Batavia: 'Supermarket' Budak
Kamis, Oktober 24, 2019
Pasar budak merupakan bisnis yang sukses pada kesatu abad 17. Berawal dari bangsa Belanda yang datang ke Jayakarta ( nantinya menjadi Batavia ) buat pembangunan setelah berhasil ditaklukan oleh Jan Pieterzoon Coen. Kala itu kondisi kependudukan Jayakarta sangatlah kosong sebab penduduk aslinya, orang Jawa serta Sunda, pergi ke pelosok Selatan buat menghindari penjajah. Hal ini tentunya berdampak kepada kurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan pihak Belanda.
Akhirnya, mereka pun mendatangkan para tawanan perang dari mermacam daerah, seperti Manggarai, Bima, Makassar, Bali, serta lainnya. Mereka dijadikan tenaga kerja buat melaksanakan proyek-proyek pembangunan. Hal ini menjadi cikal bakal tumbuhnya bisnis pasar budak di Batavia.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Parra (1761-1775), setiap tahun ada sekitar 4000 budak yang didatangkan ke Batavia buat dijual. Lokasi penjualan budak berpusat pada daerah yang sekarang diketahui dengan nama Manggarai, di Jakarta Selatan. Nama Manggarai sendiri didapat sebab mayoritas budak yang dibawa buat dijual di Batavia berasal dari Manggarai, NTT.
Perlahan-lahan, bisnis penjualan budak pun melebar tidak hanya di bidang tenaga kerja saja. Budak perempuan yang dijual buat keperluan pemuasan nafsu pun mulai didatangkan, mayoritas dibawa dari Bali sebab baik dari pembeli bangsa Belanda, Tionghoa, Melayu, serta Arab mempunyai minat yang tinggi terhadap paras elok wanita Bali.
Penjualan budak wanita buat di"kawini" terjadi sebab hampir tidak ada wanita asli Belanda, Tionghoa, Melayu, serta Arab yang bisa dikawinkan di Hindia Belanda, sehingga mereka pun berujung membutuhkan wanita pribumi.
Penjualan budak perempuan dianggap menguntungkan, sebab pada abad ke-18 harga budak perempuan menjadi tiga kali lipat lebih mahal dibanding budak laki-laki.
Akhirnya, jumlah budak yang dimiliki pun dijadikan ajang gengsi bagi kaum priyai. Semakin banyak budak yang ia punya, maka strata sosialnya semakin tinggi. Ketika sang priyai pergi jalan-jalan, ia bakal membawa 3 - 5 budak buat mendampinginya dengan masing-masing tugas tertentu: Memayungi, membawa barang, menggendong anak, serta sebagainya. Sayangnya, budak yang mereka beli tidak pernah mendapat perlakuan yang baik.
Hukuman tidak manusiawi yang diberikan sebab kesalahan yang dilakukan budak mereka tidak jarang menyertakan kekerasan fisik yang berujung pembunuhan. Seorang pendeta bernama Luteran Jan Brandes mencatat kalau ada 12 orang Eropa dibunuh budak mereka sendiri pada akhir tahun 1782.
Ketika sang majikan pulang ke negri asalnya, budak-budaknya bakal dijual kembali ke pasar budak atau dibebaskan. Budak perempuan yang dikawininya bakal ditinggal begitu saja, tidak peduli ia tengah mengandung atau bahkan sudah mempunyai anak hasil perkawinannya. Namun, tidak jarang juga sang majikan membawa budak perempuannya buat ikut pulang.
Pada tahun 1681, dari 30.740 penduduk Batavia yang tercatat sensus, 15.785 orang ialah budak. Pada tahun 1814, tercatat ada 14.239 manusia yang menjadi budak. Sebelum akhirnya penjualan budak secara resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda, sayangnya hal tersebut tetap tidak menghentikan penculikan serta arus penjualan budak secara illegal.
- Admin Masamune (yang ngilang lama)
source: OA Historypedia
Akhirnya, mereka pun mendatangkan para tawanan perang dari mermacam daerah, seperti Manggarai, Bima, Makassar, Bali, serta lainnya. Mereka dijadikan tenaga kerja buat melaksanakan proyek-proyek pembangunan. Hal ini menjadi cikal bakal tumbuhnya bisnis pasar budak di Batavia.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Parra (1761-1775), setiap tahun ada sekitar 4000 budak yang didatangkan ke Batavia buat dijual. Lokasi penjualan budak berpusat pada daerah yang sekarang diketahui dengan nama Manggarai, di Jakarta Selatan. Nama Manggarai sendiri didapat sebab mayoritas budak yang dibawa buat dijual di Batavia berasal dari Manggarai, NTT.
Perlahan-lahan, bisnis penjualan budak pun melebar tidak hanya di bidang tenaga kerja saja. Budak perempuan yang dijual buat keperluan pemuasan nafsu pun mulai didatangkan, mayoritas dibawa dari Bali sebab baik dari pembeli bangsa Belanda, Tionghoa, Melayu, serta Arab mempunyai minat yang tinggi terhadap paras elok wanita Bali.
Penjualan budak wanita buat di"kawini" terjadi sebab hampir tidak ada wanita asli Belanda, Tionghoa, Melayu, serta Arab yang bisa dikawinkan di Hindia Belanda, sehingga mereka pun berujung membutuhkan wanita pribumi.
Penjualan budak perempuan dianggap menguntungkan, sebab pada abad ke-18 harga budak perempuan menjadi tiga kali lipat lebih mahal dibanding budak laki-laki.
Akhirnya, jumlah budak yang dimiliki pun dijadikan ajang gengsi bagi kaum priyai. Semakin banyak budak yang ia punya, maka strata sosialnya semakin tinggi. Ketika sang priyai pergi jalan-jalan, ia bakal membawa 3 - 5 budak buat mendampinginya dengan masing-masing tugas tertentu: Memayungi, membawa barang, menggendong anak, serta sebagainya. Sayangnya, budak yang mereka beli tidak pernah mendapat perlakuan yang baik.
Hukuman tidak manusiawi yang diberikan sebab kesalahan yang dilakukan budak mereka tidak jarang menyertakan kekerasan fisik yang berujung pembunuhan. Seorang pendeta bernama Luteran Jan Brandes mencatat kalau ada 12 orang Eropa dibunuh budak mereka sendiri pada akhir tahun 1782.
Ketika sang majikan pulang ke negri asalnya, budak-budaknya bakal dijual kembali ke pasar budak atau dibebaskan. Budak perempuan yang dikawininya bakal ditinggal begitu saja, tidak peduli ia tengah mengandung atau bahkan sudah mempunyai anak hasil perkawinannya. Namun, tidak jarang juga sang majikan membawa budak perempuannya buat ikut pulang.
Pada tahun 1681, dari 30.740 penduduk Batavia yang tercatat sensus, 15.785 orang ialah budak. Pada tahun 1814, tercatat ada 14.239 manusia yang menjadi budak. Sebelum akhirnya penjualan budak secara resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda, sayangnya hal tersebut tetap tidak menghentikan penculikan serta arus penjualan budak secara illegal.
- Admin Masamune (yang ngilang lama)
source: OA Historypedia