Perkembangan Serta Masa Keemasan Kerajaan Banten
Kamis, Oktober 31, 2019
Pada abad ke-17 ini, Belanda Sudah menguasai beberapa daerah kerajaan besar seperti: Mataram, Maluku, Batavia serta Makasar. Sedangkan dalam bidang ekonomi, Belanda Sudah memegang monopoli perdagangan rempah-rempah secara luas, bahkan Belanda pun berhasil memperoleh monopoli di Sumatera Tengah yakni di Palembang (1642) serta Jambi (1643). Di pihak lain, rakyat nusantara sebagian besar berada dalam kemiskinan serta penindasan akibat keserakahan Belanda ini.
Setelah Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir wafat, Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-5 pada tanggal 10 Maret 1651. Untuk memperlancar sistem pemerintahannya Sultan mengangkat beberapa orang yang dianggap cakap selaku pembantunya. Jabatan Patih atau Mangkubumi dipercayakan kepada Pangeran Mandura serta wakilnya Tubagus Wiratmaja, selaku Kadhi atau Hakim Agung diserahkan kepada Pangeran Jayasentika, tapi karna Pangeran Jayasentika meninggal tidak lama setelah pengangkatan itu dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang kemudian diketahui dengan nama Faqih Najmuddin.
Pangeran Mandura serta Pangeran Jayasentika ialah Putra Sultan ‘Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir, menjadi masih terhitung paman, sedangkan Faqih Najmuddin ialah menantu Sultan Abulmufakhir yang menikah dengan Ratu Lor. Untuk memudahkan pengawasan daerah-daerah yang tersebar luas seperti Lampung, Solebar, Bengkulu, serta lainnya, diangkatlah ponggawa-ponggawa serta nayaka-nayaka di bawah pengawasan serta tanggung jawab Mangkubumi. Dalam waktu tertentu nayaka-nayaka ini diharuskan datang ke Banten serta berkumpul di kediaman Mangkubumi di Kemuning, di seberang sungai, buat melaporkan keadaan daerahnya masing-masing.
Biasanya setelah itu para ponggawa serta nayaka ini dibawa menghadap Sultan di istana Surosowan, buat menerima petunjuk-petunjuk serta pesan-pesan yang perlu disampaikan kepada rakyat di daerahnya masing-masing. Di Mangkubumi Pangeran Mandura diserahi tugas mengatur serta mengawasi kesejahteraan prajurit karajaan, baik tentang perumahannya di Kanari maupun tentang persenjataannya. Rumah-rumah senopati serta ponggawa ditempatkan sedemikian rupa sehingga, di samping mereka dapat cepat mengetahui keadaan prajuritprajuritnya, tetapi dengan gampang mereka pun dapat selekasnya menerima instruksi sultan.
Memang Pangeran Surya yang bergelar Pangeran Ratu Ing Banten ialah seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan sewaktu masih menjabat Putra Mahkota, Pangeran Surya-lah yang mengatur gerilya terhadap pendudukan Belanda di Batavia. Seperti juga kakeknya, Pangeran Ratu tidaklah melepaskan jalur hubungan dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah, yang biasanya dilakukan sambil menunaikan ibadah haji.
Persiapan buat melaksanakan pertemuan dengan pusat kekhalifahan di Mekah itu, Sultan melaksanakan musyawarah dengan beberapa pembesar kerajaan yang antara lain: Pangeran Mandura, Pangeran Mangunjaya serta Mas Dipaningrat; yang selanjutnya diputuskan supaya Santri Betot beserta tujuh orang lainnya diutus ke Mekah. Delegasi ini ditugaskan buat melaporkan penggantian Sultan di Banten, juga menceritakan keadaan nusantara serta Kesultanan Banten khususnya dalam hubungannya dengan kompeni Belanda. Di samping itu pula, buat memperdalam pengetahuan rakyat Banten kepada agama Islam, dimintakan supaya Khalifah mengirimkan guru agama ke Banten.
Setiba kembali utusan ini dari Mekah, Khalifah Makkah menyampaikan sepucuk surat buat Sultan bersama tiga orang utusan yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, serta Haji Salim. Dari khalifah Mekah pula Pangeran Ratu Ing Banten mendapat gelar Sultan ‘Abulfath Abdulfattah. Santri Betot kemudian diberi nama Haji Fattah serta mendapat hadiah-hadiah dari sultan, demikian juga ketujuh orang pengiringnya.
Dalam masalah politik kenegaraan, Sultan ‘Abulfath Abdulfattah dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke pangkuan Banten merupakan cita-cita utama serta karenanya Sultan tidak bakal pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan melihat Apabila perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni pada tahun 1645 sudah tidak lagi dipatuhi kompeni. Kompeni Belanda masih selalu mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak berlabuh serta melaksanakan transaksi dagang di bandar Banten, sehingga pelabuhan Banten mengalami banyak penurunan, karna pedagang-pedagang asing segan berlabuh di Banten takut diserang kapal-kapal kompeni, baik waktu datang maupun setelah mereka meninggalkan Banten.
Membalas tindakan kompeni ini Sultan pun memerintahkan tentaranya buat selalu melaksanakan perusuhan pada intalasi milik kompeni, di mana sahaja diharapkan orang-orang Belanda itu selekasnya meninggalkan Banten. Sultan pun memperkuat pasukannya di Tangerang serta Angke, yang Sudah lama dijadikan benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi kompeni Belanda. Dari daerah ini pula pada tahun 1652 pasukan Banten melaksanakan penyerangan ke Batavia. Melihat situasi yang kian panas itu, kompeni mengirimkan utusan ke Banten buat menyampaikan usulan pembaharuan perjanjian tahun 1645. Dibawanya hadiah-hadiah yang menarik buat melunakkan hati Sultan, tapi Sultan ‘Abulfath menolak usulan tersebut. Utusan kedua dikirimnya pula pada bulan Agustus 1655, tapi seperti utusan yang pertama, Sultan pun menolaknya. Banten bertekad hendak meleyapkan penjajah Belanda walau apapun resikonya.
Sehingga pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke serta Tangerang melaksanakan gerilya besar besaran, dengan melaksanakan pengrusakan kebun-kebun tebu serta penggilingan-penggilingannya, pencegatan serdadu-serdadu patroli Belanda, pembakaran markas patroli, serta beberapa pembunuhan orang-orang Belanda, yang semuanya dilakukan pada malam hari.
Di samping itu perahu-perahu ramping prajurit Banten sering mencegat kapal kompeni, serta membunuh semua tentara Belanda serta merampas semua senjata serta kapalnya. Sehingga kapal kompeni yang hendak melewati perairan Banten haruslah dikawal pasukan yang kuat. Untuk menghadapi kompeni dalam pertempuran yang lebih besar, Sultan ‘Abulfath memperkuat pertahanannya baik dalam jumlah maupun kualitasnya.
Diadakanlah hubungan yang lebih baik dengan negaranegara lain seperti Cirebon, Mataram serta lain-lain. Bahkan dari Kerajaan Turki, Inggris, Perancis, serta Denmark, banyak didapatkan bantuan berupa senjata-senjata api yang sangat dibutuhkan. Diadakanlah kesatuan tahap serta penyatuan pasukan di daerah kuasa Banten seperti di Lampung, Bangka, Solebar, Indragiri, serta daerah lainnya mengirimkan pasukan perangnya buat bergabung dengan pasukan Surosowan.
Demikian juga keadaan kompeni di Batavia, pasukan perang kompeni diperkuat dengan serdadu-serdadu sewaan dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Melayu, Bali, Makasar serta Bugis. Memang serdadu yang berasal negeri Belanda sendiri sangat sedikit, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi buat menghadapi orang pribumi lainnya. Dalam pertempuran itu pun, orang Belanda selalu berada di balik sedangkan yang maju perang selalu serdadu pribumi. Diperkuatnya penjagaan-penjagaan serta benteng-benteng di perbatasan Angke, Pesing, Tangerang, tapi karna kompeni tengah sibuk berperang dengan Makasar, mereka tidak bisa banyak menyiapkan pasukan.
Setelah terjadi beberapa kali pertempuran yang banyak merugikan kedua belah pihak, maka sekitar bulan November serta Desember 1657 Kompeni mengajukan usul gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata ini tidak selekasnya dapat disepakati, karna syarat-syarat perjanjian itu belum semuanya disepakati,. Karena kepentingan Belanda serta kepentingan Banten selalu berbeda.
Tanggal 29 April 1658 datanglah utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni yang berisi rangcangan perjanjian persahabatan. Usul perdamaian ini terdiri dari 10 pasal: 1. Kedua belah pihak perlu mengembalikan tawanan perangnya masing-masing.
2. Banten perlu membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau serta 1500 ekor sapi.
3. Blokade Belanda atas Banten bakal dihentikan setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
4. Kantor perwakilan Belanda di Banten perlu diperbaiki atas biaya dari Banten.
5. Sultan Banten perlu menjamin keamanan serta kemerdekaan perwakilan kompeni di Banten.
6. Karena banyaknya barang-barang kompeni dicuri serta digelapkan oleh orang Banten, maka kapal-kapal kompeni yang datang di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7. Setiap orang Banten yang ada di Batavia perlu dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya. 8. Kapal-kapal kompeni yang datang ke pelabuhan Banten dibebaskan dari bea masuk serta bea keluar. 9. Perbatasan Banten serta Batavia ialah garis lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman serta pegunungan.
10. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas daerahnya masing-masing.
Dari rancangan naskah perjanjian yang diajukan kompeni ini Sultan ‘Abulfath dapat melihat kecurangan serta ketidaksungguhan kompeni atas pedamaian. Kompeni cuma mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658, Sultan mengirimkan utusan ke Batavia buat mengajukan perubahan atas rancangan naskah perjanjian itu antara lain :
1. Rakyat Banten dibolehkan datang ke Batavia setahun sekali buat membeli senjata, meriam, peluru, mesiu, besi, cengkeh serta pala.
2. Rakyat Banten dibebaskan berdagang di Ambon serta Perak tanpa dikenakan pajak serta cukai.
Usul Sultan ini dengan serta merta ditolaknya, kompeni cuma menginginkan supaya orang Banten membeli rempahrempah dari kompeni dengan harga yang ditentukan serta perlu membayar pajak. Monopoli rempah-rempah di Ambon serta Maluku ialah suatu yang sangat menguntungkan kompeni, sehingga apabila Banten dibolehkan berdagang di sana, hapuslah monopoli ini. Demikian juga apabila orang Banten dibolehkan membeli alat-alat perang, ini bakal memungkinkan Banten memperkuat diri serta dengan gampang bakal merebut kembali Batavia.
Penolakan Gubernur Kompeni atas usul ini membuat Sultan sadar Apabila tidaklah barangkali bakal ada persesuaian pendapat antara dua musuh yang berbeda kepentingan ini, bahkan dengan perdamaian ini kompeni berkesempatan buat menyusun kekuatan. Karena berpikiran demikian maka pada tanggal 11 Mei 1658 dikirimnya surat balasan yang menjelaskan Apabila Banten serta kompeni Belanda tidak bakal barangkali bisa berdamai. Tiada jalan lain yang perlu ditempuh kecuali perang. Sejak itulah Sultan Abulfath Abdulfattah mengumumkan “perang sabil” menghadapi kompeni Belanda. Seluruh kekuatan angkatan perang Banten dikerahkan ke daerah-daerah perbatasan, maka terjadilah pertempuran besar di darat serta laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti-hentinya sejak bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
Setelah Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir wafat, Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-5 pada tanggal 10 Maret 1651. Untuk memperlancar sistem pemerintahannya Sultan mengangkat beberapa orang yang dianggap cakap selaku pembantunya. Jabatan Patih atau Mangkubumi dipercayakan kepada Pangeran Mandura serta wakilnya Tubagus Wiratmaja, selaku Kadhi atau Hakim Agung diserahkan kepada Pangeran Jayasentika, tapi karna Pangeran Jayasentika meninggal tidak lama setelah pengangkatan itu dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang kemudian diketahui dengan nama Faqih Najmuddin.
Pangeran Mandura serta Pangeran Jayasentika ialah Putra Sultan ‘Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir, menjadi masih terhitung paman, sedangkan Faqih Najmuddin ialah menantu Sultan Abulmufakhir yang menikah dengan Ratu Lor. Untuk memudahkan pengawasan daerah-daerah yang tersebar luas seperti Lampung, Solebar, Bengkulu, serta lainnya, diangkatlah ponggawa-ponggawa serta nayaka-nayaka di bawah pengawasan serta tanggung jawab Mangkubumi. Dalam waktu tertentu nayaka-nayaka ini diharuskan datang ke Banten serta berkumpul di kediaman Mangkubumi di Kemuning, di seberang sungai, buat melaporkan keadaan daerahnya masing-masing.
Biasanya setelah itu para ponggawa serta nayaka ini dibawa menghadap Sultan di istana Surosowan, buat menerima petunjuk-petunjuk serta pesan-pesan yang perlu disampaikan kepada rakyat di daerahnya masing-masing. Di Mangkubumi Pangeran Mandura diserahi tugas mengatur serta mengawasi kesejahteraan prajurit karajaan, baik tentang perumahannya di Kanari maupun tentang persenjataannya. Rumah-rumah senopati serta ponggawa ditempatkan sedemikian rupa sehingga, di samping mereka dapat cepat mengetahui keadaan prajuritprajuritnya, tetapi dengan gampang mereka pun dapat selekasnya menerima instruksi sultan.
Memang Pangeran Surya yang bergelar Pangeran Ratu Ing Banten ialah seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan sewaktu masih menjabat Putra Mahkota, Pangeran Surya-lah yang mengatur gerilya terhadap pendudukan Belanda di Batavia. Seperti juga kakeknya, Pangeran Ratu tidaklah melepaskan jalur hubungan dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah, yang biasanya dilakukan sambil menunaikan ibadah haji.
Persiapan buat melaksanakan pertemuan dengan pusat kekhalifahan di Mekah itu, Sultan melaksanakan musyawarah dengan beberapa pembesar kerajaan yang antara lain: Pangeran Mandura, Pangeran Mangunjaya serta Mas Dipaningrat; yang selanjutnya diputuskan supaya Santri Betot beserta tujuh orang lainnya diutus ke Mekah. Delegasi ini ditugaskan buat melaporkan penggantian Sultan di Banten, juga menceritakan keadaan nusantara serta Kesultanan Banten khususnya dalam hubungannya dengan kompeni Belanda. Di samping itu pula, buat memperdalam pengetahuan rakyat Banten kepada agama Islam, dimintakan supaya Khalifah mengirimkan guru agama ke Banten.
Setiba kembali utusan ini dari Mekah, Khalifah Makkah menyampaikan sepucuk surat buat Sultan bersama tiga orang utusan yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, serta Haji Salim. Dari khalifah Mekah pula Pangeran Ratu Ing Banten mendapat gelar Sultan ‘Abulfath Abdulfattah. Santri Betot kemudian diberi nama Haji Fattah serta mendapat hadiah-hadiah dari sultan, demikian juga ketujuh orang pengiringnya.
Dalam masalah politik kenegaraan, Sultan ‘Abulfath Abdulfattah dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke pangkuan Banten merupakan cita-cita utama serta karenanya Sultan tidak bakal pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan melihat Apabila perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni pada tahun 1645 sudah tidak lagi dipatuhi kompeni. Kompeni Belanda masih selalu mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak berlabuh serta melaksanakan transaksi dagang di bandar Banten, sehingga pelabuhan Banten mengalami banyak penurunan, karna pedagang-pedagang asing segan berlabuh di Banten takut diserang kapal-kapal kompeni, baik waktu datang maupun setelah mereka meninggalkan Banten.
Membalas tindakan kompeni ini Sultan pun memerintahkan tentaranya buat selalu melaksanakan perusuhan pada intalasi milik kompeni, di mana sahaja diharapkan orang-orang Belanda itu selekasnya meninggalkan Banten. Sultan pun memperkuat pasukannya di Tangerang serta Angke, yang Sudah lama dijadikan benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi kompeni Belanda. Dari daerah ini pula pada tahun 1652 pasukan Banten melaksanakan penyerangan ke Batavia. Melihat situasi yang kian panas itu, kompeni mengirimkan utusan ke Banten buat menyampaikan usulan pembaharuan perjanjian tahun 1645. Dibawanya hadiah-hadiah yang menarik buat melunakkan hati Sultan, tapi Sultan ‘Abulfath menolak usulan tersebut. Utusan kedua dikirimnya pula pada bulan Agustus 1655, tapi seperti utusan yang pertama, Sultan pun menolaknya. Banten bertekad hendak meleyapkan penjajah Belanda walau apapun resikonya.
Sehingga pada tahun 1656 pasukan Banten yang bermarkas di Angke serta Tangerang melaksanakan gerilya besar besaran, dengan melaksanakan pengrusakan kebun-kebun tebu serta penggilingan-penggilingannya, pencegatan serdadu-serdadu patroli Belanda, pembakaran markas patroli, serta beberapa pembunuhan orang-orang Belanda, yang semuanya dilakukan pada malam hari.
Di samping itu perahu-perahu ramping prajurit Banten sering mencegat kapal kompeni, serta membunuh semua tentara Belanda serta merampas semua senjata serta kapalnya. Sehingga kapal kompeni yang hendak melewati perairan Banten haruslah dikawal pasukan yang kuat. Untuk menghadapi kompeni dalam pertempuran yang lebih besar, Sultan ‘Abulfath memperkuat pertahanannya baik dalam jumlah maupun kualitasnya.
Diadakanlah hubungan yang lebih baik dengan negaranegara lain seperti Cirebon, Mataram serta lain-lain. Bahkan dari Kerajaan Turki, Inggris, Perancis, serta Denmark, banyak didapatkan bantuan berupa senjata-senjata api yang sangat dibutuhkan. Diadakanlah kesatuan tahap serta penyatuan pasukan di daerah kuasa Banten seperti di Lampung, Bangka, Solebar, Indragiri, serta daerah lainnya mengirimkan pasukan perangnya buat bergabung dengan pasukan Surosowan.
Demikian juga keadaan kompeni di Batavia, pasukan perang kompeni diperkuat dengan serdadu-serdadu sewaan dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Melayu, Bali, Makasar serta Bugis. Memang serdadu yang berasal negeri Belanda sendiri sangat sedikit, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi buat menghadapi orang pribumi lainnya. Dalam pertempuran itu pun, orang Belanda selalu berada di balik sedangkan yang maju perang selalu serdadu pribumi. Diperkuatnya penjagaan-penjagaan serta benteng-benteng di perbatasan Angke, Pesing, Tangerang, tapi karna kompeni tengah sibuk berperang dengan Makasar, mereka tidak bisa banyak menyiapkan pasukan.
Setelah terjadi beberapa kali pertempuran yang banyak merugikan kedua belah pihak, maka sekitar bulan November serta Desember 1657 Kompeni mengajukan usul gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata ini tidak selekasnya dapat disepakati, karna syarat-syarat perjanjian itu belum semuanya disepakati,. Karena kepentingan Belanda serta kepentingan Banten selalu berbeda.
Tanggal 29 April 1658 datanglah utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni yang berisi rangcangan perjanjian persahabatan. Usul perdamaian ini terdiri dari 10 pasal: 1. Kedua belah pihak perlu mengembalikan tawanan perangnya masing-masing.
2. Banten perlu membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau serta 1500 ekor sapi.
3. Blokade Belanda atas Banten bakal dihentikan setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
4. Kantor perwakilan Belanda di Banten perlu diperbaiki atas biaya dari Banten.
5. Sultan Banten perlu menjamin keamanan serta kemerdekaan perwakilan kompeni di Banten.
6. Karena banyaknya barang-barang kompeni dicuri serta digelapkan oleh orang Banten, maka kapal-kapal kompeni yang datang di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7. Setiap orang Banten yang ada di Batavia perlu dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya. 8. Kapal-kapal kompeni yang datang ke pelabuhan Banten dibebaskan dari bea masuk serta bea keluar. 9. Perbatasan Banten serta Batavia ialah garis lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman serta pegunungan.
10. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas daerahnya masing-masing.
Dari rancangan naskah perjanjian yang diajukan kompeni ini Sultan ‘Abulfath dapat melihat kecurangan serta ketidaksungguhan kompeni atas pedamaian. Kompeni cuma mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Banten. Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658, Sultan mengirimkan utusan ke Batavia buat mengajukan perubahan atas rancangan naskah perjanjian itu antara lain :
1. Rakyat Banten dibolehkan datang ke Batavia setahun sekali buat membeli senjata, meriam, peluru, mesiu, besi, cengkeh serta pala.
2. Rakyat Banten dibebaskan berdagang di Ambon serta Perak tanpa dikenakan pajak serta cukai.
Usul Sultan ini dengan serta merta ditolaknya, kompeni cuma menginginkan supaya orang Banten membeli rempahrempah dari kompeni dengan harga yang ditentukan serta perlu membayar pajak. Monopoli rempah-rempah di Ambon serta Maluku ialah suatu yang sangat menguntungkan kompeni, sehingga apabila Banten dibolehkan berdagang di sana, hapuslah monopoli ini. Demikian juga apabila orang Banten dibolehkan membeli alat-alat perang, ini bakal memungkinkan Banten memperkuat diri serta dengan gampang bakal merebut kembali Batavia.
Penolakan Gubernur Kompeni atas usul ini membuat Sultan sadar Apabila tidaklah barangkali bakal ada persesuaian pendapat antara dua musuh yang berbeda kepentingan ini, bahkan dengan perdamaian ini kompeni berkesempatan buat menyusun kekuatan. Karena berpikiran demikian maka pada tanggal 11 Mei 1658 dikirimnya surat balasan yang menjelaskan Apabila Banten serta kompeni Belanda tidak bakal barangkali bisa berdamai. Tiada jalan lain yang perlu ditempuh kecuali perang. Sejak itulah Sultan Abulfath Abdulfattah mengumumkan “perang sabil” menghadapi kompeni Belanda. Seluruh kekuatan angkatan perang Banten dikerahkan ke daerah-daerah perbatasan, maka terjadilah pertempuran besar di darat serta laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti-hentinya sejak bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.