Peralihan Kekuasaan Mataram Serta Setelahnya
Sabtu, Oktober 26, 2019
Pada tahun 1646, terjadi pergantian takhta dari Sultan Agung ke Amangkurat I. Pergantian takhta ini sepintas damai, namun tidak berlangsung lama. Di awal kekuasaannya, Amangkurat I hendak menyatukan segala kekuasaan ke tangannya. Para penasehat-penasehat tua disingkirkan, bahkan dibunuh, bahkan adiknya, Pangeran Alit dibunuh. Tak sampai disit, Amangkurat I juga menyelenggarakan penindasan terhadap kaum oposisi. Pemimpin agama, ulama-ulama dari aliran yang bertentangan dengan konsep agama dari Amangkurat I, dibunuh bersama dengan keluarga serta anak buah mereka. Dari pembunuhan ini, tercatat jatuh korban 5.000 sampai 6.000 jiwa.
Dapat dikatakan, Amangkurat I ialah raja terkejam dalam sejarah Jawa. Duta VOC awal yang berkunjung ke Istana Mataram menceritakan kalau “sistem pemerintahan semacam ini tidak terbayangkan di Belanda…. Para penasihat tua dibunuh buat melowongkan tempat-tempat bagi mereka yang muda…” Tidak orang asing Saja yang tidak setuju dengan teror itu, tetapi juga orang Jawa sendiri, seperti dinyatakan dalam Babad Tanah Jawi, yang ditulis oleh Mataram sendiri.
“Pada zaman itu semua yang diinginkan sang Nata bertentangan dengan adat. Beliau sering memakai kekerasan terhadap orang lain serta sering menjatuhkan hukuman mati di depan umum. Para bupati, mentri, serta pangeran saling mencuri lungguh (tanah). Tata kerajaan semakin lama semakin hancur…”
Masyarakat merasa tidak berdaya dalam menghadapi terror yang dilakukan oleh pemerintah Amangkurat I. Keadaan ini, masyarakat berharap alam dapat membebaskan mereka dari kekuasaan Amangkurat. Pada akhirnya, alam memang mengadakan intervensi. Di keraton, putra mahkota tidak sabar menunggu ajal sang ayah serta hendak merebut kekuasaan pada ketika itu juga.
Pada akhir zaman Amangkurat I, muncul oposisi populer dari daerah, yaitu Panembahan Rama. Dalam kronik dinasti Mataram ia disebut Raden Ambalik (pengkhianat). Dikatakan ia seorang keturunan wali, Sunan Tembayat yang populer sangat sakti serta mampu meramal hari depan.
Panembahan Rama menginginkan cucunya, Raden Trunojoyo dari Madura, mendirikan dinasti serta keraton baru. Tetapi buat sementara Ia menggandeng putra mahkota Mataram (Amangkurat II) buat mencapai tujuannya.
Pihak lain muncul. Perampok-perampok Bugis mendarat di pantai Jawa Timur serta dijadikan sekutu oleh Trunojoyo. Putra mahkota, bersama tentara Mataram, dikirim buat menyerang pemberontakan di Jawa Timur. Para pembuat intrik menjanjikan kepada putra mahkota peperangan yang tidak sungguh-sungguh, selaku tipu muslihat. Dalam kenyataan tentara Mataram dipukul serta dihancurkan oleh Trunojoyo-Bugis.
Keraton diserbu pemberontak-pemberontak, raja serta putrinya lari. Amangkurat I wafat dalam perjalanan ke Tegal serta diberi gelar Tegalwangi. Putra mahkota, Amangkurat II (1677-1702), cuma dapat merebut kembali takhtanya dengan bantuan VOC. Trunojoyo dibunuh oleh keris Susuhunan sendiri. Panembahan Rama ditembak mati oleh tentara Belanda, karna tidak ada seorang Jawa pun yang berani membunuhnya. Kekuasaan diambil alih Amangkurat II. Kejayaan Kerajaan Mataram sebenarnya tidak pernah pulih kembali, karna pemberontakan, perang saudara, serta keguncangan lain semakin lama melemahkannya, serta mendorongnya lebih ke tangan Belanda.
Sumber: OA Line Historypedia
Dapat dikatakan, Amangkurat I ialah raja terkejam dalam sejarah Jawa. Duta VOC awal yang berkunjung ke Istana Mataram menceritakan kalau “sistem pemerintahan semacam ini tidak terbayangkan di Belanda…. Para penasihat tua dibunuh buat melowongkan tempat-tempat bagi mereka yang muda…” Tidak orang asing Saja yang tidak setuju dengan teror itu, tetapi juga orang Jawa sendiri, seperti dinyatakan dalam Babad Tanah Jawi, yang ditulis oleh Mataram sendiri.
“Pada zaman itu semua yang diinginkan sang Nata bertentangan dengan adat. Beliau sering memakai kekerasan terhadap orang lain serta sering menjatuhkan hukuman mati di depan umum. Para bupati, mentri, serta pangeran saling mencuri lungguh (tanah). Tata kerajaan semakin lama semakin hancur…”
Masyarakat merasa tidak berdaya dalam menghadapi terror yang dilakukan oleh pemerintah Amangkurat I. Keadaan ini, masyarakat berharap alam dapat membebaskan mereka dari kekuasaan Amangkurat. Pada akhirnya, alam memang mengadakan intervensi. Di keraton, putra mahkota tidak sabar menunggu ajal sang ayah serta hendak merebut kekuasaan pada ketika itu juga.
Pada akhir zaman Amangkurat I, muncul oposisi populer dari daerah, yaitu Panembahan Rama. Dalam kronik dinasti Mataram ia disebut Raden Ambalik (pengkhianat). Dikatakan ia seorang keturunan wali, Sunan Tembayat yang populer sangat sakti serta mampu meramal hari depan.
Panembahan Rama menginginkan cucunya, Raden Trunojoyo dari Madura, mendirikan dinasti serta keraton baru. Tetapi buat sementara Ia menggandeng putra mahkota Mataram (Amangkurat II) buat mencapai tujuannya.
Pihak lain muncul. Perampok-perampok Bugis mendarat di pantai Jawa Timur serta dijadikan sekutu oleh Trunojoyo. Putra mahkota, bersama tentara Mataram, dikirim buat menyerang pemberontakan di Jawa Timur. Para pembuat intrik menjanjikan kepada putra mahkota peperangan yang tidak sungguh-sungguh, selaku tipu muslihat. Dalam kenyataan tentara Mataram dipukul serta dihancurkan oleh Trunojoyo-Bugis.
Keraton diserbu pemberontak-pemberontak, raja serta putrinya lari. Amangkurat I wafat dalam perjalanan ke Tegal serta diberi gelar Tegalwangi. Putra mahkota, Amangkurat II (1677-1702), cuma dapat merebut kembali takhtanya dengan bantuan VOC. Trunojoyo dibunuh oleh keris Susuhunan sendiri. Panembahan Rama ditembak mati oleh tentara Belanda, karna tidak ada seorang Jawa pun yang berani membunuhnya. Kekuasaan diambil alih Amangkurat II. Kejayaan Kerajaan Mataram sebenarnya tidak pernah pulih kembali, karna pemberontakan, perang saudara, serta keguncangan lain semakin lama melemahkannya, serta mendorongnya lebih ke tangan Belanda.
Sumber: OA Line Historypedia