Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Masa Revolusi 1945-1949

Pada bulan Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Di tanah air, peristiwa ini membuka peluang sejarah yang langka bagi bangsa Indonesia. Pada masa kekosongan  kekuasan terjadi, para pemimpin bangsa Indonesia dengan cerdas menangkao peluang emas buat mengungkap kemerdekaaannya -- suatu Langkah taktis yang ternyata mendapat sambutan luar biasa dari rakyat. Empat tahun berikutnya tercatat selaku masa konflik terus-menerus antara pemerintah Indonesia yang baru lahir serta Belanda yang hendak menguasai kembali jajahannya. Agresi awal Belanda pada  bulan Juli 1947 diikuti dengan agresi kedua pada bulan Desember 1948. Konflik fisik terus menerus terjadi antara pasukan serta gerilyawan Republik dengan pasukan Belanda.

Drama serta romantikan perjuangan masa revolusi ini direkam dalam buku-buku sejarah nasional kita. Disini kita cuma mencatat Kalau dalam masa ini kegiatan produksi, perdagangan, serta kegiatan ekonomi pada umumnya terganggun oleh situasi konflik serta penuh ketegangan itu. Keadaan diperparah dengan adanya blokade laut Belanda, selaku tekanan terhadap Republik. Ekspor tidak jalan, impor kebutuhan pokok juga terhentu. Tak ada statistik yang merekam secara sistematis kinerja di masa ini, tetapi produksi nasional diperkirakan merosot drastis.

Masa ini mencatat terjadinya kerusakan luar biasa terhadap aset produktif di negeri ini, yang menurut sejumlah laporan bahkan lebih besar daripada yang terjadi semasa pendudukan Jepang. Belanda datang dengan sasaran strategis mengusai kembali aset-aset produktifnya dalam keadaan baik. Sebaliknya taktik gerilyawan Republik yakni membungihanguskan aset-aset sebelum sempat dikuasai oleh Belanda, Ini semua memiliki implikasi luas bagi republik muda sewaktu memasuki masa dama pada dasawarsa berikutnya. Tingkat kerusakan yang terjadi selama dasawarsa 1940-an digambarkan oleh seorang ahli sejarah ekonomi selaku berikut:

"Persoalan yang dihadapi Indonesia pada tahun 1950 digambarkan secara ringkas dalam laporan yang disusun oleh De Javasche Bank tiga tahun sebelumnya selaku bagian dari permohonan Belanda buat mendapatkan Marshall Aid(bantuan pembangunan dari Amerika Serikat). Dokumen ini menekankan Kalau tidaklah boleh menjadi buat mengukur secara lengkap kerusakan fisik yang dialami Indonesia selama serta sesudah perang, tetapi dokumen itu menyebut angka perkiraan kerugian dua milliar dolar yang dihitung dengan nilai PDB Indonesia pada tahun itu. Dokumen ini memberikan perkiraan produksi di mermacam sektor selaku persentase tingkat produksi sebelum perang."

Masa revolusi juga ditandai oleh dua perkembangan lain, yaitu inflasi serta pergerakan penduduk yang luar biasa antar daerah serta kota serta desa.

Inflasi timbul karna adanya adanya kelangkaan kronis barang-barang kebutuhan masyarakat serta penambahan uang beredar yang tidak terkendali. Kelangkaan kronis barang-barang kebutuhan rakyat yakni konsokuensi langsung dari turunnya kapasitas produksi, terganggunya kegiatan rutin produksi sehari-hari, serta terhentinya ekspor-impor karna blokade Belanda. Sedangkan pertumbuhan uang beredar bersumber dari percetakan uang oleh Republik buat memenuhi kebutuhan pemerintah serta perjuangan yang terus meningkat -- singkatnya, karna defisit anggaran terus menerus yang cuma bisa ditutup dengan mencetak uang baru. Pada waktu itu, institusi-institusi normal pengumpul pendapatan negara -- pajak, bea masuk, cukai, serta lain-lain--tidak berfungsi. Sebagai catatan tambahan yang menggambarkan kekisruhan suasana, pada waktu itu beredar tidak cuma satu mata uang: ada uang yang dikeluarkan pemerintah pusat Republik, ada uang "Republik" yang dikeluarkan oleh para penguasa daerah, ada sisa-sisa uang pendudukan Jepang, serta ada uang yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank -- masing-masing memiliki nilai sendiri-sendiri terhadap barang. Kepercayaan orang pada masing-masing mata uang berbeda--yang paling kurang dipercaya biasanya tidak pernah disimpan lama oleh pemegangnya serta secepatnya dibelanjakan, artinya"kecepatan sirkulasi" (velocity of circulation)-nya paling tinggi. Uang De Javasche Bank, yang volume sirkulasinya tidak tersandera oleh defisit anggaran, menjadi pilihan masyarakat buat dipegang serta disimpan. Pembaca boleh menjadi pernah mendengar Hukum Gresham yang berbunyi: "bad money drives out good money". Hukum ini terjadi di masa ini. Tapi kemudian langkah-langkah penertiban dilakukan. Menjelang akhir masa ini, tinggal dua mata uang yang dominan--uang Republik Indonesia serta mata uang De Javasche Bank. Baru pada awal dasawarsa 1950-an, keduanya dilebur menjadi satu mata uang nasional yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia(eks De Javasche Bank yang dinasionalisasi pada 1953).

Masa revolusi juga mencatat terjadinya pergerakan penduduk besar-besaran antara daerah dengan konsokuensi luas pada kehidupan sosial, ekonomi, serta politik di tanah air. Ini yakni awal proses urbanisasi besar yang berkelanjutan dalam dekade-dekade selanjutnya sampat ketika ini.

Sumber: Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah oleh Prof. Dr. Boediono 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel