Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
Kamis, Oktober 24, 2019
Abdurrahman Wahid yang lebih diketahui dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur selaku presiden tak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan lewat pemungutan suara dalam rapat paripurna ke-13 MPR.
Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden lewat pemungutan suara pula. Dia dilantik menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.
Perjalanan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita reformasi diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini yakni kabinet koalisi dari partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK serta PDI-P. Di awal pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen Penerangan serta Departemen Sosial dengan alasan perampingan struktur pemerintahan. tidak cuma itu, pemerintah berpandangan kalau aktivitas yang dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat ditangani oleh masyarakat sendiri.
Dari sudut pandang politik, pembubaran Departemen Penerangan merupakan salah satu upaya buat melanjutkan reformasi di bidang sosial serta politik mengingat departemen ini merupakan salah satu alat pemerintahan Orde Baru dalam mengendalikan media massa terutama media massa yang mengkritisi kebijakan pemerintah.
Pembubaran Departemen Penerangan serta Sosial diiringi dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut lewat Keputusan Presiden No. 355/M tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999. Sedangkan penjelasan mengenai tugas serta fungsi termasuk susunan organisasi serta tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999 tanggal 10 November 1999. Nama departemen ini berubah menjadi Departemen Kelautan serta Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165 tahun 2000 tanggal 23 November 2000.
Pembentukan departemen ini mempunyai nilai strategis mengingat hingga masa pemerintahan Presiden Habibie, sektor kelautan Indonesia yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar justru belum mendapat perhatian serius dari pemerintah sebelumnya. tidak cuma explorasi serta eksploitasi sumber daya kelautan, mermacam kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan laut meliputi pariwisata, pengangkutan laut, pabrik serta perawatan kapal serta pengembangan budi daya laut lewat pemanfaatan bioteknologi.
a. Reformasi Bidang Hukum serta Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR menggelar amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten serta kota. Amandemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara dapat memilih langsung wakilwakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut. tidak cuma amandemen tersebut, upaya reformasi di bidang hukum serta pemerintahan juga menyentuh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur TNI serta Polri.
Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru buat melanggengkan kekuasaan terutama dalam menggelar tindakan represif terhadap gerakan demokrasi. Pemisahan TNI serta Polri juga merupakan upaya buat mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan serta ketertiban.
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yakni upaya buat menyelesaikan mermacam kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 serta terfokus pada apa yang Sudah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto serta keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota serta dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan selaku terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid yakni pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa buat menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu lewat Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya terutama dalam kasus komunisme serta masalah Israel.
Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama serta hak-hak kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya mermacam aksi penolakan terhadap kebijakan serta gagasan-gagasannya. Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan buat mencabut Tap.MPRS No.XXV tahun 1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia serta penyebaran Marxisme serta Leninisme. Gagasan tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia serta tokoh-tokoh organisasi massa serta partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya buat membawa rencana serta gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
tidak cuma masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa serta partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya ketika ia terpilih menjadi presiden yakni gagasannya buat membuka hubungan dagang dengan Israel.
Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel yakni negara yang menjajah serta Sudah banyak menggelar tindakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan dagang dengan Israel sama Sahaja dengan melanggar apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengungkapkan kalau Indonesia merupakan negara yang menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.
Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tak terlepas dari akumulasi mermacam gagasan serta keputusannya yang kontroversial serta mendapat tantangan keras dari mermacam organisasi massa serta partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU serta PKB. Keduanya merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga akhir masa pemerintahannya. tidak cuma gagasannya yang kontroversial mengenai pencabutan Tap.MPRS mengenai pelarangan komunisme serta gagasan pembukaan hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR serta bahkan dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tak harmonis.
Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan serta mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR. Pemberhentian Laksamana Sukardi selaku Menteri Negara Penanaman Modal serta Jusuf Kalla selaku Menteri Perindustrian serta Perdagangan bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.
Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid serta jajaran pemerintahannya makin menipis seiring dengan adanya dugaan kalau presiden terlibat dalam pencairan serta penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah serta dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) buat menggelar penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus tersebut. (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220)
Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui serta menerima hasil kerja Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan dengan memorandum yang dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 buat mengingatkan kalau presiden Sudah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan serta melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. (Gonggong &Asy’asri ed 2005:221) Presiden Abdurrahman Wahid tak menerima isi memorandum tersebut sebab dianggap tak memenuhi landasan konstitusional.
DPR sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000. Rapat tersebut memberikan laporan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap memorandum pertama.
Hubungan antara presiden serta DPR makin memanas seiring dengan ancaman presiden terhadap DPR. Apabila DPR melanjutkan niat mereka buat menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden bakal mengumumkan keadaan darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula bakal terjadi pergantian anggota DPR, serta memerintahkan TNI serta Polri buat mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah.
Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung presiden serta pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput. Ribuan pendukung presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur menggelar aksi menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan serta pembakaran mermacam fasilitas umum serta gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah partai politik serta organisasi massa yang dianggap mendukung DPR buat mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan kalau hasil penyelidikan kasus skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog serta sumbangan Sultan Brunai yang diduga menyertakan Presiden Abdurrahman Wahid tak terbukti. Hasil akhir pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001.
Ketegangan antara pendukung presiden serta pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tak menyurutkan niat DPR buat menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap kalau landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna buat meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan kalau ia tak bakal mundur dari jabatan presiden serta sebaliknya menganggap kalau sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tak sah serta illegal..
Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden. Secara umum dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR serta DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat serta mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun serta menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Namun isi dekrit tersebut tak dapat dijalankan terutama sebab TNI serta Polri yang diperintahkan buat mengamankan langkah-langkah penyelamatan tak melaksanakan tugasnya. Seperti yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI maupun Polri konsisten buat tak menyertakan diri dalam politik praktis.
Sikap TNI serta Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR buat kembali menggelar Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan pemungutan suara buat menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid serta Rancangan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri selaku Presiden Republik Indonesia.
Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap Sudah melanggar haluan negara sebab tak hadir serta menolak buat memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI. Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid selaku Presiden serta mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri selaku presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.
Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden lewat pemungutan suara pula. Dia dilantik menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.
Perjalanan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita reformasi diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini yakni kabinet koalisi dari partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK serta PDI-P. Di awal pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen Penerangan serta Departemen Sosial dengan alasan perampingan struktur pemerintahan. tidak cuma itu, pemerintah berpandangan kalau aktivitas yang dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat ditangani oleh masyarakat sendiri.
Dari sudut pandang politik, pembubaran Departemen Penerangan merupakan salah satu upaya buat melanjutkan reformasi di bidang sosial serta politik mengingat departemen ini merupakan salah satu alat pemerintahan Orde Baru dalam mengendalikan media massa terutama media massa yang mengkritisi kebijakan pemerintah.
Pembubaran Departemen Penerangan serta Sosial diiringi dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut lewat Keputusan Presiden No. 355/M tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999. Sedangkan penjelasan mengenai tugas serta fungsi termasuk susunan organisasi serta tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999 tanggal 10 November 1999. Nama departemen ini berubah menjadi Departemen Kelautan serta Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165 tahun 2000 tanggal 23 November 2000.
Pembentukan departemen ini mempunyai nilai strategis mengingat hingga masa pemerintahan Presiden Habibie, sektor kelautan Indonesia yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar justru belum mendapat perhatian serius dari pemerintah sebelumnya. tidak cuma explorasi serta eksploitasi sumber daya kelautan, mermacam kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan laut meliputi pariwisata, pengangkutan laut, pabrik serta perawatan kapal serta pengembangan budi daya laut lewat pemanfaatan bioteknologi.
a. Reformasi Bidang Hukum serta Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR menggelar amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten serta kota. Amandemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak suara dapat memilih langsung wakilwakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut. tidak cuma amandemen tersebut, upaya reformasi di bidang hukum serta pemerintahan juga menyentuh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur TNI serta Polri.
Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru buat melanggengkan kekuasaan terutama dalam menggelar tindakan represif terhadap gerakan demokrasi. Pemisahan TNI serta Polri juga merupakan upaya buat mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan serta ketertiban.
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yakni upaya buat menyelesaikan mermacam kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 serta terfokus pada apa yang Sudah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto serta keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota serta dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan selaku terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid yakni pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa buat menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu lewat Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya terutama dalam kasus komunisme serta masalah Israel.
Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama serta hak-hak kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya mermacam aksi penolakan terhadap kebijakan serta gagasan-gagasannya. Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan buat mencabut Tap.MPRS No.XXV tahun 1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia serta penyebaran Marxisme serta Leninisme. Gagasan tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia serta tokoh-tokoh organisasi massa serta partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya buat membawa rencana serta gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
tidak cuma masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa serta partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya ketika ia terpilih menjadi presiden yakni gagasannya buat membuka hubungan dagang dengan Israel.
Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel yakni negara yang menjajah serta Sudah banyak menggelar tindakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan dagang dengan Israel sama Sahaja dengan melanggar apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengungkapkan kalau Indonesia merupakan negara yang menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.
Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tak terlepas dari akumulasi mermacam gagasan serta keputusannya yang kontroversial serta mendapat tantangan keras dari mermacam organisasi massa serta partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU serta PKB. Keduanya merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga akhir masa pemerintahannya. tidak cuma gagasannya yang kontroversial mengenai pencabutan Tap.MPRS mengenai pelarangan komunisme serta gagasan pembukaan hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR serta bahkan dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tak harmonis.
Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan serta mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR. Pemberhentian Laksamana Sukardi selaku Menteri Negara Penanaman Modal serta Jusuf Kalla selaku Menteri Perindustrian serta Perdagangan bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.
Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid serta jajaran pemerintahannya makin menipis seiring dengan adanya dugaan kalau presiden terlibat dalam pencairan serta penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah serta dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) buat menggelar penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus tersebut. (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220)
Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui serta menerima hasil kerja Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan dengan memorandum yang dikeluarkan DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 buat mengingatkan kalau presiden Sudah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan serta melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. (Gonggong &Asy’asri ed 2005:221) Presiden Abdurrahman Wahid tak menerima isi memorandum tersebut sebab dianggap tak memenuhi landasan konstitusional.
DPR sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000. Rapat tersebut memberikan laporan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap memorandum pertama.
Hubungan antara presiden serta DPR makin memanas seiring dengan ancaman presiden terhadap DPR. Apabila DPR melanjutkan niat mereka buat menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden bakal mengumumkan keadaan darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula bakal terjadi pergantian anggota DPR, serta memerintahkan TNI serta Polri buat mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah.
Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung presiden serta pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput. Ribuan pendukung presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur menggelar aksi menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan serta pembakaran mermacam fasilitas umum serta gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah partai politik serta organisasi massa yang dianggap mendukung DPR buat mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan kalau hasil penyelidikan kasus skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog serta sumbangan Sultan Brunai yang diduga menyertakan Presiden Abdurrahman Wahid tak terbukti. Hasil akhir pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001.
Ketegangan antara pendukung presiden serta pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tak menyurutkan niat DPR buat menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap kalau landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna buat meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan kalau ia tak bakal mundur dari jabatan presiden serta sebaliknya menganggap kalau sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tak sah serta illegal..
Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden. Secara umum dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR serta DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat serta mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun serta menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Namun isi dekrit tersebut tak dapat dijalankan terutama sebab TNI serta Polri yang diperintahkan buat mengamankan langkah-langkah penyelamatan tak melaksanakan tugasnya. Seperti yang dijelaskan oleh Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI maupun Polri konsisten buat tak menyertakan diri dalam politik praktis.
Sikap TNI serta Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR buat kembali menggelar Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan pemungutan suara buat menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid serta Rancangan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri selaku Presiden Republik Indonesia.
Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap Sudah melanggar haluan negara sebab tak hadir serta menolak buat memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI. Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid selaku Presiden serta mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri selaku presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.