Peninggalan Sejarah Kerajaan Mataram Islam
Kamis, Oktober 24, 2019
Dalam perkembangan kerajaan Mataram islam meninggalkan bekas-bekas peradabannya, baik dalam bentuk bangunan maupun kasusastraan. Dalam peninggalan bangunan dapat ditemukan di Surakarta maupun di Yogyakarta sendiri, peninggalan bangunan yang dapat ditemui di Surakarta yaitu Benteng Vastenburg Pasar Gedhe Hardjonagoro Rumah Sakit Kadipolo Masjid Agung Kraton Surakarta Masjid Laweyan Dalem Poerwadiningratan Taman Sriwedari serta masih banyak lagi, buat peninggalan peninggalan sejarah kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta dapat ditemui bangunan seperti Taman sari, banteng Vredeburg, Kota Gede, Bank Indonesia, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta masih banyak lagi. Berikut uraian singkat tentang bangunan peninggalan sejarah dari kerajaan Mataram Islam baik di Surakarta maupun di Yogyakarta.
Benteng Vastenburg
Di kota Surakarta terdapat bekas peninggalan kolonial Belanda yaitu Benteng Vastenburg, letak bangunan ini berada di selatan dari keraton Kasunanan Surakarta, bangunan ini dibangun oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat selaku penghubung. Bangunan di dalam benteng dipetak-petak buat rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya. Dulu sebelum bernama benteng Vastenburg bangunan ini bernama “Grootmoedigheid” dengan fungsi untuk pertahanan rumah Gubernur Belanda juga digunakan selaku pusat pengawasan kolonial Belanda buat mengawasi gerak-gerik Keraton Kasunanan, Setelah kemerdekaan bangunan ini beralih fungsi selaku kawasan militer serta asrama bagi Brigade Infanteri 6/ Trisakti Baladaya/ Kostrad
Pasar Gedhe Hardjonagoro
Pasar Gedhe dulunya merupakan sebuah pasar “kecil” yang didirikan di area seluas 10.421 meter persegi, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang digunakan selaku Balaikota Surakarta. Bangunan Pasar Gedhe terdiri dari dua bangunan yang terpisah, masing masing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang bertuliskan ‘PASAR GEDHE.
Ir. Thomas Karsten yaitu Arsitek Belanda yang mendesain Pasar Gede Hardjanagara serta diperkirakan pasar gede tersebut selesai pembangunannya pada tahun 1930. Arsitektur Pasar Gedhe kemudian dilakukan perpaduan antara gaya Belanda serta gaya tradisional pada tahun 1947. Sedangkan pemberian nama Pasar gede dikarenakan terdiri dari atap yang besar (Gedhe artinya besar dalam bahasa Jawa). Seiring perkembangan waktu dank arena letaknya yang berdekatan dengan Balai kota serta Keraton Kasunanan Surakarta pasar ini menjadi pasar terbesar serta termegah di Surakarta.
Abdi dalem Kraton Surakarta mula-mula yaitu personil yang ditugaskan buat memungut pajak (retribusi) di Pasar Gede yang kemudian pungutan pajak bakal diberikan ke Keraton Kasunanan.pemunggutan retribusi dilakukan dengan mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa jubah dari kain (lebar serta panjang dari bahan batik dipakai dari pinggang ke bawah), beskap (semacam kemeja), serta blangkon (topi tradisional)
Pasar Gedhe pernah mengalami kerusakan karna serangan Belanda. Dan direnovasi kembali pada tahun 1949 oleh Pemerintah Indonesia. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan buat kantor DPU yang sekarang digunakan selaku pasar buah.
Rumah Sakit Kadipolo
Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X didirikanlah sebuah rumah sakit. Yang kemudian diketahui dengan Rumah Sakit Kadipolo, bangunan rumah sakit tersebut mempunyai luas lahan sekitar 2,5 Ha serta terletak di jalan Dr. Radjiman.
Pada mulanya bangunan ini dibangun khusus buat poliklinik para abdi dalem kraton. Kemudian pada tahun 1948 pengolahannya diserahkan kepada Pemda Surakarta disatukan dengan pengolahan Rumah Sakit Mangkubumen serta Rumah Sakit Jebres. Perpindahan pengelolaan ini disebabkan oleh karna masalah biaya, perpindahan tersebut mempunyai sarat kalau keluarga kraton serta pegawai kraton yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapat keringanan pembiayaan. Dan baru pada tahun 1960 pihak keraton menyerahkan Rumah Sakit Kadipolo sepenuhnya termasuk investasi bangunan berikut seluruh pegawai serta perawatnya kepada Pemda Surakarta.
Tanggal 1 Juli 1960 mulai dirintis penggabungan Rumah Sakit Kadipolo dengan Rumah Sakit Jebres serta Rumah Sakit Mangkubumen di bawah satu direktur yaitu dr. Sutedjo. Kemudian masing-masing rumah sakit melaksanakan spesialisasi, RS. Jebres buat anak-anak, RS. Kadipolo buat penyakit dalam serta kandungan serta RS. Mangkubumen buat korban kecelakaan. Seiring berjalannya waktu bangunan rumah sakit tersebut mengalami kerugian serta akhirnya pada tahun 1985 bangunan tersebut menjadi milik klub sepak bola Arseto sebagi tempat tingal serta mess bagi para pemain Arseto Solo. Namun kini sebagian besar bangunan dibiarkan kosong tidak terawat.
Masjid Agung Keraton Surakarta
Masjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat yaitu nama resmi dari Masjid Agung Kraton Surakarta, Masjid Agung dibangun oleh Sunan Pakubuwono III tahun 1763 serta selesai pada tahun 1768. Menempati lahan seluas 19.180 meter persegi, kawasan masjid dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Di masjid inilah kegiatan festival tahunan Sekaten dipusatkan.
Pada masa prakemerdekaan merupakan Masjid Agung Kerajaan (Surakarta Hadiningrat). Semua pegawai mesjid tersebut merupakan abdi dalem keraton, dengan gelar seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) serta Lurah Muadzin.
Taman sari
Taman yang mendapat sebutan “The Fragrant Garden” ini mempunyai luas lebih dari 10 hektare dengan sekitar 57 bangunan antara lain berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan serta lorong bawah air. Kebun dalam Taman Sari yang membentang dari barat daya kompleks Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan digunakan secara efektif cuma antara 1765-1812. Namun ketika ini, sisa-sisa bagian Taman Sari yang dapat dilihat hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton saja. Dulunya kebun tersebut mempunyai keindahan serta dapat dibandingkan dengan Kebun Raya Bogor selaku kebun Istana Bogor.
Benteng Vredeburg
Museum Benteng Vredeburg yaitu sebuah benteng yang terletak di depan Gedung Agung serta istana Kesultanan Yogyakarta. Sejarah berdiri Benteng Vredeburg Yogyakarta terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Hamengku Buwono I kelak yaitu merupakan hasil politik Belanda yang selalu hendak ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu.
Melihat kemajuan yang sangat pesat bakal keraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran dari pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mulai mendekati sultan serta mengusulkan kepada sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton serta sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda sebenarnya yaitu buat memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karna itu permohonan izin Belanda buat membangun benteng dikabulkan.
Letak benteng yang cuma satu jarak tembak meriam dari kraton serta lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi kalau fungsi benteng dapat dimanfaatkan selaku benteng strategi, intimidasi, penyerangan serta blokade. Dapat dikatakan kalau berdirinya benteng tersebut dimaksudkan buat berjaga-jaga mengantisipasi apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Lokasi tempat keraton ini didirikan konon yaitu bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini dulunya digunakan buat istirahat iringiringan jenazah raja-raja Mataram yang bakal dimakamkan di Imogiri, waktu itu Mataram masih di Kartasura serta Surakarta saja. Sedangkan dari versi lain menyebutkan lokasi keraton Yogyakarta merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di sedang hutan Beringan.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta mempunyai tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan buat menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO karna selain mempunyai mermacam warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno serta bersejarah Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Dengan nilai-nilai ilosoi yang masih dipangku dengan sungguh-sungguh oleh penghuni dalam keraton, belum lagi dengan mitologi-mitologi yang menyelubungi dalam Keraton Yogyakarta yang membuat masyarakat tetap mengenal tentang kearifan lokal mereka.
Kasusastraan
Pada masa Paku Buwono II, di istana Surakarta terdapat seorang pujangga bernama Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I dipandang selaku sastrawan besar Jawa. dia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), yakni Serat Rama, Serat Bharatyudha, Serat Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu. tidak cuma menyadur sastra-sastra Hindu-Jawa, Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu, yakni Hikayat Amir Hamzah yang digubah menjadi Serat Menak. dia pun menerjemahkan Dewa Ruci serta Serat Nitisastra Kakawin. Untuk kepentingan Kasultanan Surakarta, ia menerjemahkan Taj al-Salatin ke dalam bahasa Jawa menjadi Serat Tajusalatin serta Anbiya. tidak cuma buku keagamaan serta sastra, ia pun menulis naskah bersifat kesejarahan secara cermat, yaitu Serat Cabolek serta Babad Giyanti.
Benteng Vastenburg
Di kota Surakarta terdapat bekas peninggalan kolonial Belanda yaitu Benteng Vastenburg, letak bangunan ini berada di selatan dari keraton Kasunanan Surakarta, bangunan ini dibangun oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat selaku penghubung. Bangunan di dalam benteng dipetak-petak buat rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya. Dulu sebelum bernama benteng Vastenburg bangunan ini bernama “Grootmoedigheid” dengan fungsi untuk pertahanan rumah Gubernur Belanda juga digunakan selaku pusat pengawasan kolonial Belanda buat mengawasi gerak-gerik Keraton Kasunanan, Setelah kemerdekaan bangunan ini beralih fungsi selaku kawasan militer serta asrama bagi Brigade Infanteri 6/ Trisakti Baladaya/ Kostrad
Pasar Gedhe Hardjonagoro
Pasar Gedhe dulunya merupakan sebuah pasar “kecil” yang didirikan di area seluas 10.421 meter persegi, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang digunakan selaku Balaikota Surakarta. Bangunan Pasar Gedhe terdiri dari dua bangunan yang terpisah, masing masing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang bertuliskan ‘PASAR GEDHE.
Ir. Thomas Karsten yaitu Arsitek Belanda yang mendesain Pasar Gede Hardjanagara serta diperkirakan pasar gede tersebut selesai pembangunannya pada tahun 1930. Arsitektur Pasar Gedhe kemudian dilakukan perpaduan antara gaya Belanda serta gaya tradisional pada tahun 1947. Sedangkan pemberian nama Pasar gede dikarenakan terdiri dari atap yang besar (Gedhe artinya besar dalam bahasa Jawa). Seiring perkembangan waktu dank arena letaknya yang berdekatan dengan Balai kota serta Keraton Kasunanan Surakarta pasar ini menjadi pasar terbesar serta termegah di Surakarta.
Abdi dalem Kraton Surakarta mula-mula yaitu personil yang ditugaskan buat memungut pajak (retribusi) di Pasar Gede yang kemudian pungutan pajak bakal diberikan ke Keraton Kasunanan.pemunggutan retribusi dilakukan dengan mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa jubah dari kain (lebar serta panjang dari bahan batik dipakai dari pinggang ke bawah), beskap (semacam kemeja), serta blangkon (topi tradisional)
Pasar Gedhe pernah mengalami kerusakan karna serangan Belanda. Dan direnovasi kembali pada tahun 1949 oleh Pemerintah Indonesia. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan buat kantor DPU yang sekarang digunakan selaku pasar buah.
Rumah Sakit Kadipolo
Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X didirikanlah sebuah rumah sakit. Yang kemudian diketahui dengan Rumah Sakit Kadipolo, bangunan rumah sakit tersebut mempunyai luas lahan sekitar 2,5 Ha serta terletak di jalan Dr. Radjiman.
Pada mulanya bangunan ini dibangun khusus buat poliklinik para abdi dalem kraton. Kemudian pada tahun 1948 pengolahannya diserahkan kepada Pemda Surakarta disatukan dengan pengolahan Rumah Sakit Mangkubumen serta Rumah Sakit Jebres. Perpindahan pengelolaan ini disebabkan oleh karna masalah biaya, perpindahan tersebut mempunyai sarat kalau keluarga kraton serta pegawai kraton yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapat keringanan pembiayaan. Dan baru pada tahun 1960 pihak keraton menyerahkan Rumah Sakit Kadipolo sepenuhnya termasuk investasi bangunan berikut seluruh pegawai serta perawatnya kepada Pemda Surakarta.
Tanggal 1 Juli 1960 mulai dirintis penggabungan Rumah Sakit Kadipolo dengan Rumah Sakit Jebres serta Rumah Sakit Mangkubumen di bawah satu direktur yaitu dr. Sutedjo. Kemudian masing-masing rumah sakit melaksanakan spesialisasi, RS. Jebres buat anak-anak, RS. Kadipolo buat penyakit dalam serta kandungan serta RS. Mangkubumen buat korban kecelakaan. Seiring berjalannya waktu bangunan rumah sakit tersebut mengalami kerugian serta akhirnya pada tahun 1985 bangunan tersebut menjadi milik klub sepak bola Arseto sebagi tempat tingal serta mess bagi para pemain Arseto Solo. Namun kini sebagian besar bangunan dibiarkan kosong tidak terawat.
Masjid Agung Keraton Surakarta
Masjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat yaitu nama resmi dari Masjid Agung Kraton Surakarta, Masjid Agung dibangun oleh Sunan Pakubuwono III tahun 1763 serta selesai pada tahun 1768. Menempati lahan seluas 19.180 meter persegi, kawasan masjid dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Di masjid inilah kegiatan festival tahunan Sekaten dipusatkan.
Pada masa prakemerdekaan merupakan Masjid Agung Kerajaan (Surakarta Hadiningrat). Semua pegawai mesjid tersebut merupakan abdi dalem keraton, dengan gelar seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) serta Lurah Muadzin.
Taman sari
source: wisatapedi.com
Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton Yogyakarta yaitu situs bekas taman atau kebun istana milik Keraton Yogyakarta, Kebun ini dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan Garjitawati. Sebagai pimpinan proyek pembangunan Taman Sari ditunjuk lah Tumenggung Mangundipuro. Seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh Bupati Madiun, Tumenggung Prawirosentiko, besrta seluruh rakyatnya. Oleh karna itu daerah Madiun dibebaskan dari pungutan pajak. Di sedang pembangunan pimpinan proyek diambil alih oleh Pangeran Notokusumo, setelah Mangundipuro mengundurkan diri. Walaupun secara resmi selaku kebun kerajaan, namun bebrapa bangunan yang ada mengindikasikan Taman Sari berfungsi selaku benteng pertahanan terakhir Kalau istana diserang oleh musuh.Taman yang mendapat sebutan “The Fragrant Garden” ini mempunyai luas lebih dari 10 hektare dengan sekitar 57 bangunan antara lain berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan serta lorong bawah air. Kebun dalam Taman Sari yang membentang dari barat daya kompleks Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan digunakan secara efektif cuma antara 1765-1812. Namun ketika ini, sisa-sisa bagian Taman Sari yang dapat dilihat hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton saja. Dulunya kebun tersebut mempunyai keindahan serta dapat dibandingkan dengan Kebun Raya Bogor selaku kebun Istana Bogor.
Benteng Vredeburg
Museum Benteng Vredeburg yaitu sebuah benteng yang terletak di depan Gedung Agung serta istana Kesultanan Yogyakarta. Sejarah berdiri Benteng Vredeburg Yogyakarta terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Hamengku Buwono I kelak yaitu merupakan hasil politik Belanda yang selalu hendak ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu.
Melihat kemajuan yang sangat pesat bakal keraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran dari pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mulai mendekati sultan serta mengusulkan kepada sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton serta sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda sebenarnya yaitu buat memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karna itu permohonan izin Belanda buat membangun benteng dikabulkan.
Letak benteng yang cuma satu jarak tembak meriam dari kraton serta lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi kalau fungsi benteng dapat dimanfaatkan selaku benteng strategi, intimidasi, penyerangan serta blokade. Dapat dikatakan kalau berdirinya benteng tersebut dimaksudkan buat berjaga-jaga mengantisipasi apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
source: kratonjogja.id
Beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 Sultan Hamengku Buwono I membangun Keraton Yogyakarta. Sebelum membangun serta pada akhirnya menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.Lokasi tempat keraton ini didirikan konon yaitu bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini dulunya digunakan buat istirahat iringiringan jenazah raja-raja Mataram yang bakal dimakamkan di Imogiri, waktu itu Mataram masih di Kartasura serta Surakarta saja. Sedangkan dari versi lain menyebutkan lokasi keraton Yogyakarta merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di sedang hutan Beringan.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta mempunyai tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan buat menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO karna selain mempunyai mermacam warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno serta bersejarah Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Dengan nilai-nilai ilosoi yang masih dipangku dengan sungguh-sungguh oleh penghuni dalam keraton, belum lagi dengan mitologi-mitologi yang menyelubungi dalam Keraton Yogyakarta yang membuat masyarakat tetap mengenal tentang kearifan lokal mereka.
Kasusastraan
Pada masa Paku Buwono II, di istana Surakarta terdapat seorang pujangga bernama Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I dipandang selaku sastrawan besar Jawa. dia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), yakni Serat Rama, Serat Bharatyudha, Serat Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu. tidak cuma menyadur sastra-sastra Hindu-Jawa, Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu, yakni Hikayat Amir Hamzah yang digubah menjadi Serat Menak. dia pun menerjemahkan Dewa Ruci serta Serat Nitisastra Kakawin. Untuk kepentingan Kasultanan Surakarta, ia menerjemahkan Taj al-Salatin ke dalam bahasa Jawa menjadi Serat Tajusalatin serta Anbiya. tidak cuma buku keagamaan serta sastra, ia pun menulis naskah bersifat kesejarahan secara cermat, yaitu Serat Cabolek serta Babad Giyanti.