya juga pernah ditangkap serta ditawan di Pulau Onrust, Jakarta Utara, selama tujuh bulan.

Keduanya bersama memilih jalan komunis serta berguru ke tokoh-tokoh komunis senior. Saat menjadi penghuni Menteng, mereka misalnya menjalin kontak dengan Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta. Widarta yaitu kawan akrab Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang populer cerdas. Aidit serta Lukman terkesan pada Wikana. 

Setelah bebas dari Onrust, mereka mencari Wikana di Yogyakarta. Di Yogya dikala itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru sahaja memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit serta Lukman kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto dikala itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu yaitu wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto, serta Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, serta Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifesto Partai Komunis karya Karl Marx serta Friedrich Engels.

Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi serta propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan. Hingga pecahlah geger Madiun….

Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan sebab tidak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. ”Rambutnya digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi barang.” Njoto serta Lukman, kemudian menyusul Aidit ke Jakarta. Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto ditempa. ”Mereka menggodok orientasi partai,” kata Sumaun Utomo, kini 85 tahun, bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang. 

Terbunuhnya banyak kader dalam Peristiwa Madiun membuat mereka perlu mandiri. ”Mereka menjadi independen sebab tidak punya lagi tempat bertanya,” kata Murad Aidit dalam bukunya, Aidit Sang Legenda. Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan melalui sistem komisariat di Comite Central. Situasinya sulit sebab setiap kabinet alergi komunisme.  Sampai-sampai itu membuat trio Aidit-Lukman-Njoto perlu bersembunyi dengan menyamar. Aidit serta Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. 

Padahal itu cuma bualan belaka buat mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. ”Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran,” tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit serta Partai Pada Tahun 1950. Dalam situasi serba repot itu, Aidit serta Lukman justru nekat kembali menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakjat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. 

Njoto bergabung di redaksi pada Januari 1951. Dua tahun kemudian, tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi sekretaris jenderal, Lukman wakil sekjen I, serta Njoto wakil sekjen II jabatan ini diganti menjadi ketua serta wakil ketua pada 1959). Sebagai ketua, Aidit memelototi politik secara umum. Lukman, yang jago main sepak bola, memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi serta propaganda kini diemban Njoto. Bukan cuma berorganisasi, buat meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.

Usaha itu berbuah. Pada Pemilihan Umum 1955, PKI menclok di urutan keempat. Hasil itu membuat Aidit optimistis partainya bisa meraih posisi nomor satu sebelum 1975. ”Asalkan keadaan berjalan normal,” kata Murad mengutip ucapan kakaknya. Kenyataannya, cita-cita itu terempas. Tragedi 1965 menguak kisah Kalau tiga sekawan itu, meski di luar tampak guyub, ternyata tidak melulu solid. Aidit serta Njoto, misalnya, amat berbeda pendapat soal teori revolusi. Aidit percaya kup yang didukung sedikitnya 30 persen tentara bisa bermutasi menjadi revolusi. Aidit dikala itu, menurut Manai Sophiaan (almarhum) dalam sebuah tulisannya, terinspirasi oleh kudeta di Aljazair pada Juni 1965. Saat itu Kolonel Houri Boumedienne mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella.

Sebaliknya, Njoto justru mempertanyakan kesahihan teori itu. Bahkan, dalam wawancaranya dengan koresponden Asahi Shimbun di Jakarta pada 2 Desember 1965, dua pekan sebelum ia dinyatakan ”hilang,” ia tidak yakin Gerakan 30 September dapat dikategorikan selaku kudeta yang bisa menjadi revolusi. ”Revolusi siapa melawan siapa?” kata Njoto. dia bahkan menyangsikan premis Letnan Kolonel Untung soal Dewan Jenderal bisa membenarkan kup. Soetarni, bekas istri Njoto kini 79 tahun ingat, sesungguhnya menjelang petaka 1965 suaminya yang pandai main musik serta dandy sudah disingkirkan Aidit. 

Masalahnya yaitu kedekatan Njoto dengan Soekarno. Njoto kerap menulis naskah pidato si Bung. Soekarno pernah menyebut Njoto selaku Marhaen sejati. Aidit malah melihat Njoto ”dipakai” Soekarno. ”Di mata Soekarno, Njoto pertama-tama yaitu nasionalis, itu baru komunis,” kata Aidit dikala itu. Tapi, menurut Semaun, Njoto tersingkir sebab punya pacar orang Rusia. Namanya Rita. Gara-gara itulah seluruh posisi dipreteli oleh Aidit. Bukan etis, menurut Aidit, seorang pentolan partai yang sudah berkeluarga mempunyai pacar.

Sumber: Catatan Tempo. Aidit, Lukman, serta Njoto bahu-membahu membesarkan partai. Karena perempuan, Njoto tersisih. Madiun, 19 September 1948 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel