Ir. Raden Juanda Kartawijaya
Sabtu, Agustus 17, 2019
Sebelumnya, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, Teritoriale Zeeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 [TZMKO 1939]. Pulau-pulau wilayah Nusantara dipisahkan laut sekelilingnya serta setiap pulau cuma memiliki laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Lalu pada 13 Desember 1957 dicetuskanlah sebuah deklarasi yang mengubah ordonansi warisan Belanda itu. Sebuah pernyataan pada dunia Kalau laut sekitar, laut di antara, serta di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah RI. Deklarasi itu bernama deklarasi Djuanda.
Pemrakarsa deklarasi itu yaitu Djoeanda Kartawidjaja yang ketika itu menjabat perdana menteri Indonesia. Djuanda merupakan anak awal pasangan Raden Kartawidjaja serta Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School [HIS]. ia menempuh pendidikan mula di HIS serta kemudian pindah ke Europesche Lagere School [ELS] serta tamat pada 1924. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan Hogere Burger School [HBS] Bandung hingga lulus tahun 1929. Selepas itu, ia selekasnya masuk Technische Hoogeschool [THS] di Dago Bandung mengambil jurusan teknik sipil serta lulus pada 1933.
Tawaran menjadi asisten dosen di THS dengan gaji yang lumayan, ditolaknya. ia memilih buat menjadi guru pada Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah di Jakarta walaupun dengan gaji yang kecil. Beberapa waktu kemudian, ia diangkat menjadi direktur sekolah tersebut. Di samping itu, ia giat pula dalam organisasi Paguyuban Pasundan. Setelah empat tahun berkecimpung di bidang pendidikan, pada 1937 Djuanda menjadi tenaga ahli di Jawatan Pengairan Jawa Barat. tidak cuma itu, ia duduk pula selaku anggota Dewan Daerah Batavia.
Pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambilalihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan serta objekobjek militer di Gudang Utara Bandung. Selepas itu, Pemerintah RI selekasnya mengangkatnya menjadi Kepala Jawatan Kereta Api seluruh Jawa serta Madura, kemudian menjadi Menteri Perhubungan.
Saat Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, ia ditangkap, tetapi kemudian dapat bebas serta terlibat dalam perundingan KMB, ia bertindak selaku Ketua Panitia Ekonomi serta Keuangan Delegasi Indonesia. Selepas itu, ketika terbentuk RIS yang menguntungkan Belanda, dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Akan tetapi, ia menolak duduk dalam pemerintahan negara boneka ciptaan Belanda itu.
Djuanda merupakan tokoh yang paling sering duduk dalam kabinet, yakni sebanyak 17 kali mulai dari Menteri Muda Perhubungan sampai menjadi perdana Menteri. ia seorang abdi negara yang bekerja tanpa kenal lelah hingga banyak orang menjulukinya, “menteri marathon”. Sebagai pejabat ia selalu berusaha menyehatkan perekonomian negara, serta memajukan pertanian, peternakan serta perikanan, agar hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat banyak
Pengabdian Djuanda perlu berakhir ketika usianya menginjak 52 tahun. ia meninggal karna serangan jantung serta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Atas jasa-jasanya yang besar bagi negara, pemerintah Indonesia menganugrahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1963.
Pemrakarsa deklarasi itu yaitu Djoeanda Kartawidjaja yang ketika itu menjabat perdana menteri Indonesia. Djuanda merupakan anak awal pasangan Raden Kartawidjaja serta Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School [HIS]. ia menempuh pendidikan mula di HIS serta kemudian pindah ke Europesche Lagere School [ELS] serta tamat pada 1924. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan Hogere Burger School [HBS] Bandung hingga lulus tahun 1929. Selepas itu, ia selekasnya masuk Technische Hoogeschool [THS] di Dago Bandung mengambil jurusan teknik sipil serta lulus pada 1933.
Tawaran menjadi asisten dosen di THS dengan gaji yang lumayan, ditolaknya. ia memilih buat menjadi guru pada Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah di Jakarta walaupun dengan gaji yang kecil. Beberapa waktu kemudian, ia diangkat menjadi direktur sekolah tersebut. Di samping itu, ia giat pula dalam organisasi Paguyuban Pasundan. Setelah empat tahun berkecimpung di bidang pendidikan, pada 1937 Djuanda menjadi tenaga ahli di Jawatan Pengairan Jawa Barat. tidak cuma itu, ia duduk pula selaku anggota Dewan Daerah Batavia.
Pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambilalihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan serta objekobjek militer di Gudang Utara Bandung. Selepas itu, Pemerintah RI selekasnya mengangkatnya menjadi Kepala Jawatan Kereta Api seluruh Jawa serta Madura, kemudian menjadi Menteri Perhubungan.
Saat Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, ia ditangkap, tetapi kemudian dapat bebas serta terlibat dalam perundingan KMB, ia bertindak selaku Ketua Panitia Ekonomi serta Keuangan Delegasi Indonesia. Selepas itu, ketika terbentuk RIS yang menguntungkan Belanda, dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Akan tetapi, ia menolak duduk dalam pemerintahan negara boneka ciptaan Belanda itu.
Djuanda merupakan tokoh yang paling sering duduk dalam kabinet, yakni sebanyak 17 kali mulai dari Menteri Muda Perhubungan sampai menjadi perdana Menteri. ia seorang abdi negara yang bekerja tanpa kenal lelah hingga banyak orang menjulukinya, “menteri marathon”. Sebagai pejabat ia selalu berusaha menyehatkan perekonomian negara, serta memajukan pertanian, peternakan serta perikanan, agar hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat banyak
Pengabdian Djuanda perlu berakhir ketika usianya menginjak 52 tahun. ia meninggal karna serangan jantung serta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Atas jasa-jasanya yang besar bagi negara, pemerintah Indonesia menganugrahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1963.