Kerajaan Samudera Pasai
Rabu, September 18, 2019
Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Awal berdirinya Kerajaan Pasai, yang juga diketahui selaku Samudera Darussalam atau Samudera Pasai, belum diketahui secara pasti serta masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, dalam sebuah catatan Rihlah ila I-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) dari Ibnu Batutah dapat ditarik kesimpulan kalau Kerajaan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibandingkan dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu dinasti terbesar di dunia. Apabila dinasti Turki Usmani mulai menancapkan kekuasaanya pada tahun 1385 M, maka Kerajaan Samudera Pasai lebih dahulu menebarkan pengaruhnya di Asia Tenggara kira-kira pada tahun 1297.Catatan Ibnu Batutah tersebut bertuliskan “Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar serta indah,” dikala menggambarkan kekagumannya terhadap keindahan dan kemajuan Kerajaan Samudera Pasai yang sempat disinggahinya selama 15 hari pada 1345 M. pendapat kalau kerajaan Samudra Pasai lebih tua dari dinasti Usmani di Turki dikuatkan dengan catatan dari Marco Polo, seorang penjelajah asal Venezia (Italia), yang Sudah mengunjungi Samudera Pasai pada 1292 M. Marco Polo bertandang ke Samudera Pasai dikala menjadi pemimpin rombongan yang membawa ratu dari Cina ke Persia. Bersama dua ribu orang pengikutnya, Marco Polo singgah serta menetap selama lima bulan di bumi Serambi Makkah itu. Dan perjalanan dari Marco Polo tersebut dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul Travel of Marco Polo.
Sejumlah ahli sejarah Eropa pada masa pendudukan Kolonial Hindia Belanda seperti Snouck Hurgronje, J.P Moquette, J.L. Moens, serta J. Hulshof Poll yang sudah beberapa kali menyelidiki asal-usul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai menyebutkan kalau Kerajaan Samudera Pasai muncul sekitar pertengahan abad ke-13 M dengan Sultan Malik al-Saleh (kadang ditulis Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh) sebagi raja pertamanya.
Nama Samudera Pasai sendiri sebenarnya yakni “Samudera Aca Pasai” yang berarti “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai.” Meski pusat pemerintahan kerajaan itu sekarang tidak diketahui secara pasti, tetapi para ahli sejarah memperkirakan lokasinya berada di sekitar Blang Melayu. Konon, nama “Samudera” yang dipakai selaku nama kerajaan itulah yang kini menjadi nama pulau Sumatera karna adanya pengaruh dialek oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama pulau tersebut yakni Perca. Berbeda dengan orang Portugis, seperti yang bisa dilihat dalam tulisan-tulisan I’tsing, para pengelana Tiongkok menyebut Sumatera dengan “ChinCou” atau pulau emas. Sementara Raja Kertanegara dari Singosari yang terkenal itu menyebut pulau ini dengan sebutan “Suvarnabhumi” atau “Swarnabumi” yang artinya pulau emas.
Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih terletak di kota Lhokseumawe, Aceh Utara. Beberapa kitab atau catatan yang digunakan buat melacak sejarah Kerajaan Samudera Pasai antara lain yakni Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu, serta Hikayat Raja Bakoy. Meski nuansa mitos yang masih kental di dalamnya tidak jarang menjadi kendala dikala karya ini hendak ditafsirkan, Hikayat Raja Pasai tercatat sudah memberikan andil yang cukup besar dalam menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai.
Sementara terkait penamaan Samudera Pasai, J.L. Moens mengungkap kalau kata “Pasai” berasal dari kata “Parsi.” Menurut Moens, pada abad ke-7 banyak pedagang yang berasal dari Parsi atau Persia yang mengucapkan kata Pasai dengan kata Pa’Se. Pendapat J.L Moens ini mendapatkan dukungan dari beberapa peneliti sejarah lainnya, seperti oleh Prof. Gabriel Ferrand melalui bukunya yang berjudul L’Empire Sumatranais de Crivijaya serta oleh Prof. Paul Wheatley dengan buku the Golden Khersonese. Baik Gabriel maupun Paul menyandarkan datadatanya pada keterangan dari para pengelana Timur Tengah yang mengadakan perjalanan ke Asia Tenggara. Mereka berdua juga meyakini kalau pada abad ke-7, pelabuhan atau bandar-bandar besar di Asia Tenggara serta di kawasan Selat Malaka Sudah ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Asia Barat. Data tersebut diperkuat oleh fakta kalau di setiap kota dagang tersebut sudah ada permukiman-permukiman pedagang Islam yang singgah serta menetap di sana.
Di tempat lain, H. Mohammed Said, seorang penulis yang mendedikasikan hidupnya buat meneliti serta menerbitkan buku-buku perihal Aceh, termasuk meneliti kerajaan Samudera Pasai serta Kesultanan Aceh Darussalam, mengungkap bahwa kata “Pasai” dalam Samudera Pasai berasal dari para pedagang Cina. Menurutnya, kata “Po Se” yang terkenal digunakan pada pertengahan abad ke-8 M identik dengan penyebutan kata “Pase” atau “Pasai”. Ada juga pendapat lain yang mengungkap kalau “Pasai” berasal dari kata “Tapasai” yang berarti “tepi laut.” Kata “Tapa” sendiri masih banyak ditemui dalam bahasa Polinesia yang berarti “tepi”, sedangkan kata “Sai” berarti “pantai”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” memiliki arti yang hampir sama yaitu “negara yang terletak di tepi laut.”
Seorang pencatat asal Portugis, Tome Pires, yang pernah menetap di Malaka pada kurun waktu 1512-1515, menyebutkan kalau Pasai yakni kota terpenting buat seluruh Sumatera pada zamannya. Menurut Pires, penduduk Pasai waktu itu kurang lebih berjumlah 20.000 orang. Sementara itu, Marco Polo dalam lawatannya dari Tiongkok ke Persia pada tahun 1267 M yang kemudian singgah ke Pasai pada tahun 1292 M menuliskan kalau dikala itu sudah ada kerajaan Islam di Nusantara yang tidak lain yakni Samudera Pasai.
Kala itu Marco Polo ikut dalam rombongan Italia yang mendapatkan undangan dari Kubilai Khan, raja Mongol yang menguasai daerah Tiongkok. Menurut Marco Polo, penduduk Pasai waktu itu belum banyak yang memeluk Islam, namun komunitas orang-orang Arab atau Saraceen sudah cukup banyak serta berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh. Marco Polo menyebut daerah tersebut selaku Giava Minor atau Java Minor (Jawa Kecil).
Sementara itu, dalam “Seminar Sejarah Nasional” yang diselengarakan di Medan, Sumatera Utara pada 17-20 Maret 1963, maupun dalam “Masuk serta Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh” yang diselenggarakan pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang dihadiri di antaranya yakni Prof. Hamka, Prof A. Hasjmy, Prof H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said serta M.D. Mansoer, Sudah menemukan perbedaan pada cara pandang sejarah berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Berdasarkan petunjuk serta sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari para musair Arab serta Tiongkok yang pernah ke Asia Tenggara serta ditambah dengan dua catatan lokal, yaitu Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak karya Abu Ishak Al-Makarany serta Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh karya Yunus Djamil, para pakar sejarah nasional itu menyimpulkan kalau Kesultanan Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke-11 (tahun 433 H/1042 M), dengan pendiri serta sultan pertamanya yakni Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H/1042-1078 M.
Menurut G.P. Roufaer, sejarawan Belanda yang serius mendalami sejarah Kerajaan Samudera Pasai, menyimpulkan kalau letak Pasai mula-mula berada di sebelah kanan Sungai Pasai sementara Samudera berada di sebelah kiri sungai. Kemudian lambat laun kedua tempat tersebut menjadi satu menjadi Samudera Pasai. Jelasnya, Kerajaan Samudera Pasai yakni daerah aliran sungai yang hulunya berada jauh di pedalaman daratan tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah.
Ada banyak teori yang berkembang tentang perkiraan asalusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Salah satu pendapat menyatakan kalau Kerajaan Samudera Pasai merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan pra-Islam yang sudah ada sebelumnya. Hal ini seperti tang tertuang dalam buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa serta Timbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara karya Slamet Muljana yang mengungkap kalau Nazimuddin Al-Kamil, Laksamana laut dari Dinasti Fatimiyah di Mesir berhasil menaklukkan kerajaan HinduBuddha yang berada di Aceh serta menguasai salah satu daerah subur yang ada di sana yaitu Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan kerajaan kecil di Pasai pada tahun 1128 M dengan nama Samudera Pasai.
Alasan Dinasti Fatimiyah mengadakan penaklukan terhadap Pasai sendiri yakni karna memang hendak menguasai bandar dagang yang dikala itu sangat ramai di Selat Malaka. Tidak cuma itu, Dinasti Fatimiyah juga Sudah mengerahkan armada perangnya buat merebut kota Kambayat di Gujarat Arab serta menyerang penghasil lada, yakni Kampar Kanan serta Kampar Kiri di Minangkabau. Dalam ekspedisi tersebut, Nazimuddin Al-Kamil gugur serta kemudian pada tahun 1168 Dinasti Fatimiyah Mesir dikalahkan oleh tentara dari Dinasti Salahuddin yang menganut mazhab Syai’i. Dengan runtuhnya Dinasti Fatimiyah tersebut, maka secara otomatis hubungan antara Samudera Pasai serta Mesir terputus. Kafrawi Al-Kamil kemudian melanjutkan kepemimpinan Nazimuddin Al-Kamil yang Sudah gugur. Tetapi tahun 1204 M, kekuasaan Samudera Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan Jani dari pulau We. Di bawah kekuasaan Laksamana Johan Jani, kekuasaan Samudera Pasai menjadi kekuatan maritim yang kuat di Nusantara pada masa itu.
Di Mesir sendiri setelah dikuasai oleh Dinasti Salahuddin, muncul Dinasti Mamaluk yang menggantikan Dinasti Fatimiyah. Sama dengan pendahulunya, Dinasti Mamaluk juga berniat menguasai perdagangan di Pasai. Niat tersebut pun dilancarkan dengan mengirim pendakwah yang Sudah menimba ilmu di Makkah, yaitu Syaikh Ismail serta Fakir Muhammad yang sebelumnya Sudah berdakwah di Pantai Barat India. Di Pasai, kedua utusan tersebut bertemu dengan Marah Silu (Meurah Silu) yang dikala itu menjadi salah satu anggota angkatan perang Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail serta Fakir Muhammad kemudian berhasil membujuk Marah Silu buat memeluk Islam serta membuat kerajaan tandingan buat kerajaan Pasai yang bakal dibantu oleh Dinasti Mamaluk di Mesir serta berganti nama menjadi Sultan Malik al-Saleh. Akhirnya Marah Silu dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Samudera yang berada di kiri dari Sungai Pasai dengan letak menghadap ke arah Selat Malaka. Namun demikian, ternyata kedua kerajaan tersebut justru bersatu menjadi Kerajaan Samudera Pasai.
Keislaman Marah Silu juga disinggungkan dalam catatan Hikayat Raja Pasai dengan memberikan penjelasan kalau Nabi Muhammad Saw. Sudah menyebutkan nama kerajaan Samudera serta menyuruh agar daerah tersebut diislamkan oleh sahabat Nabi. Dari sini, bisa ditarik kesimpulan kalau ada kemungkinan Islam Sudah masuk ke Nusantara tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat yakni (abad awal Hijriah atau abad ke 7-8 M) atau bahkan muncul kemungkinan kalau Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah.
Marah Silu yakni keturunan dari suku Imam Empat atau yang lebih diketahui selaku Sukee Imuem Peuet, yaitu sebuah suku dari Champa yang merupakan pendiri kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum berkembangnya agama Islam. Di antara empat kerajaan Hindu-Buddha yang didirikan oleh Sukee Imuem Peuet yakni Peureluak (Perlak) yang terletak di Aceh Timur, Jeumpha (Champa) di Bireun, Kerajaan Sama Indra di Pidie, serta Indra Purba di Aceh Besar/Banda Aceh.
ultan Malik al-Saleh kemudian menikah dengan putri Ganggang Sari, keturunan Sultan Aladdin Muhammad Amin bin Abdul Kadi dari kerajaan Perlak. Dari pernikahan ini Sultan Malik al-Saleh dikaruniai dua orang putra yaitu Muhammad serta Abdullah. Kelak, Muhammad dipercaya buat memimpin kerajaan Pasai dengan gelar Sultan Muhammad Malikul Zahir (Sultan Malik al-Tahir), berdampingan dengan ayahnya yang masih memimpin kerajaan Samudera. Sementara Abdullah lebih memilih keluar dari keluarga besar kerajaan Samudera Pasai serta mendirikan kerajaan sendiri yaitu Kerajaan Aru Barumun yang kurang lebih berdiri pada tahun 1295 M.
Menurut catatan Ibnu Battutah, kerajaan Samudera mengalami perkembangan pesat, bahkan bisa dikatakan berada dalam masa kejayaan di bawah kepemimpinan Muhammad Malikul Zahir. Hal ini ditandai dengan aktivitas perdagangan yang sudah maju, ramai, serta sudah menggunakan koin emas selaku alat pembayaran. Ditambah lagi, posisi Kerajaan Pasai yang berada di aliran lembah sungai juga membuat tanah pertanian menjadi subur sehingga padi yang ditanam oleh penduduk Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 14 bisa dipanen dua kali setahun.
Masih dalam catatan Ibnu Battutah, dijelaskan kalau Muhammad Malikul Zahir yakni raja yang sangat tertarik dengan ilmu pengetahuan, bahkan Muhammad Malikul Zahir sempat mendirikan pusat studi Islam di lingkungan kerajaan yang dijadikan tempat diskusi para ulama serta elit kerajaan. Maka tidak berlebihan jika kemudan Ibnu Battutah memasukkan nama Muhammad Malikul Zahir selaku salah satu dari tujuh raja di dunia yang memiliki kemampuan luar biasa dengan kepribadian yang sangat rendah hati.
Sultan Muhammad Malikul Zahir dikaruniai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud serta Malikul Mansur. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir wafat karna sakit, kerajaan dipegang oleh ayahnya, Sultan Malik Al Salih, yang juga memimpin kerajaan Samudera. Karena masih terlalu muda, maka kedua putra Muhammad Malikul Zahir dititipkan oleh Sultan Malik al-Salih pada ahli kenegaraan serta keagamaan, Malikul Mahmud dititpkan kepada Sayid Ali Ghitauddin sedangkan Malikul Mansur dititipkan pada Sayid Semayamuddin.
Setelah kedua putra tersebut dianggap layak buat memimpin kerajaan, maka Sultan Malik al-Salih menyerahkan tampuk kekuasaan kepada kedua putra Muhammad Malikul Zahir, di mana diputuskan Malikul Mahmud memimpin kerajaan Pasai serta Malikul Mansur memimpin kerjaan Samudera, sesuai dengan hasil musyawarah para ulama serta para petinggi kerajaan. Dalam perjalanannya, disebutkan kalau hubungan antara keduanya tidak berlangsung harmonis karna diam-diam Malikul Mansur tertarik kepada istri Malikul Mahmud. Malikul Mansur kemudian diusir dari kerjaan serta meninggal dikala berada dalam perjalanannya. Akhirnya kerajaan Samudera serta Kerajaan Pasai pun menjadi satu kerajaan yang diketahui selaku kerajaan Samudera Pasai dengan Malikul Mahmud selaku rajanya.
Pada tahun 1346 terjadi pergantian kekuasaan dari sultan Malikul Mahmud kepada putranya yaitu Ahmad Permadala Permala dengan gelar kehormatan Sultan Ahmad Malik al-Zahir. Dalam sebuah catatan dituliskan kalau Sultan Ahmad Malik al-Zahir memiliki lima orang anak, tiga putra serta dua putri. Ketiga putra itu yakni Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil serta Tun Abdul Fadil, sementara kedua putrinya yakni Tun Medam Peria serta Tun Takiah Dara.
Sultan Ahmad Malik al-Zahir diketahui selaku raja yang memiliki citra buruk di mata masyarakatnya karna Sultan Ahmad Malik al-Zahir menaruh birahi pada kedua putrinya sendiri. Tidak pelak sikapnya yang demikian itu membuat marah para petinggi kerajaan Samudera Pasai, termasuk Tun Beraim Bapa. Tun Beraim Bapa kemudian berusaha melindungi kedua saudara perempuannya dari jeratan nafsu ayah kandungnya dengan menyembunyikan kedua saudarinya di sebuah tempat. Merasa mendapat pertentangan dari putra sulungnya sendiri, Sultan Ahmad Malik al-Zahir murka serta menyuruh utusan buat membunuh Tun Beraim Bapa. Sang putra mahkota yang seharusnya mewarisi tahta kerajaan itu pun meninggal karna diracun oleh utusan ayahnya. Merasa terharu serta tidak terima dengan perlakuan biadab sang ayah, Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara kemudian memutuskan buat mengakhiri hidup mereka dengan meminum racun yang Sudah membunuh kakaknya.
Kebiadaban Sultan Ahmad Malik al-Zahir ternyata tidak berhenti sampai di situ. Mengetahui kalau putri dari kerajaan Majapahit yaitu Radin Galuh Gemerencang jatuh cinta kepada Tun Abdul Jalil, Sultan Ahmad al-Zahir yang juga menaruh hati kepada kecantikan dari putri raja Majapahit itu kembali menyuruh anak buahnya buat menghabisi nyawa putra keduanya tersebut serta membuang jenazah Tun Abdul Jalil ke tengah laut.
Radin Galuh Gemerencang yang sangat merindukan pujaan hatinya, Tun Abdul Jalil, kemudian pergi bersama para pengawal menuju ke Pasai. Sesampainya di Pasai, Radin Galuh Gemerencang terkejut setelah mendengar kabar kalau sang putra mahkota meninggal dengan tragis di tangan ayahnya sendiri. Karena tidak kuasa menahan kesedihan, sang putri kemudian ikut menenggelamkan diri di tempat jenazah Tun Abdul Jalil ditenggelamkan.
Rombongan pengawal Radin Galuh Gemerencang yang tersisa kembali ke Jawa serta melaporkan kematian sang putri kepada Raja Majapahit. Mendengar kabar tragis serta kebiadaban dari Raja Pasai, Raja Majapahit geram serta mengirim pasukan buat menggempur kerajaan Pasai. Dalam peperangan itu, kerajaan Pasai akhirnya kalah serta Sultan Ahmad al-Zahir mengungsi ke daerah bernama Menduga yang berjarak kurang lebih lima belas hari perjalanan kaki dari Pasai. Sementara itu pasukan Majapahit yang Sudah menaklukan kerjaan Pasai dan mengambil harta rampasan kemudian berlayar kembali ke Jawa. Dalam perjalanannya, pasukan Majapahit juga sempat menaklukkan kerajaan Jambi serta Palembang.
Menurut sejarah, dalam silsilah kerajaan Pasai terdapat nama Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah) Malikul Zahir, raja perempuan awal di kerajaan Islam Nusantara yang bertahta dari tahun 1420 hingga 1428. Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat kontroversial bernama Ariya Bakooy yang bergelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy pernah diperingatkan oleh para ulama agar tidak mengawini puterinya sendiri tapi peringatan itu ditentangnya. Bahkan, karna tidak terima keinginan dirinya ditentang, Ariya Bakooy sampai membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya tewas di tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang tidak lain yakni suami Sultanah Nahrasiyah dengan bantuan Sultan Mahmud Alaiddin Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).
Sultanah Nahrasiyah dalam catatan sejarah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal ini dibuktikan dengan hiasan di makamnya yang dibuat dengan sangat istimewa. Pada nisannya, tertulis nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: “Inilah kubur wanita bercahaya yang suci, ratu yang terhormat, almarhum yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat serta diampunkan dosanya. Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.”
Berikut ini yakni silsilah Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai:
1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Mahmud (1326-1345 M)
4. Sultan Malikul Mansur
5. Sultan Ahmad Malik al-Zahir (1346-1383 M)
6. Sultan Zain al-Abidin Malik al-Zahir (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah (1420-1428)
8. Sultan Sallah al-Din (1402)
9. Sultan Abu Zaid Malik al-Zahir (1455)
10. Sultan Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477)
11. Sultan Zain al-Abidin (1477- 1500)
12. Sultan Abdullah Malik al-Zahir (1501-1513) 13. Sultan Zain al-Abidin (1513-1524)
Kehidupan Sosial Politik Kerajaan Samudera Pasai
Pada masa Kerajaan Samudera Pasai, para pedagang Sudah menggunakan ceitis atau mata uang berbentuk uang kecil, sedangkan yang terbuat dari emas disebut dengan dramas (mata uang emas dibuat dari emas sebenarnya tidak murni dari emas semua tetapi terbuat dari serbukan emas serta perak). Jika ibandingkan dengan nilai mata uang portugis crusade, maka perbandingannya yakni 9 dramas = 1 crusade = 500 cash.
Di samping seorang sultan yang menjadi pimpinan kerajaan, ada juga beberapa jabatan dalam kerajaan seperti: Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), Bendahara, Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih diketahui dengan gelar Laksamana, Sekretaris Kerajaan, Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, serta Syahbandar yang mengepalai serta mengawasi pedagang-pedagang asing di kotakota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat selaku penghubung antara sultan dengan para pedagang asing. Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batutah menceritakan bagaimana taatnya Sultan Samudera Pasai terhadap agama Islam dari madzhab syai’i serta Sultan Samudera Pasai selalu dikelilingi oleh ahli-ahli Islam. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan serta perkembangan agama Islam.
Sebagai sebuah kerajaan besar, Samudera pasai juga menghasilkan banyak karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam buat menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut selaku bahasa Jawi serta hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut yakni Hikayat Raja Pasai yang mana bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. Hikayat Raja Pasai ini juga sekaligus menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu itu juga yang kemudian digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili buat menuliskan buku-bukunya.
Bersamaan dengan berkembangnya sastra Melayu klasik, di Pasai juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum karya Maulana Abu Ishak yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu atas permintaan dari Sultan Malaka, Makhdum Patakan. Kitab inilah yang kemudian dijadikan rujukan dalam melihat posisi Kerajaan Samudera Pasai dalam perannya selaku pusat Tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.
Perkembangan serta Masa Keemasan
Pada masa kejayanya, kerajaan Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan Nusantara. Samudera Pasai memiliki banyak bandar yang dikunjungi oleh para saudagar dari mermacam negeri seperti Cina, India, Siam, Arab serta Persia. Alasan Mengapa Kesultanan Samudera Pasai tergabung serta ikut andil dalam jaringan perdagangan antar bangsa yakni letaknya yang berada di kawasan Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan internasional. Jarak pelayaran yang begitu jauh antara Arab serta Cina menjadikan Kerajaan Samudera Pasai selaku tempat singgah para pedagang, terlebih karna pelayaran mengharuskan para pedagang menunggu angin musim yang cocok buat berlayar meneruskan perjalanan.
Dalam kurun abad ke-13 hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada selaku salah satu komoditas andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan produksi yang cukup besar. Tidak cuma itu, Pasai juga menjadi produsen komoditas lainnya seperti sutra, kapur barus, serta emas. Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham serta kemudian digunakan secara resmi di kerajaan tersebut.
Di samping selaku pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam. Komposisi masyarakat di Kerajaan Pasai sendiri terbagi dalam beberapa lapis, meliputi Sultan, golongan abdi kerajaan, alim ulama, para pedagang serta hamba sahaya. Pada lapisan abdi kerajaan terbagi lagi menjadi perdana menteri, menteri, tentara, pegawai serta pesuruh. Kendati orang Arab yang tinggal di Pasai tidak sebanyak orang dari India, tapi orang Arab memberikan pengaruh yang sangat kuat ke dalam sistem kerajaan, bahkan dalam menentukan kebijakan sang raja.
Semasa Sultan Malik Al-Saleh menjabat selaku penguasa awal kerajaan Pasai, terdapat orang-orang besar di negeri itu, di antaranya yakni Tun Sri Kaya serta Tun Baba Kaya. Kedua orang besar ini juga ikut berperan dalam mengontrol jalannya pemerintahan dengan gelar Sayid Ali Ghitauddin serta Sayid Asmayuddin.
Kemajuan Kerajaan Samudera Pasai dapat dilihat dari adanya aktivitas perdagangan yang kian maju serta ramai ditambah dengan sudah mengenal penggunaan koin emas sebagai alat pembayaran, Ibnu Batutah mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai. ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi dinding yang megah.
Ibnu Batutah juga mencatat kalau ia perlu berjalan sekitar empat mil dengan mengendarai kuda dari pelabuhan yang disebut Sahra buat sampai ke pusat kota. Pusat pemerintahan kota itu cukup besar serta indah serta dilengkapi dengan menaramenara yang terbuat dari kayu-kayu yang kokoh. Di pusat kota ini, tulis Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa serta bangsawan kerajaan. Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan serta masjid.
Masih menurut catatan Ibnu Battutah, di bawah kepemimpinan Muhammad Malikul Zahir, Pasai menjadi kerajaan yang begitu indah, bukan cuma Sahaja karna keindahan serta kesuburan alamnya tetapi juga karna memiliki raja yang sangat rendah hati, mencintai rakyatnya, serta begitu mencintai ilmu pengetahuan.
Seperti yang sudah disinggung diawal, Ibnu Batutah sempat memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul Zahir selaku salah satu dari tujuh raja di dunia yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa itu menurut Ibnu Batutah adalah: Sultan Muhammad Malikul Zahir (Raja Melayu) yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa, serta Raja Turkistan yang bijaksana.
Pergolakan serta Runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai
Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai mulai mendapat ancaman dari Kerajaan Majapahit pada dikala Gadjah Mada diangkat selaku patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 M oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara serta kemudian naik pangkat menjadi Mahapatih pada 1331 dikala Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya janjinya yang diketahui dengan Sumpah Palapa, yaitu kalau Gadjah Mada tidak bakal menikmati buah palapa sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kerajaan Samudera Pasai. Majapahit khawatir bakal pesatnya kemajuan Kerajaan Samudera Pasai yang memiliki jalur perdagangan strategis di selat Malaka. Karenanya, kemudian Gadjah Mada mulai mempersiapkan rencana buat menyerang kerajaan Islam di pulau Sumatera tersebut. Desas-desus tentang bakal adanya serangan tentara Majapahit, yang menganut agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh.
Armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan. Serangan awal Majapahit diarahkan ke perbatasan Perlak tapi mengalami kegagalan karna lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Gadjah Mada kemudian mundur ke laut serta mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya serta mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang diketahui dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada.
Gadjah Mada kemudian menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut serta jurusan darat. Serangan melalui laut dilancarkan ke daerah pesisir di Lhokseumawe serta Jambu Air, sedangkan penyerbuan jalan darat dilakukan melalui Paya Gajah yang terletak di antara daerah Perlak serta Pedawa. Serangan dari darat tersebut ternyata tidak seperti yang Sudah direncanakan serta mengalami kegagalan karna dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan melalui jalur laut justru bisa mencapai istana.
Penyerangan kerajaan Majapahit atas Samudera Pasai dilataribelakangi oleh faktor politis sekaligus kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dengan ramainya bandarbandar yang berada dalam wilayah kerajaan serta kemakmuran rakyat Kerajaaan Samudera Pasai membuat Mahapatih Gadjah Mada berkeinginan buat merebutnya. Meskipun ekspansi kerajaan Majapahit dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai Sudah dilakukan berulangkali tetapi Kesultanan Samudera Pasai masih mampu bertahan, hingga akhirnya perlahan-lahan perlawanan yang diberikan oleh kerajaan Samudera Pasai mulai surut seiring kian menguatnya pengaruh Majapahit di Selat Malaka.
Runtuhnya kekuatan Kerajaan Pasai sangat berkaitan dengan perkembangan yang terjadi di luar kerajaan Pasai itu sendiri. Munculnya pusat politik serta perdagangan baru di Malaka pada abad ke-15 yakni salah faktor yang menyebabkan Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran. Hancur serta hilangnya peranan Pasai dalam jaringan perdagangan antar bangsa bertambah dengan lahirnya suatu pusat kekuasan baru di ujung barat pulau Sumatera yakni Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-16.
Pasai ditaklukan serta dimasukkan ke dalam wilayah Kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Ali Mughayat Syah serta Lonceng Cakra Donya, hadiah dari Raja Cina untuk Kerajaan Islam Samudera Pasai, dipindahkan ke Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh). Hingga menjelang abad ke-16, Kerajaan Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya selaku bandar yang memiliki kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat kalau Kerajaan Samudera Pasai pernah menempati kedudukan selaku sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan.
Namun, kemudian peranan Kerajaan Samudera Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan di kawasan Asia Tenggara serta dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu. Bandar Malaka selekasnya menjadi primadona dalam bidang perdagangan serta mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah Malaka dibangun, kota itu dalam waktu singkat selekasnya dibanjiri perantau-perantau dari Jawa. Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka itu, posisi serta peranan Kerajaan Samudera Pasai kian tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor serta akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450.
Tidak cuma itu, Kesultanan Samudera Pasai kian lemah dikala di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar serta maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaankerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, serta Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai kian meredup sebelum akhirnya benar-benar runtuh serta berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.