Keruntuhan Kerajaan Mataram Islam

Keruntuhan Mataram dimulai sepeninggalan Sultan Agung, Putra mahkota diangkat menjadi raja bergelar Amangkurat I (1646-1677). Amangkurat I ini memiliki sifat yang bertolak balik dengan sang ayah. Gaya pemerintahannya cenderung lalim, tidak suka bergaul serta terlalu curiga dengan semua orang. Para pejabat di zaman pemerintahan Sultan Agung dihabisi dengan bengis, entah dengan hukuman cekik sampai mati atau dengan cara dikorbankan menjadi memimpin armada perang ke luar Mataram. Kebengisan Amangkurat I dapat dilacak dari catatan pejabat Belanda maupun dalam Babad Tanah Jawa. Disebutkan Jika Amangkurat I mengatur pembunuhan adiknya, yaitu pangeran Alit, sebab menyelenggarakan kudeta terhadap tahta kerajaan. Bahkan Amangkurat I pernah menyelenggarakan genocide atau pembunuhan masal terhadap lima ribu ulama.

tidak cuma itu, hal tersebut diperburuk dengan hubungan antar kerabat yang tidak berjalan baik. Amangkurat I terlibat persaingan dalam urusan memilih wanita selaku istri. Amangkurat I didukung oleh kakeknya, pangeran Pekik buat menikahi seorang gadis cantik bernama Rara Oyi, putri Ngabehi Mangunjaya dari tepi Kali Mas Surabaya. Kejadian ini memunculkan tragedi berupa tewasnya beberapa kerabat kerajaan.

Pemerintahan Amangkurat I ini menimbulkan sikap antipati serta ketakutan pada rakyatnya. Lambat laun, rakyat bersatu padu menyerang kerajaan, dipimpin oleh pangeran Trunajaya dari Madura. Serbuan ini membuat Amangkurat I terdesak serta tersingkir hingga akhirnya meninggal dalam pelariannya di Wanayasa, Banyumas utara. Konon, buat mempercepat kematiannya, putra mahkota yang kelak bergelar menjadi Amangkurat II memberi sebutir pil racun pada sang Ayah. Amangkurat I dimakamkan di Tegalwangi, dekat dengan gurunya yaitu Tumenggung Danupaya.

Dengan wafatnya Amangkurat I, putra mahkota membubarkan pemberontakan Trunajaya dengan meminta dukungan VOC. Pemberontakan ini berhasil dibubarkan setelah terbunuhnya pangeran Trunajaya oleh VOC dibawah pimpinan kapten Tack. Putra mahkota kemudian naik tahta dengan gelar Amangkurat II (1677-1703). Ibu kota Mataram dipindah ke Kartasura, sebab terdapat perebutan tahta antara Amangkurat II dengan adiknya, pangeran Puger. Pangeran Puger berpendapat Jika dirinya berhak atas tahta Mataram sehingga tetap bersikukuh berdiam di istana Plered. Pada akhirnya pangeran Puger mengakui kekuasaan Amangkurat II di Kartasura tahun 1680 setelah terjadi pertikaian alot. Pemerintahan Amangkurat II di Kartasura dibangun dengan dukungan penuh VOC sehingga dirinya terikat dengan segala macam permintaan serta aturan VOC. Tetapi di sisi lain, Amangkurat II sangat melindungi para pejuang dalam menyelenggarakan perlawanan terhadap VOC. Salah satu dari pejuang tersebut yaitu Untung Suropati. dia merupakan mantan perwira VOC yang akhirnya memusuhi resimennya sebab tindakan sewenang-wenang kepada rakyat pribumi.

Ambivalensi Amangkurat II muncul dikala VOC meminta sang raja buat menyambut Kapten Tack di Kartasura. Meskipun Kapten Tack ini sangat berjasa dengan berhasil membunuh pangeran Trunajaya di Kediri, namun Amangkurat II sangat membenci sifatnya yang arogan. Untuk menutupi sikap ambivalensinya, Amangkurat II menyambut baik kedatangan Kapten Tack di depan istana Kartasura. Namun, beliau Telah mengatur siasat dengan pasukan Suropati buat menyamar selaku prajurit Mataram. Huru hara terjadi di dikala Kapten Tack datang di istana yang menyebabkan dirinya terbunuh pada tahun 1686. Sayangnya, tindakan tersebut diketahui oleh pangeran Puger yang kemudian menunjukkan bukti-bukti kuat kepada VOC soal keterlibatan Amangkurat II dalam peristiwa itu. Inilah senjata ampuh pangeran Puger dalam mendongkel tahta Amangkurat II.

Setelah Amangkurat II wafat, tahta Mataram masih diteruskan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat III (1703-1708). Amangkurat III juga menggalang persahabatan dengan Untung Suropati, seperti ayahnya. Sementara itu, konlik lama yaitu usaha perebutan tahta oleh pangeran Puger tetap terjadi. Berbekal bukti-bukti kuat soal keterlibatan Amangkurat II dalam peristiwa terbunuhnya Kapten Tack, maka pangeran Puger dinaikkan tahta selaku raja Mataram oleh VOC, bergelar Paku Buwono I (1704-1719) serta bertahta di Semarang. Amangkurat III diserang oleh VOC serta Paku Buwono I sehingga melarikan diri ke Jawa Timur. Pada tahun 1708, Amangkurat III akhirnya ditawan oleh VOC kemudian diasingkan ke Sri Lanka.

Paku Buwono I kemudian bertahta di Kartasura. Masamasa pemerintahannya dibayar dengan menyerahkan daerahdaerah pesisir kepada VOC. Hal ini merupakan suatu kesalahan besar sebab dengan demikian sumber pendapatan Mataram berkurang drastis. Ianilah yang memancing konlik intern berkepanjangan di antara kerabat kerajaan. Akibat hal tersebut, kondisi kerajaan tidak pernah stabil sehingga memancing terjadinya beberapa pemberontakan. Keadaan ini berlangsung terus menerus, bahkan hingga wafatnya Paku Buwono I. Paku Buwono I digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat IV (1719-1726). Catatan Belanda menunjukkan Jika Amangkurat IV banyak ditinggalkan rakyatnya. Kondisi kerajaan sangat rapuh, potensi perpecahan serta konlik intern merebak, serta berlangsung terus menerus hingga wafatnya Amangkurat IV.

Kondisi tersebut masih berlangsung dikala Paku Buwono II (1726-1749) memegang tampuk pemerintahan pada usia 16 tahun. Karena hal itulah Ratu Amangkurat IV yang mendukung VOC menyelenggarakan intervensi pada pemerintahannya. Sementara patihnya, Danurejo, sangat anti terhadap VOC. Sebagaimana sang ayah yang mewarisi kondisi kerajaan tidak solid, Paku Buwono II pun dirongrong oleh hutang-hutang yang perlu dibayarkan kepada VOC.

Dalam masa pemerintahannya, kerajaan mengalami pergolakan besar, yaitu pemberontakan orang-orang Cina yang semula terjadi di Batavia (1740) kemudian merembet hingga Kartasura. Perang yang diketahui selaku Geger Pacinan ini Telah membuat Paku Buwono II bersama gubernur pesisir van Hohendorf perlu melarikan diri ke Jawa Timur sebab istana Mataram diduduki kaum pemberontak. Pada tahun 1742, VOC berhasil menyusun kekuatan serta menduduki kembali Kartasura. Namun kondisi istana sudah poranda serta tidak layak selaku ibukota kerajaan. Ada sebuah mengerti Jawa berkata Jika istana yang sudah diduduki musuh, tidak lagi suci selaku ibukota. Berbekal mengerti tersebut serta dengan dukungan dari VOC, Paku Buwono II membangun keraton baru di sebuah desa yang bernama Sala yang kemudian diketahui dengan nama Surakarta Hadiningrat.

Harga mahal yang perlu dibayar Paku Buwono II kepada VOC sebab berhasil memadamkan Geger Pacinan yaitu kesepakatan Jika VOC memperoleh daerah pesisir, yaitu Madura, Sumenep serta Pamekasan. tidak cuma itu, VOC berhak menentukan pejabat patih Mataram serta penguasa pesisir. Akibat jatuhnya pesisir ke tangan VOC, muncullah para pemberontak yang merongrong keraton Surakarta Hadiningrat. Salah satu pemberontakan yang populer yaitu pasukan yang dipimpin Raden Mas Said (1746), keponakan Paku Buwono II. Untuk memadamkan pemberontakan itu, diadakan sayembara berupa pemberian tanah Sokawati. Dengan imingiming tersebut, pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II, mengatur strategi perang sehingga gerakan Raden Mas Said dapat ditumpas. Paku Buwono II memberikan pengampunan terhadap Raden Mas Said.

Masalah timbul dikala niat Paku Buwono II buat menyerahkan tanah Sokawati kepada pangeran Mangkubumi dihalang-halangi oleh patihnya, Pringgalaya serta gubernur van Imhof. Menurut gubernur VOC tersebut, pangeran Mangkubumi tidak layak mendapat hadiah 4000 cacah sebab seakan-akan hendak menandingi kekuasaan raja. Pangeran Mangkubumi kecewa Telah dipermalukan di depan umum. Pada 19 Mei 1746, pangeran Mangkubumi memberontak pada VOC dengan keluar dari Surakarta, lalu mendiami Sokawati dengan kekuatan 2500 kavaleri (pasukan berkuda) serta 13.000 anak buah serta punggawa yang mendukungnya. Pangeran Mangkubumi melancarkan serangan kepada VOC di Grobogan, Juwana, Demak, serta Jipang (Bojonegoro). Pasukannya bertambah kuat dengan bergabungnya Raden Mas Said, sang keponakan yang sempat ditundukkannya. Sinergi antara keduanya ini bahkan hampir menguasai keraton Surakarta pada tahun 1748.

Kondisi kerajaan yang tidak stabil membuat Paku Buwono II jatuh sakit. Seakan pasrah, beliau menyerahkan Mataram kepada gubernur Baron von Hohendorf pada 11 Desember 1749. Inilah kesalahan terbesar yang dilakukan Paku Buwono II. Keputusan tersebut menyulut pangeran Mangkubumi buat bergerak, agar dapat menarik kembali kerajaan tetap dalam pangkuan dinasti Mataram. Beliau mengangkat dirinya selaku Paku Buwono di desa Bering, Yogyakarta pada 12 Desember 1749. Tindakan ini dilakukan selaku Langkah mendahului keponakannya yaitu putra mahkota Paku Buwono II yang baru berusia 16 tahun, yang bakal dinaikkan tahta oleh VOC selaku Sunan Paku Buwono III. Inilah babak baru periode kerajaan Mataram terbagi dua. Pangeran Mangkubumi selaku raja didampingi Raden Mas Said selaku patihnya. Kedua tokoh ini merupakan dwi tunggal kekuatan yang sulit ditembus VOC maupun Surakarta Hadiningrat dibawah Paku Buwono III. Sayangnya, persekutuan ini akhirnya pecah di tahun 1753 akibat benturan konlik pribadi soal tahta Mataram yang masih dipegang Paku Buwono III.

VOC yang sudah lelah dengan panjangnya peperangan, mulai menempuh jalur perundingan. Bahkan Raden Mas Said pernah menulis surat ke VOC bersedia berunding dengan syarat diangkat selaku raja. Rupanya VOC tidak mengindahkannya, namun justru melirik pada pangeran Mangkubumi. VOC mendekatinya bahkan mengganti pejabatnya yang tidak disukai pangeran Mangkubumi dalam upaya perundingan, yaitu van Hohendorf. VOC menggantikannya dengan Nicolaas Hartingh, seorang Belanda yang sangat mengerti tata krama Jawa. Kesepakatan tercapai lewat Perjanjian Giyanti yang dilakukan pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian ini mengungkap Jika Mataram dibagi dua. Paku Buwono III tetap bertahta di Surakarta Hadiningrat dengan kekuasaan meliputi : Ponorogo, Kediri, serta Banyumas. Sedangkan pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I bertahta di desa Bering yang lebih diketahui dengan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan wilayah meliputi Grobogan, Kertasana, Jipang, Japan, serta Madiun. Sementara Pacitan dibagi buat keduanya, termasuk Kotagede serta makam kerajaan yaitu Imogiri.

Paku Buwono III yang tidak diikutkan dalam perundingan tersebut tidak dapat berbuat banyak, cuma bisa menerimanya. Sementara itu, Raden Mas Said makin kecewa sebab tidak mendapatkan kekuasaan. Oleh sebab itu, dirinya makin gencar menyelenggarakan perlawanan baik kepada Hamengku Buwono I, Paku Buwono III, serta VOC. Merasa tidak mampu menanganinya, VOC pun menawarkan jalan damai lewat perundingan Salatiga pada tahun 1757. Dalam perundingan tersebut Raden Mas Said mengungkap kesetiaannya pada raja Surakarta Hadiningrat serta VOC. Paku Buwono III memberikan tanah 4000 cacah dengan wilayah meliputi Nglaroh, Karanganyar, serta Wonogiri. Sementara, Hamengku Buwono I tidak memberikan apa-apa. Raden Mas Said dinobatkan selaku adipati Mangkunegara I. Wilayah kekuasaannya disebut dengan Mangkunegaran.

Demikianlah kerajaan Mataram resmi terbagi dalam 3 kekuasaan yang diperintah Sunan Paku Buwono III, Sultan Hamengku Buwono I, serta Mangkunegara I. Konlik intern mulai mereda, keamanan relatif stabil. Satu kelemahan dalam kedua perundingan yang Telah disepakati tersebut yaitu tidak dicantumkannya hal pengganti tahta sehingga masih terbuka peluang buat menyatukan tahta Mataram. Mangkunegara I berharap bakal mendapatkan tahta Surakarta sehingga putranya, Prabu Widjojo, dinikahkan dengan putri Paku Buwono III, GKR Alit. Meskipun dari perkawinan tersebut lahir seorang putra, harapan Mangkunegara I pupus sebab Paku Buwono III kemudian memiliki putra mahkota. Kelak putra Ratu Alit serta Prabu Widjojo bertahta selaku Mangkunegara II. Demikian pula upaya Mangkunegara I menikah dengan GKR Bendara, putri sulung Hamengku Buwono I gagal. Hal ini disebabkan oleh GKR Bendara menceraikannya pada tahun 1763, kemudian menikah dengan pangeran Diponegara dari Yogyakarta. Oleh sebab itu, terputuslah harapan Mangkunegara I buat merajut tahta Mataram dalam satu kekuasaan tunggal.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel