Dr. Saharjo S.H.: Perubah Wajah Peradilan Indonesia
Sabtu, Agustus 17, 2019
dia seorang sarjana produk pendidikan kolonial, tapi ia tak begitu Saja menerima semua model barat, terutama soal peradilan. dia membongkar undang-undang warisan kolonial yang dianggapnya sudah usang serta tak sesuai lagi dengan negara Indonesia. dia membuat undang-undang baru. Mengganti simbol-simbol peradilan kolonial dengan simbol yang lebih bernuansa asli Indonesia.
Saharjo lahir di Surakarta serta menamatkan Sekolah Dasar di kota kelahirannya. dia kemudian pindah ke Batavia buat meneruskan pendidikan hingga AMS. Selepas itu, ia masuk STOVIA [Sekolah Dokter], tetapi tak menyelesaikannya hingga lulus. dia memilih bekerja selaku guru pada Perguruan Rakyat, sebuah perguruan swasta nasional di Batavia. Dalam kedudukan selaku guru, ia turut berjuang menghadapi tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda terhadap pendidikan nasional.
Di masa pergerakan, PNI sudah pecah menjadi PNI baru serta Partindo. Saharjo terjun ke dunia politik dengan masuk selaku anggota Partai Indonesia [Partindo]. dia lalu diangkat selaku anggota pengurus besar Partindo. dia kemudian tertarik dengan bidang hukum serta masuk sekolah hukum, Rechtshogeschool di Batavia. Gelar sarjana hukum diperolehnya pada 1941. Sejak itu mulailah kegiatannya di bidang hukum. Sesudah Indonesia merdeka, berkalikali ia diserahi jabatan penting antara lain Menteri Muda Kehakiman dalam Kabinet Kerja I serta Menteri Kehakiman dalam Kabinet Kerja II. Jabatan terakhirnya yaitu Wakil Menteri Pertama Bidang Dalam Negeri.
Sebagai seorang sarjana hukum, Saharjo banyak mengeluarkan buah pikiran yang berguna. Hasil-hasil pemikiran itu antara lain, Undang-undang Warga Negara Indonesia Tahun 1947 serta tahun 1948 serta Undang-undang Pemilihan Umum tahun 1953. dia berusaha pula menyesuaikan hukum dengan kepribadian Indonesia serta menolak hukum kolonial yang tak sesuai lagi dengan kehidupan bangsa yang sudah merdeka pada tahun 1962
Tindakan paling vital dilakukan ketika ia mengusulkan lambang keadilan yang berbentuk Dewi Justita, satu lambang peradilan dunia barat, diganti dengan lambang pohon beringin. Lambang ini lebih sesuai dengan kepribadian bangsa karna pohon beringin menyimbolkan perlindungan serta kesejukan bagi yang memerlukan. Usulannya diterima oleh Seminar Hukum Nasional pada 1963 serta sejak itu belum pernah diganti lagi.
Masih dalam dunia peradilan, Saharjo juga mengganti istilah penjara menjadi lembaga kemasyarakatan khusus serta mengganti istilah orang hukuman dengan narapidana. dia berpendapat, penjara bukanlah tempat memberikan penderitaan pada si terhukum, tetapi buat membimbing serta mendidik mereka agar menjadi orang yang berguna dalam masyarakat.
Saharjo meninggal dunia di Jakarta dalam usia 54 tahun serta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Atas jasa-jasanya dalam mengembangkan peradilan Indonesia, pemerintah memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada Saharjo di tahun 1963.
Saharjo lahir di Surakarta serta menamatkan Sekolah Dasar di kota kelahirannya. dia kemudian pindah ke Batavia buat meneruskan pendidikan hingga AMS. Selepas itu, ia masuk STOVIA [Sekolah Dokter], tetapi tak menyelesaikannya hingga lulus. dia memilih bekerja selaku guru pada Perguruan Rakyat, sebuah perguruan swasta nasional di Batavia. Dalam kedudukan selaku guru, ia turut berjuang menghadapi tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda terhadap pendidikan nasional.
Di masa pergerakan, PNI sudah pecah menjadi PNI baru serta Partindo. Saharjo terjun ke dunia politik dengan masuk selaku anggota Partai Indonesia [Partindo]. dia lalu diangkat selaku anggota pengurus besar Partindo. dia kemudian tertarik dengan bidang hukum serta masuk sekolah hukum, Rechtshogeschool di Batavia. Gelar sarjana hukum diperolehnya pada 1941. Sejak itu mulailah kegiatannya di bidang hukum. Sesudah Indonesia merdeka, berkalikali ia diserahi jabatan penting antara lain Menteri Muda Kehakiman dalam Kabinet Kerja I serta Menteri Kehakiman dalam Kabinet Kerja II. Jabatan terakhirnya yaitu Wakil Menteri Pertama Bidang Dalam Negeri.
Baca Juga
Sebagai seorang sarjana hukum, Saharjo banyak mengeluarkan buah pikiran yang berguna. Hasil-hasil pemikiran itu antara lain, Undang-undang Warga Negara Indonesia Tahun 1947 serta tahun 1948 serta Undang-undang Pemilihan Umum tahun 1953. dia berusaha pula menyesuaikan hukum dengan kepribadian Indonesia serta menolak hukum kolonial yang tak sesuai lagi dengan kehidupan bangsa yang sudah merdeka pada tahun 1962
Tindakan paling vital dilakukan ketika ia mengusulkan lambang keadilan yang berbentuk Dewi Justita, satu lambang peradilan dunia barat, diganti dengan lambang pohon beringin. Lambang ini lebih sesuai dengan kepribadian bangsa karna pohon beringin menyimbolkan perlindungan serta kesejukan bagi yang memerlukan. Usulannya diterima oleh Seminar Hukum Nasional pada 1963 serta sejak itu belum pernah diganti lagi.
Masih dalam dunia peradilan, Saharjo juga mengganti istilah penjara menjadi lembaga kemasyarakatan khusus serta mengganti istilah orang hukuman dengan narapidana. dia berpendapat, penjara bukanlah tempat memberikan penderitaan pada si terhukum, tetapi buat membimbing serta mendidik mereka agar menjadi orang yang berguna dalam masyarakat.
Saharjo meninggal dunia di Jakarta dalam usia 54 tahun serta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Atas jasa-jasanya dalam mengembangkan peradilan Indonesia, pemerintah memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada Saharjo di tahun 1963.