Sistem Ekonomi Ali Baba Serta Dampaknya
Jumat, September 13, 2019
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (Menteri Perekonmian Kabinet Ali I periode Juli 1953 - Juli 1955 ), serta kuasa ini diresmikan pada tanggal 8 September 1953, dimana Kementerian perekonomian dibawah Menteri Iskaq mengeluarkan sebuah surat edaran yang mengungkapkan Apabila bagi para importir nasional disediakan 80-90% dari lisensi devisa. Program ini diwujudkan dengan adanya hak-hak istimewa lainnya yang diberikan kepada importir Indonesia dalam bentuk alokasi lisensi devisa. Sebelum diberlakukannya program Benteng, apa yang dinamakan importir pendatang baru menggunakan sekitar 7% dari devisa. Pada tahun 1952 sekitar 42,7% dari devisa diberikan kepada importir Indonesia, 30,7% diberikan kepada importir Eropa, 24,4% kepada importir Cina, 2,2% kepada importir Asia lainnya.
Di samping itu kategori barang-barang benteng ditambah dengan satu jenis komoditi lagi, serta komoditi tersebut cuma boleh diimpor oleh importir asli yakni: segala macam tekstil, segala macam barang kelontong, alat tulis, seng atap serta alumunium, semen, gelas,paku, ban mobil, onderdil sepeda, kertas HVS, sekrup serta kunci, kamera, karung goni, kaustik soda, serta tepung terigu. Yang menarik ialah Apabila tentangan yang paling berpengaruh datang dari Dewan Moneter, di mana Iskaq selaku Menteri Perekonomian merupakan salah seorang dari ketiga anggotanya, bersama dengan Menteri Keuangan Dr. Ong Eng Die serta Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Di kemudian hari terungkap Apabila Menteri Iskaq tidak membicarakan surat edaran itu terlebih dulu dengan Dewan Moneter, yang bertanggung jawab atas kebijaksanaan ekspor serta impor Pemerintah serta distribusi devisa. Melalui Sjafruddin Dewan Moneter menentang keras surat edaran tersebut. Hanya dalam tempo lima hari, yakni pada 12 September 1953 Menteri Iskaq mencabut surat edaran tersebut.
Tiga hari setelah surat edaran itu dicabut kembali, kantor Kabar Antara menyiarkan pernyataan Sjafruddin dengan panjang lebar. Sjafruddin mengungkapkan Apabila ia menganut gagasan pengalihan kegiatan impor dari orang-orang asing kepada orang Indonesia, tidak peduli apakah mereka pribumi atau keturunan asing. dia berpendapat Apabila bantuan yang bagaimanapun, yang diberikan kepada importir Indonesia hendaknya tidak melampaui kamampuan mereka buat menggunakan bantuan itu, agar tidak terjadi panyalahgunaan lebih lanjut dari lisensi-lisensi yang cadangan devisanya berkurang. Dalam kasus seperti itu yang selalu dirugikan ialah fihak konsumen serta para importir Indonesia yang bonefide, yang memanfaatkan bantuan itu secara jujur serta konstruktif. Pada perkembangannya, Iskaq menerangkan Apabila keputusannya buat mencabut surat edaran itu tidak bakal mengubah kebijaksanaan buat memberi dorongan kepada importir nasional. Pada bulan-bulan selanjutnya, menjadi jelas Apabila pencabutan surat edaran itu cuma merupaka suatu formalitas saja, karna dalam prakteknya sebagian besar peraturan itu masih diperlakukan.
Untuk mewujudkan kebijaksanaan menyalurkan sebanyak boleh menjadi impor lewat imporit-importir nasional, Kabinet Ali menganut dua prinsip: menyediakan kategori-kategori komoditi tertentu sepenuhnya bagi para importir nasional serta memberikan prioritas kepada permohonan importir nasional buat mengimpor semua jenis komoditinya. Iskaq juga manegaskan wewenang buat mendistribusikan devisa berada di tangannya, serta karna itu pencabutan surat edaran tidak ada pengaruhnya terhadap kebijaksanaan itu. Dalam pandangan Kabinet, 40% dari devisa yang Sudah dialokasikan kepada importir nasional sejak bulan Januari sampai Agustus 1953 (dibawah Kabinet Wilopo) tidak mencerminkan kebutuhan kaum importir nasional. Proporsi lisensi impor yang Sudah diberikan kepada importir nasional Sudah sangat meningkat sejak Iskaq memangku jabatan pada bulan Agustus 1953. Sejak 1 September sampai 7 November 1953 importir nasional menerima 76,2% dari permit devisa. Seperti dikemukakan oleh Mr. Tjikwan dalam Parlemen pada bulan April 1954, yang paling pokok dari persoalan itu ialah prosedur serta cara pemberian lisensi.
Masa itu merupakan masa di mana sejumlah besar lisensi istimewa yang populer itu dibagi-bagikan oleh Menteri Iskaq. Lisensi-lisensi itu tidak lagi diberikan lewat saluran-saluran resmi, melainkan lewat prosedur-prosedur istimewa yakni dialokasikan oleh Menteri Iskaq pribadi.
Kita ketahui Apabila program Ali-Baba ini menekankan Indonesianisasi perekonomian serta memberi dorongan kepada para pengusaha pribumi. Akan tetapi, kenyataannya banyak perusahaan-perusahaan baru cuma merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuan-persetujuan antara para pendukung pemerintah serta orangorang Cina, yakni apa yang disebut perusahaan-perusahaan “Ali-Baba”, dimana seorang Indonesia “Ali” mewakili seorang pengusaha luar negeri/Cina “Baba” yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi serta skandal-skandal yang menyertakan tokoh-tokoh PNI menjadi kian dominan.
Seperti dalam Kabar majalah Monitor berikut ini :
Dalam praktek modal asing masih bisa masuk ke sektor-sektor tertutup. Dalam bisnis di Indonesia populer dengan istilah “ Ali-Baba”, atau “AliJohnson”. Maksudnya Ali (orang Indonesia) secara formal membuka sebuah usaha. Namun yang sebenarnya mempunyai modal, serta dengan begitu bisa menentukan segala sesuatu ialah Baba (Cina/Jepang) atau Johnson (Amerika/Eropa). Praktek ini bisa berjalan subur karna Pemerintah mengambil kebijaksanaan buat tidak meneliti asal-usul modal. Yang penting ada penanam modal, serta modal asing sendiri tidak memusingkan masalah bentuk. Yang penting ialah prospek keuntungan apapun bentuknya.
Pada masa kepemimpinan Kabinet Ali Sastroamodjojo I, kebijakan ekonomi yang dilakukan lebih menekankan Indonesianisasi perekonomian serta memberi dorongan kepada para pengusaha pribumi. Program ini diwujudkan dengan adanya Sistem Ekonomi Ali-Baba. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya program ini memberikan banyak kerugian bagi Indonesia. Kenyataanya banyak perusahaanperusahaan baru yang cuma merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuanpersetujuan antara para pendukung pemerintah serta orang-orang Cina, yang disebut dengan perusahaan-perusahaan “Ali-Baba”, dimana seorang Indonesia (“Ali”) mewakili seorang pengusaha Cina (“Baba”) yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi serta skandal-skandal yang menyertakan tokoh-tokoh PNI kian mendominasi.
Pada masa kepemimpinan Kabinet Ali Sastroamodjojo I, kebijakan ekonomi yang dilakukan lebih menekankan Indonesianisasi perekonomian serta memberi dorongan kepada para pengusaha pribumi. Program ini diwujudkan dengan adanya Sistem Ekonomi Ali-Baba.25 Akan tetapi, dalam pelaksanaanya program ini memberikan banyak kerugian bagi Indonesia. Kenyataanya banyak perusahaanperusahaan baru yang cuma merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuan-persetujuan antara para pendukung pemerintah serta orang-orang Cina, yang disebut dengan perusahaan-perusahaan “Ali-Baba”, dimana seorang Indonesia (“Ali”) mewakili seorang pengusaha Cina (“Baba”) yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi serta skandal-skandal yang menyertakan tokoh-tokoh PNI kian mendominasi.
Setelah harga relatif stabil pada tahun 1952-3, inflasi melonjak lagi. Selama masa Kabinet Ali I, persediaan uang meningkat 75% serta nilai tukar rupiah pada pasar bebas turun dari 44,7% dari nilai resmi menjadi 24,6%. Para eksportir, di antaranya banyak pendukung Masyumi di luar Jawa, terkena dampak yang sangat buruk. Penyelundupan meningkat, serta satuan-satuan tentara yang miskin ikut serta dalam penyelundupan tersebut.
Masalah tersebut ditambah dengan berkembangnya favoritism dari PNI, partai Ali Sastroamidjojo berasal. Walaupun senantiasa digembar-gemborkan Apabila perekonomian kolonial tengah diubah menjadi perekonomian nasional, namun strukturnya tidaklah berubah. Membangun struktur perekonomian nasional tampaknya sama dengan membangun partai. Importir-importir yang diistimewakan ialah The Big Five Belanda. Sekarang importir-importir yang diistimewakan ialah kawan-kawan pendukung PNI serta lain-lainny yang memberikan sumbangan pada PNI.
Sumber: KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959) oleh Ika Septi Handayani
Di samping itu kategori barang-barang benteng ditambah dengan satu jenis komoditi lagi, serta komoditi tersebut cuma boleh diimpor oleh importir asli yakni: segala macam tekstil, segala macam barang kelontong, alat tulis, seng atap serta alumunium, semen, gelas,paku, ban mobil, onderdil sepeda, kertas HVS, sekrup serta kunci, kamera, karung goni, kaustik soda, serta tepung terigu. Yang menarik ialah Apabila tentangan yang paling berpengaruh datang dari Dewan Moneter, di mana Iskaq selaku Menteri Perekonomian merupakan salah seorang dari ketiga anggotanya, bersama dengan Menteri Keuangan Dr. Ong Eng Die serta Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Di kemudian hari terungkap Apabila Menteri Iskaq tidak membicarakan surat edaran itu terlebih dulu dengan Dewan Moneter, yang bertanggung jawab atas kebijaksanaan ekspor serta impor Pemerintah serta distribusi devisa. Melalui Sjafruddin Dewan Moneter menentang keras surat edaran tersebut. Hanya dalam tempo lima hari, yakni pada 12 September 1953 Menteri Iskaq mencabut surat edaran tersebut.
Tiga hari setelah surat edaran itu dicabut kembali, kantor Kabar Antara menyiarkan pernyataan Sjafruddin dengan panjang lebar. Sjafruddin mengungkapkan Apabila ia menganut gagasan pengalihan kegiatan impor dari orang-orang asing kepada orang Indonesia, tidak peduli apakah mereka pribumi atau keturunan asing. dia berpendapat Apabila bantuan yang bagaimanapun, yang diberikan kepada importir Indonesia hendaknya tidak melampaui kamampuan mereka buat menggunakan bantuan itu, agar tidak terjadi panyalahgunaan lebih lanjut dari lisensi-lisensi yang cadangan devisanya berkurang. Dalam kasus seperti itu yang selalu dirugikan ialah fihak konsumen serta para importir Indonesia yang bonefide, yang memanfaatkan bantuan itu secara jujur serta konstruktif. Pada perkembangannya, Iskaq menerangkan Apabila keputusannya buat mencabut surat edaran itu tidak bakal mengubah kebijaksanaan buat memberi dorongan kepada importir nasional. Pada bulan-bulan selanjutnya, menjadi jelas Apabila pencabutan surat edaran itu cuma merupaka suatu formalitas saja, karna dalam prakteknya sebagian besar peraturan itu masih diperlakukan.
Untuk mewujudkan kebijaksanaan menyalurkan sebanyak boleh menjadi impor lewat imporit-importir nasional, Kabinet Ali menganut dua prinsip: menyediakan kategori-kategori komoditi tertentu sepenuhnya bagi para importir nasional serta memberikan prioritas kepada permohonan importir nasional buat mengimpor semua jenis komoditinya. Iskaq juga manegaskan wewenang buat mendistribusikan devisa berada di tangannya, serta karna itu pencabutan surat edaran tidak ada pengaruhnya terhadap kebijaksanaan itu. Dalam pandangan Kabinet, 40% dari devisa yang Sudah dialokasikan kepada importir nasional sejak bulan Januari sampai Agustus 1953 (dibawah Kabinet Wilopo) tidak mencerminkan kebutuhan kaum importir nasional. Proporsi lisensi impor yang Sudah diberikan kepada importir nasional Sudah sangat meningkat sejak Iskaq memangku jabatan pada bulan Agustus 1953. Sejak 1 September sampai 7 November 1953 importir nasional menerima 76,2% dari permit devisa. Seperti dikemukakan oleh Mr. Tjikwan dalam Parlemen pada bulan April 1954, yang paling pokok dari persoalan itu ialah prosedur serta cara pemberian lisensi.
Masa itu merupakan masa di mana sejumlah besar lisensi istimewa yang populer itu dibagi-bagikan oleh Menteri Iskaq. Lisensi-lisensi itu tidak lagi diberikan lewat saluran-saluran resmi, melainkan lewat prosedur-prosedur istimewa yakni dialokasikan oleh Menteri Iskaq pribadi.
Kita ketahui Apabila program Ali-Baba ini menekankan Indonesianisasi perekonomian serta memberi dorongan kepada para pengusaha pribumi. Akan tetapi, kenyataannya banyak perusahaan-perusahaan baru cuma merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuan-persetujuan antara para pendukung pemerintah serta orangorang Cina, yakni apa yang disebut perusahaan-perusahaan “Ali-Baba”, dimana seorang Indonesia “Ali” mewakili seorang pengusaha luar negeri/Cina “Baba” yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi serta skandal-skandal yang menyertakan tokoh-tokoh PNI menjadi kian dominan.
Seperti dalam Kabar majalah Monitor berikut ini :
Dalam praktek modal asing masih bisa masuk ke sektor-sektor tertutup. Dalam bisnis di Indonesia populer dengan istilah “ Ali-Baba”, atau “AliJohnson”. Maksudnya Ali (orang Indonesia) secara formal membuka sebuah usaha. Namun yang sebenarnya mempunyai modal, serta dengan begitu bisa menentukan segala sesuatu ialah Baba (Cina/Jepang) atau Johnson (Amerika/Eropa). Praktek ini bisa berjalan subur karna Pemerintah mengambil kebijaksanaan buat tidak meneliti asal-usul modal. Yang penting ada penanam modal, serta modal asing sendiri tidak memusingkan masalah bentuk. Yang penting ialah prospek keuntungan apapun bentuknya.
Dampak Ekonomi Ali Baba
Pada masa kepemimpinan Kabinet Ali Sastroamodjojo I, kebijakan ekonomi yang dilakukan lebih menekankan Indonesianisasi perekonomian serta memberi dorongan kepada para pengusaha pribumi. Program ini diwujudkan dengan adanya Sistem Ekonomi Ali-Baba. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya program ini memberikan banyak kerugian bagi Indonesia. Kenyataanya banyak perusahaanperusahaan baru yang cuma merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuanpersetujuan antara para pendukung pemerintah serta orang-orang Cina, yang disebut dengan perusahaan-perusahaan “Ali-Baba”, dimana seorang Indonesia (“Ali”) mewakili seorang pengusaha Cina (“Baba”) yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi serta skandal-skandal yang menyertakan tokoh-tokoh PNI kian mendominasi.Pada masa kepemimpinan Kabinet Ali Sastroamodjojo I, kebijakan ekonomi yang dilakukan lebih menekankan Indonesianisasi perekonomian serta memberi dorongan kepada para pengusaha pribumi. Program ini diwujudkan dengan adanya Sistem Ekonomi Ali-Baba.25 Akan tetapi, dalam pelaksanaanya program ini memberikan banyak kerugian bagi Indonesia. Kenyataanya banyak perusahaanperusahaan baru yang cuma merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuan-persetujuan antara para pendukung pemerintah serta orang-orang Cina, yang disebut dengan perusahaan-perusahaan “Ali-Baba”, dimana seorang Indonesia (“Ali”) mewakili seorang pengusaha Cina (“Baba”) yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi serta skandal-skandal yang menyertakan tokoh-tokoh PNI kian mendominasi.
Setelah harga relatif stabil pada tahun 1952-3, inflasi melonjak lagi. Selama masa Kabinet Ali I, persediaan uang meningkat 75% serta nilai tukar rupiah pada pasar bebas turun dari 44,7% dari nilai resmi menjadi 24,6%. Para eksportir, di antaranya banyak pendukung Masyumi di luar Jawa, terkena dampak yang sangat buruk. Penyelundupan meningkat, serta satuan-satuan tentara yang miskin ikut serta dalam penyelundupan tersebut.
Masalah tersebut ditambah dengan berkembangnya favoritism dari PNI, partai Ali Sastroamidjojo berasal. Walaupun senantiasa digembar-gemborkan Apabila perekonomian kolonial tengah diubah menjadi perekonomian nasional, namun strukturnya tidaklah berubah. Membangun struktur perekonomian nasional tampaknya sama dengan membangun partai. Importir-importir yang diistimewakan ialah The Big Five Belanda. Sekarang importir-importir yang diistimewakan ialah kawan-kawan pendukung PNI serta lain-lainny yang memberikan sumbangan pada PNI.
Sumber: KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959) oleh Ika Septi Handayani