Sri Susuhunan Pakubuwana Vi: Sekutu “Dalam Selimut” Diponegoro
Rabu, Agustus 14, 2019
Nama aslinya yakni Raden Mas Sapardan. dia dilahirkan pada tanggal 26 April 1807. Sri Susuhunan Pakubuwana VI naik takhta tanggal 15 September 1823, selang sepuluh hari setelah kematian ayahnya. dia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa, sebab kegemarannya menggelar tapa brata.
Kiprahnya dalam melawan penjajahan kolonial yakni dengan mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Pangeran Diponegoro memilih berontak kepada Kesultanan Yogyakarta sebab kebijakan kraton sudah dipengaruhi oleh orangorang Belanda. Karena posisinya selaku sunan juga terikat perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda, Sunan Pakubuwana berusaha menutupi persekutuannya dengan Pangeran Diponegoro.
Tertulis dalam babad Kalau dikisahkan Pakubuwono VI pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta buat berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran serta Madura. Ketika Pasukan Belanda masuk, mereka pura-pura bertikai serta saling menyerang. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan serta dukungan, ia juga mengirim pasukan buat pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Perlawanan Pangeran Diponegoro berhasil disudahi Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 Maret 1830. Paska penangkapan hubungan Pemerintah Hindia Belanda dengan Kasultanan Surakarta menjadi renggang dikarenakan Pakubuwana VI menolak penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda. tidak cuma persoalan tanah tersebut, Belanda juga mencurigai hubungan antara Diponegoro serta Pakubuwana VI sewaktu perang Jawa. Untuk mencari bukti keterlibatan Sultan Surakarta, Belanda menangkap Mas Pajangswara (Juru tulis Istana) buat dimintai keterangan. Karena tidak ingin membuka mulut, Mas Pajangswara disiksa hingga tewas. Pada tanggal 8 Juni 1830, Pakubuwana VI ditangkap dengan alasan Kalau Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya. dia kemudian dibuang ke Ambon. Kedudukan sultan kemudian dipegang oleh paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.
Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi pemerintah, ia meninggal sebab kecelakaan ketika berpesiar di laut. Jasadnya dibawa pulang buat dimakamkan komplek Makam Raja Mataram di Imogiri pada tahun 1957. Pada ketika penggalian makam, ditemukan bukti Kalau tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati sebab bunuh diri, apalagi kecelakaan ketika berpesiar. Sunan Pakubuwana VI ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia selaku pahlawan nasional pada tanggal 17 November 1964.
Kiprahnya dalam melawan penjajahan kolonial yakni dengan mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Pangeran Diponegoro memilih berontak kepada Kesultanan Yogyakarta sebab kebijakan kraton sudah dipengaruhi oleh orangorang Belanda. Karena posisinya selaku sunan juga terikat perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda, Sunan Pakubuwana berusaha menutupi persekutuannya dengan Pangeran Diponegoro.
Tertulis dalam babad Kalau dikisahkan Pakubuwono VI pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta buat berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran serta Madura. Ketika Pasukan Belanda masuk, mereka pura-pura bertikai serta saling menyerang. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan serta dukungan, ia juga mengirim pasukan buat pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Baca Juga
Perlawanan Pangeran Diponegoro berhasil disudahi Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 Maret 1830. Paska penangkapan hubungan Pemerintah Hindia Belanda dengan Kasultanan Surakarta menjadi renggang dikarenakan Pakubuwana VI menolak penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda. tidak cuma persoalan tanah tersebut, Belanda juga mencurigai hubungan antara Diponegoro serta Pakubuwana VI sewaktu perang Jawa. Untuk mencari bukti keterlibatan Sultan Surakarta, Belanda menangkap Mas Pajangswara (Juru tulis Istana) buat dimintai keterangan. Karena tidak ingin membuka mulut, Mas Pajangswara disiksa hingga tewas. Pada tanggal 8 Juni 1830, Pakubuwana VI ditangkap dengan alasan Kalau Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya. dia kemudian dibuang ke Ambon. Kedudukan sultan kemudian dipegang oleh paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.
Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi pemerintah, ia meninggal sebab kecelakaan ketika berpesiar di laut. Jasadnya dibawa pulang buat dimakamkan komplek Makam Raja Mataram di Imogiri pada tahun 1957. Pada ketika penggalian makam, ditemukan bukti Kalau tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati sebab bunuh diri, apalagi kecelakaan ketika berpesiar. Sunan Pakubuwana VI ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia selaku pahlawan nasional pada tanggal 17 November 1964.