Haji Agus Salim: Sang Pembela Kebenaran

 
Orang cerdas yang begitu benci kolonialisme ini bernama kecil Masyhudul Haq, yang berarti pembela kebenaran. Terbukti kalau nantinya sang pembawa nama ini benar-benar selalu membela kebenaran. Kebenaran bagi bangsanya. Salim merupakan anak seorang bangsawan bernama Tuanku Imam Syech Abdullah bin Abdul Aziz serta ibunya bernama Zainatun Nahar. Pendidikan dasarnya ditempuh di Europeesche Lagere School [ELS], sekolah khusus anak-anak Eropa di kota kelahirannya. Setelah lulus, Salim merantau ke Batavia serta masuk HBS.

Pada 1903, diakhir tahun pendidikan, semua murid HBS sibuk menanti pengumuman kelulusan, terutama murid-murid Belanda. Sekolah elit ini memang dikhususkan buat kaum Belanda serta segelintir pribumi anak priyayi. Bahasa pengantarnya bahasa Belanda, maka wajar Jika murid-murid Belanda menjadi yang terdepan di sekolah ini. Akan tetapi, di tahun itu, semua berubah. Semua tercengang ketika mengetahui hasil kelulusan. Siapa yang paling tinggi nilainya? siapa yang juara? orang-orang Belanda kaget luar biasa ketika tahu kalau anak bernama Agus Salim menjadi juara umum HBS se-Hindia Belanda. Seorang inlander menjadi yang terbaik mengalahkan kaum kulit putih Belanda. Akan tetapi, diskriminasi terjadi, ia tak langsung dapat beasiswa buat sekolah lebih tinggi lagi. Saat pemerintah kolonial memberi beasiswa karna desakan banyak pihak, Agus Salim menolaknya. ia terlanjur sakit hati. Tumbuhlah sikap melawan pada kolonial Belanda.

Salim konsisten melawan sistem kolonial. Dalam dekade 1920-an, ketika ia Telah duduk selaku anggota volksraad, ia melawan. Tentu dengan gaya elegan. Satu kali, ia berpidato dalam volksraad. Lazimnya pidato dalam dewan, tentu dengan bahasa Belanda. Walaupun begitu, Salim mengagetkan anggota dewan dari kalangan Belanda ketika ia dengan sadar memilih pidato dengan bahasa Melayu [Indonesia]. ia ditegur, tetapi ia dengan cerdas berdalih kalau tak ada peraturan resmi yang mengatur ia perlu berbahasa Belanda ketika pidato. Saat ia mengucap kata “ekonomi”, seorang Belanda bernama Bergmeyer mengejeknya, “apa kata ekonomi dalam bahasa Melayu?” tentu semua tahu kalau tak ada padanan katanya dalam Melayu. Akan tetapi, Salim tak hilang akal. Dengan senyum ia belakang bertanya, “coba tuan sebutkan apa kata ekonomi dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan Melayu [Indonesia]nya”. Bergmeyer terdiam. ia mati kutu karna kelihaian Salim. Itulah gaya Salim menantang kolonialisme. Bahkan pada 2 Oktober 1945, ketika juru warta BBC Richard Straub mewawancarainya, Salim yang ketika itu berumur 60 tahun, berujar sangat geram: “daripada Indonesia diberikan pada Belanda lebih baik saya bakar musnah pulau ini!”.

Baca Juga

Salim memang murid cerdas, ia belajar otodidak hingga mampu menguasai sembilan bahasa asing, bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki serta Jepang. Hal itu memungkinkannya membaca bermacam-macam buku ilmu pengetahuan. Mula-mula Agus Salim bekerja selaku penerjemah, kemudian selaku notaris. Dari tahun 1906 sampai 1911, ia bekerja pada konsulat Belanda di Jedah. Kesempatan itu dipakainya buat memperdalam pengetahuan tentang agama Islam, sambil mempelajari seluk beluk diplomasi. Kegiatan politik dimulainya setelah memasuki Serikat Islam [SI] serta diangkat selaku anggota Pengurus Pusat hingga mengantarkannya menjadi anggota Volksraad [1921-1924]. Pada 1929, Serikat Islam berganti nama menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Setelah Cokroaminoto meninggal pada tahun 1934, Haji Agus Salim diangkat menjadi ketua PSII. tidak cuma aktif di bidang politik, ia aktif pula di bidang kewartawanan serta memimpin beberapa surat kabar, seperti Neratja, Hindia Baroe, Bandera Islam, Fadjar Asia, serta Mustika.

Dikala Jepang masuk, Agus Salim duduk selaku anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia [PPKI]. Setelah Indonesia merdeka, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Karena mempunyai pengetahuan yang luas dibidang diplomasi.  Pemerintah RI mengangkatnya menjadi Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I 1946 serta Kabinet Syahrir II 1947 serta kemudian Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta 1948-1949. Saat agresi militer Belanda kedua, Salim ikut ditangkap serta diasingkan ke Bangka.

Sesudah pengakuan kedaulatan, Agus Salim tak duduk lagi dalam pemerintahan. Pada 1953, ia sempat memberi ceramah tentang Islam di Universitas Cornell serta Princeton Amerika. Di Walaupun begitu, ia tetap dibutuhkan oleh pemerintah sehingga di tunjuk selaku penasehat Menteri Luar Negeri hingga akhir hayatnya pada 1954. Jenazah Agus Salim dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Atas jasa-jasanya terhadap perjuangan kemerdekaan, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1961.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel