Masa Demokrasi Liberal Indonesia 1950-1959
Jumat, Mei 12, 2017
Pada Masa Demokrasi Liberal, banyak partai politik ikut serta dalam perebutan Parlemen Indonesia. Hal ini yang menjadi faktor keributan politik pada era ini. Foto: Sigi Blogger
Pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Indonesia berusaha mencari sistem pemerintahan yang dirasakan sesuai dengan kehidupan berbangsa Indonesia. Pada dikala itu baik sebelum atau sesudah kemerdekaan, terdapat usul mengenai sistem negara yang dipergunakan, anatara lain: Federasi, Monarki, Republik-Parlementer, serta Republik-Presidensil.
Pada bulan Oktober 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X bulan Oktober 1945, yang menjelaskan apabila Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR/DPR mengadakan tugas legisltif. Dengan demikian KNIP dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang sederajat dengan lembaga kepresidenan.
Kemudian KNIP yang dipimpin Sutan Sjahrir berhasil mendorong Pemerintah yaitu, Wakil Presiden Hatta buat mengeluarkan Maklumat Pemerintah 13 Novermber 1945 tentang pendirian partai-partai politik serta Maklumat Pemerintah 14 Novermber 1945 tentang pemberlakuan Kabinet Parlementer. Dengan maklumat tersebut Indonesia menjalankan sistem parlementer dalam menjalankan pemerintahan. Presiden cuma selaku kepala negara serta simbol, sedangkan urusan pemerintahan diserahkan kepada perdana menteri. Sjahrir terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama.
Demokrasi Liberal
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat serta masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang memiliki otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal.
Secara umum, demokrasi liberal ialah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif.
Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri serta bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong buat lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi serta tujuan politik.
Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya apabila UUDS 1950 dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok serta tidak sesuai dengan kehidupan politik bangsa Indonesia yang majemuk.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai pembubaran Dewan Konstituante serta berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karna dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.
Pelaksanaan Pemerintahan
Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI serta Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI serta Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya selaku berikut;
1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai Masyumi selaku perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang terdiri dari tokoh – tokoh populer duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, serta Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
Kabinet Natsit memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda buat kesatu kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Dalam bidang ekonomi kabinet ini menghadirkan sistem ekonomi Gerakan Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan buat mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD serta DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 serta memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir perlu mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro dari PNI serta Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi selaku formatur serta berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini populer dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
Kabinet Sukiman ditenggarai mengadakan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi serta militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
(Baca disini: Mutual Security Act Penyebab Jatuhnya Kabinet Sukiman)
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas serta aktif Indonesia karna menerima MSA sama Sahaja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang Telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karna lebih condong ke blok barat bahkan dinilai Telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer serta kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian perlu mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Indonesia berusaha mencari sistem pemerintahan yang dirasakan sesuai dengan kehidupan berbangsa Indonesia. Pada dikala itu baik sebelum atau sesudah kemerdekaan, terdapat usul mengenai sistem negara yang dipergunakan, anatara lain: Federasi, Monarki, Republik-Parlementer, serta Republik-Presidensil.
Pada bulan Oktober 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X bulan Oktober 1945, yang menjelaskan apabila Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR/DPR mengadakan tugas legisltif. Dengan demikian KNIP dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang sederajat dengan lembaga kepresidenan.
Kemudian KNIP yang dipimpin Sutan Sjahrir berhasil mendorong Pemerintah yaitu, Wakil Presiden Hatta buat mengeluarkan Maklumat Pemerintah 13 Novermber 1945 tentang pendirian partai-partai politik serta Maklumat Pemerintah 14 Novermber 1945 tentang pemberlakuan Kabinet Parlementer. Dengan maklumat tersebut Indonesia menjalankan sistem parlementer dalam menjalankan pemerintahan. Presiden cuma selaku kepala negara serta simbol, sedangkan urusan pemerintahan diserahkan kepada perdana menteri. Sjahrir terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama.
Demokrasi Liberal
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat serta masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang memiliki otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal.
Secara umum, demokrasi liberal ialah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif.
Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri serta bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong buat lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi serta tujuan politik.
Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya apabila UUDS 1950 dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok serta tidak sesuai dengan kehidupan politik bangsa Indonesia yang majemuk.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai pembubaran Dewan Konstituante serta berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karna dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.
Pelaksanaan Pemerintahan
Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI serta Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen). Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI serta Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya selaku berikut;
1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Formasi Kabinet Natsir. Foto: Wikipedia |
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
- Menggiatkan usaha keamanan serta ketentraman.
- Mencapai konsolidasi serta menyempurnakan susunan pemerintahan.
- Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
- Mengembangkan serta memperkuat ekonomi rakyat.
- Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Dalam menjalankan fungsi serta tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Kabinet Natsit memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda buat kesatu kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Dalam bidang ekonomi kabinet ini menghadirkan sistem ekonomi Gerakan Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan buat mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
- Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan buat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing serta diberikan bantuan kredit.
- Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap bakal berkembang menjadi maju.
Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karna :
- Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
- Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
- Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
- Para pengusaha kurang mandiri buat mengembangkan usahanya.
- Para pengusaha hendak cepat mendapatkan keuntungan besar serta menikmati cara hidup mewah.
- Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Formasi Kabinet Sukiman. Foto: Pinterest |
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
- Menjamin keamanan serta ketentraman
- Mengusahakan kemakmuran rakyat serta memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
- Mempercepat persiapan pemilihan umum.
- Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
- Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, serta penyelesaian pertikaian buruh.
Kabinet Sukiman ditenggarai mengadakan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi serta militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
(Baca disini: Mutual Security Act Penyebab Jatuhnya Kabinet Sukiman)
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas serta aktif Indonesia karna menerima MSA sama Sahaja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang Telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karna lebih condong ke blok barat bahkan dinilai Telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer serta kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian perlu mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Penjelasan Lengkap peristiwa 17 Oktober 1952) Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo perlu mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953. (Baca selengkapnya: Peristiwa Tanjung Morawa)Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955) Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet ke-empat yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo serta Wakil PM. Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR). Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:
(Baca disini: Konfrensi Asia-Afrika 1955)
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo menghadirkan sistem ekonomi yang diketahui dengan sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali serta penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali selaku pengusaha pribumi serta Baba digambarkan selaku pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan buat memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya cuma dijadikan selaku alat bagi para pengusaha Tionghoa buat mendapatkan kredit dari pemerintah. Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi karna maraknya korupsi serta peningkatan inflasi. Konflik PNI serta NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I perlu mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI, NU, Masyumi, serta PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi. (Baca disini: Jalan Berliku Pemilu 1955)Kabinet ini mengalami ganggung dikala kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno dikala anggota Parlemen yang baru kurang memberikan dukungan kepada kabinet. Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II ialah Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, selaku berikut:
Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan serta kekacauan di daerah yang makin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater serta Sulawesi. Lambatnya pertumbuhan ekonomi serta pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa serta menganggap pemerintah pilih kasih dalam mengadakan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi serta PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh serta menyerahkan mandatnya pada presiden. Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959) Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini diketahui dengan istilah Zaket Kabinet karna perlu berisi unsur ahli serta golongan intelektual serta tidak adanya unsur partai politik di dalamnya. Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat serta daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957. Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional serta daerah, pembangunan angkatan perang, serta pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957. Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta. (Baca disini: Keterlibatan Amerika Serikat dalam PRRI/Permesta) Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang sebelumnya cuma 9 mil. Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya serta setiap pulau cuma memiliki laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia. Kekacauan politik yang timbul karna pertikaian partai politik di Parlemen menyebabkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan karna masing-masing partai cuma mengejar kepentingan partainya Sahaja tanpa mengutamakan kepentingan negara serta Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kegagalan konstituante disebabkan karna masing-masing partai cuma mengejar kepentingan partainya Sahaja tanpa mengutamakan kepentingan negara serta Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante ialah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam selaku dasar negara. Dalam situasi serta kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan buat mengatasi kemelut politik. Oleh karna itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi selaku berikut;
|