Kehidupan Politik Serta Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam
Kamis, Oktober 31, 2019
Dalam menjalankan pemerintahannya, Panembahan Senopati selaku raja Mataram menghadapi banyak rintangan. Di mana para bupati di pantai utara Jawa seperti Demak, Jepara, serta Kudus yang dulunya tunduk kepada Pajang masih terus menyelenggarakan pemberontakan karna mau melepaskan diri dari Pajang serta menjadi kerajaan yang merdeka.
Panembahan Senopati yang bercita-cita menguasai tanah Jawa, terus menyelenggarakan mermacam persiapan di daerah dengan memperkuat pasukan Mataram. Pada ketika Panembahan Senopati mengadakan perluasan wilayah kerajaan serta menduduki daerahdaerah pesisir pantai Surabaya, adipati Surabaya menjalin persekutuan dengan Madiun serta Ponorogo buat menghadapi Mataram. Sayangnya, Ponorogo serta Madiun justru dapat dikuasai oleh Mataram. Tak berselang lama, Pasuruan, Kediri, serta akhirnya Surabaya juga berhasil direbut. Dalam waktu yang cukup singkat, Mataram berhasil merebut semua wilayah yang berada di Jawa Tengah serta Jawa Timur. Di masa pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Mas Jolang (1602-1613 M), Kerajaan Mataram makin diperluas dengan mengadakan pendudukan terhadap daerah-daerah di sekitarnya.
Pada tahun 1613 M, Mas Jolang wafat di desa Krapyak kemudian dimakamkan di pasar Gede serta diberi gelar Pangeran Seda ing Krapyak. Yang menggantikan Mas Jolang setelah wafat yakni Mas Martapura. Namun karna kesehatan Mas Martapura sering sakit-sakitan, ia turun dari tahta kerajaan serta digantikan oleh Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman. Mas Rangsang yakni raja awal di Mataram yang menggunakan gelar Sultan sehingga ia lebih diketahui dengan sebutan Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 M) inilah Kerajaan Mataram mencapai masa kejayaannya.
tidak cuma menjabat selaku seorang raja, Sultan Agung juga sangat tertarik dengan ilsafat, kesusastraan, serta seni. dia pun kemudian menulis buku ilsafat yang berjudul Sastro Gending. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataran sudah dua kali menyelenggarakan penyerangan ke Batavia (tahun 1628 M serta 1629 M), namun semua serangan itu gagal. Alasan penyerangan itu yakni karna Sultan Agung mempunyai tujuan buat mempertahankan seluruh tanah Jawa serta mengusir orang-orang Belanda yang berada di Batavia. Dengan demikian, beliau yakni salah satu penguasa yang secara besar-besaran memerangi VOC yang kala itu sudah menguasai Batavia. Setelah mengalami kegagalan itu, Sultan Agung kemudian memperketat penjagaan di daerah perbatasan-perbatasan yang dekat dengan Batavia agar pihak Belanda sulit buat menembus daerah Mataram.
Pada ketika pemerintahan Sultan Agung, wilayah Kerajaan Mataram hampir meliputi seluruh pulau Jawa. Wilayah kerajaan pun dibagi menjadi dua: Wilayah Pusat serta Mancanegara.
1. Wilayah pusat dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Kutanegara atau Kutagara selaku pusat pemerintahan dengan pusatnya yakni istana atau keraton yang berkedudukan di ibukota kerajaan.
b. Negara Agung, merupakan wilayah yang mengitari Kutanegara. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, wilayah Negara Agung di bagi menjadi empat daerah serta masing-masing daerah dibagi menjadi dua bagian:
1. Daerah Kedu, dibagi menjadi Siti Bumi serta Bumijo yang terletak di sebelah barat serta timur sungai Progo,
2. Daerah Siti Ageng atau Bumi Gede, dibagi menjadi Siti Ageng Kiwa serta Siti Ageng Tengen,
3. Daerah Bagelen, dibagi menjadi Sewu yang terletak antara sungai Bogowonto serta Sungai Donan di Cilacap serta Numbak Anyar yang terletak antara sungai Bogowonto serta sungai Progo,
4. Daerah Pajang, dibagi menjadi Panumpin yang meliputi daerah Sukowati serta Panekar.
2. Wilayah Mancanegara yakni daerah yang berada di luar wilayah Negara Agung tapi tidak termasuk daerah pantai. Mancanegara meliputi Jawa Tengah serta Jawa Timur sehingga dibagi menjadi Mancanegara Timur (Mancanegara Wetan) serta Mancanegara Barat (Mancanegara Kilen). Sedangkan wilayah kerajaan yang terletak di tepi pantai disebut Pasisiran yang kemudian dibagi lagi menjadi Pesisir Timur (Pasisiran Wetan) serta Pesisir Barat (Pasisiran Kilen). Sebagai batas kedua daerah pasisiran yakni sungai Tedunan atau sungai Serang yang mengalir di antara Demak serta Jepara.
Setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 M, kekuasaan dipegang oleh putranya yang bergelar Amengkurat I (1645-1677 M). Berbeda dengan ayahnya yang sangat membeci orang-orang Belanda, Amengkurat I justru membiarkan orang-orang Belanda masuk ke daerah Kerajaan Mataram. Bahkan Amengkurat I menjalin hubungan yang sangat erat dengan Belanda serta mereka diperkenankan buat membangun benteng di Kerajaan Mataram.
Setelah diizinkan membangun benteng di wilayah Kerajaan Mataram, ternyata tindakan Belanda makin sewenangwenang. Akhirnya muncullah pemberontakan yang dipimpin oleh pangeran Trunajaya dari Madura. Berbekal koneksi dengan bupati di daerah pesisir pantai, Pangeran Trunajaya hampir menguasai ibu kota Mataram. Namun karna perlengkapan persenjataan pasukan Belanda jauh lengkap, pemberontakan itu berhasil dipadamkan.
Pada ketika terjadi pertempuran di pusat Ibukota Kerajaan Mataram, Amengkurat I menderita luka-luka serta dilarikan oleh putranya ke Tegalwangi serta meninggal dunia di sana. Amengkurat II pun menggantikan ayahnya memimpin Mataram (1677-1703 M). Ternyata di bawah pemerintahannya, Mataram menjadi makin rapuh sehingga wilayah yang dikuasainya makin sempit karna sudah dikuasai oleh Belanda. Karena merasa bosan tinggal di ibu kota kerajaan, Amengkurat II kemudian mendirikan sebuah ibu kota baru di Desa Wonokerto yang diberi nama Kartasura.
Di Kartasura, Amengkurat II menjalankan pemerintahan nya dengan sisa-sisa Kerajaan Mataram serta meninggal di sana pada tahun 1703 M. Setelah Amengkurat II meninggal, Kerajaan Mataram menjadi makin suram serta sudah tidak barangkali buat merebut kembali wilayah-wilayah yang sudah direbut oleh Belanda. Naik menggantikan Amengkurat II, Sunan Mas (Sunan Amengkurat III) menuruni sifat kakeknya yang sangat menentang kegiatan VOC. Karena mendapat pertentangan dari Amengkurat III, VOC tidak menyetujui pengangkatan Sunan Amengkurat III selaku Raja Mataram sehingga VOC mengangkat Pangeran Puger yang merupakan adik dari Amangkurat II (Paku Buwono I) selaku calon Raja tandingan. Maka pecahlah perang saudara (memperebutkan mahkota I) antara Amangkurat III dengan Pangeran Puger serta akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Puger. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan selaku Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I.
Paku Buwono I meninggal tahun 1719 serta diganti oleh Sunan Prabu (Amangkurat IV) pada tahun 1719-1727 M. Di masa pemerintahan Amengkurat IV terjadi banyak pemberontakan terhadap pemerintahannya yang dilakukan oleh para bangsawan. Di sini, lagi-lagi VOC ikut campur sehingga kembali terjadi perang antar saudara (memperebutkan mahkota II). Sepeninggal Sunan Amangkurat IV pada tahun 1727, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah lewat Perjanjian Giyati. Wilayah awal yakni Daerah Kesultanan Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I selaku rajanya. Mangkubumi menjabat selaku raja di Ngayogyakarta Hadiningrat dari tahun 1755-1792 M. Sedangkan wilayah yang kedua yakni Daerah Kesuhunan Surakarta yang diperintah oleh Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1749-1788 M.
Struktur birokrasi Kerajaan Mataram disusun secara hirarki mengikuti sistem pembagian wilayah kerajaan. Adapun sistem pemerintahannya dibedakan selaku berikut:
1. Pemerintahan Dalam Istana (Peprintahan Lebet). Tugasnya yakni mengurusi pemerintahan dalam istana serta diserahkan pada empat orang pejabat Wedana Dalam (Wedana Lebet) yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, serta Wedana Keparak Tengen. Adapun tugas Wedana Gedong yakni mengurusi masalah keuangan serta perbendaharaan istana, sedangkan tugas Wedana Keparak yakni mengurus keprajuritan serta pengadilan. Gelar yang digunakan oleh para wedana yakni Tumenggung, atau Pangeran Jika pejabat itu merupakan keturunan raja. Masing-masing Wedana Lebet dibantu oleh seorang Kliwon (Papatih atau Lurah Carik) yang memakai gelar Ngabehi. Di bawahnya lagi terdapat Kebayan serta 40 orang Mantri Jajar. Sebelum tahun 1744, di atas jabatan Wedana terdapat jabatan Patih Dalam (Patih Lebet) dengan tugas buat mengoordinasikan wedana-wedana tersebut. Namun sejak tahun 1755 jabatan Patih Dalam (Patih Lebet) dihapus.
Pemerintahan di Kutagara diurusi oleh dua orang Tumenggung yang langsung mendapat perintah dari raja. Kedudukan Tumenggung bersama empat Wedana Lebet cukup penting, yaitu selaku anggota Dewan Tertinggi Kerajaan. Berbeda dengan Kartasura yang pada tahun 1744 menugaskan 4 orang pejabat buat mengurusi daerah Kutagara, di mana salah satu diantaranya diangkat selaku kepala.
Wilayah Negara Agung termasuk bagian dari pusat kerajaan, di mana setiap daerah dipimpin oleh Wedana Luar (Wedana Jawi). Sesuai dengan nama daerah masing-masing, maka terdapat sebutan: Wedana Bumi, Wedana Bumija, Wedana Sewu, Wedana Numbak Anyar, Wedana Siti Ageng Kiwa, Wedana Siti Ageng Tengen, Wedana Panumping serta Wedana Panekar. Para wedana ini juga dibantu oleh Kliwon, Kebayan serta 40 orang Mantra Jajar. Sedangkan yang mengoordinasi para wedana ini yakni seorang Patih Luar (Patih Jawi) dengan tugas mengurusi wilayah Negara Agung serta Wilayah Daerah (Mancanegara). Sedangkan di tanah-tanah lungguh (tanah garapan), para bangsawan mengangkat seorang Demang atau Kayi Lurah.
2. Pemerintahan Luar Istana (Pemerintahan Jawi). Tugasnya yakni mengurusi daerah-daerah di wilayah mancanegara baik Mancanegara Timur (Mancanegara Wetan) maupun Mancanegara Barat (Mancanegara Kilen). Untuk mengurusi daerah Mancanegara ini, raja mengangkat seorang Bupati yang dipimpin oleh Wedana Bupati. Adapun tugas Wedana Bupati yakni mengoordinasi serta mengawasi semua bupati yang menjadi kepala di daerah masing-masing, serta bertanggung jawab langsung kepada raja atas pemerintahan daerah serta kelancaran pengumpulan hasil-hasil daerah yang perlu diserahkan pada pusat.
Untuk daerah pesisir, wilayah Pesisir Timur (Pesisiran Wetan) dipimpin oleh Wedana Bupati yang berkedudukan di Jepara, sementara wilayah Pesisir Barat (Pesisiran Kilen) dipimpin oleh Wedana Bupati yang berkedudukan di Tegal. Dalam bidang kemiliteran (keprajuritan) juga disusun gelar kepangkatan secara hierarkis dari atas ke bawah: Senapati, Panji, Lurah, serta Bekel Prajurit. tidak cuma itu juga terdapat petugas mata-mata (telik sandi) serta semacam petugas kepolisian buat menjaga keamanan umum dalam kerajaan.
Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Mataram Islam ialah:
1. Danang Sutawijaya (Raden ngabehi Loring Pasar) atau Panembahan Senopati (1586-1601 M).
2. Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak (1602- 1613 M)
3. Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Hanyakrakusuma atau Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman (1613-1646 M)
4. Amangkurat I (1646- 1676 M)
5. Amangkurat II diketahui juga selaku Sunan Amral (1677- 1703 M)
6. Sunan Mas atau Amangkurat III pada 1703 M
7. Pangeran Puger yang bergelar Paku Buwono I (1703-1719 M)
8. Sunan Prabu atau Amangkurat IV (1719-1727 M)
9. Paku Buwono II (1727-1749 M)
10. Paku Buwono III pada 1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC
11. Sultan Agung
Panembahan Senopati yang bercita-cita menguasai tanah Jawa, terus menyelenggarakan mermacam persiapan di daerah dengan memperkuat pasukan Mataram. Pada ketika Panembahan Senopati mengadakan perluasan wilayah kerajaan serta menduduki daerahdaerah pesisir pantai Surabaya, adipati Surabaya menjalin persekutuan dengan Madiun serta Ponorogo buat menghadapi Mataram. Sayangnya, Ponorogo serta Madiun justru dapat dikuasai oleh Mataram. Tak berselang lama, Pasuruan, Kediri, serta akhirnya Surabaya juga berhasil direbut. Dalam waktu yang cukup singkat, Mataram berhasil merebut semua wilayah yang berada di Jawa Tengah serta Jawa Timur. Di masa pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Mas Jolang (1602-1613 M), Kerajaan Mataram makin diperluas dengan mengadakan pendudukan terhadap daerah-daerah di sekitarnya.
Pada tahun 1613 M, Mas Jolang wafat di desa Krapyak kemudian dimakamkan di pasar Gede serta diberi gelar Pangeran Seda ing Krapyak. Yang menggantikan Mas Jolang setelah wafat yakni Mas Martapura. Namun karna kesehatan Mas Martapura sering sakit-sakitan, ia turun dari tahta kerajaan serta digantikan oleh Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman. Mas Rangsang yakni raja awal di Mataram yang menggunakan gelar Sultan sehingga ia lebih diketahui dengan sebutan Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 M) inilah Kerajaan Mataram mencapai masa kejayaannya.
tidak cuma menjabat selaku seorang raja, Sultan Agung juga sangat tertarik dengan ilsafat, kesusastraan, serta seni. dia pun kemudian menulis buku ilsafat yang berjudul Sastro Gending. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataran sudah dua kali menyelenggarakan penyerangan ke Batavia (tahun 1628 M serta 1629 M), namun semua serangan itu gagal. Alasan penyerangan itu yakni karna Sultan Agung mempunyai tujuan buat mempertahankan seluruh tanah Jawa serta mengusir orang-orang Belanda yang berada di Batavia. Dengan demikian, beliau yakni salah satu penguasa yang secara besar-besaran memerangi VOC yang kala itu sudah menguasai Batavia. Setelah mengalami kegagalan itu, Sultan Agung kemudian memperketat penjagaan di daerah perbatasan-perbatasan yang dekat dengan Batavia agar pihak Belanda sulit buat menembus daerah Mataram.
Pada ketika pemerintahan Sultan Agung, wilayah Kerajaan Mataram hampir meliputi seluruh pulau Jawa. Wilayah kerajaan pun dibagi menjadi dua: Wilayah Pusat serta Mancanegara.
1. Wilayah pusat dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Kutanegara atau Kutagara selaku pusat pemerintahan dengan pusatnya yakni istana atau keraton yang berkedudukan di ibukota kerajaan.
b. Negara Agung, merupakan wilayah yang mengitari Kutanegara. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, wilayah Negara Agung di bagi menjadi empat daerah serta masing-masing daerah dibagi menjadi dua bagian:
1. Daerah Kedu, dibagi menjadi Siti Bumi serta Bumijo yang terletak di sebelah barat serta timur sungai Progo,
2. Daerah Siti Ageng atau Bumi Gede, dibagi menjadi Siti Ageng Kiwa serta Siti Ageng Tengen,
3. Daerah Bagelen, dibagi menjadi Sewu yang terletak antara sungai Bogowonto serta Sungai Donan di Cilacap serta Numbak Anyar yang terletak antara sungai Bogowonto serta sungai Progo,
4. Daerah Pajang, dibagi menjadi Panumpin yang meliputi daerah Sukowati serta Panekar.
2. Wilayah Mancanegara yakni daerah yang berada di luar wilayah Negara Agung tapi tidak termasuk daerah pantai. Mancanegara meliputi Jawa Tengah serta Jawa Timur sehingga dibagi menjadi Mancanegara Timur (Mancanegara Wetan) serta Mancanegara Barat (Mancanegara Kilen). Sedangkan wilayah kerajaan yang terletak di tepi pantai disebut Pasisiran yang kemudian dibagi lagi menjadi Pesisir Timur (Pasisiran Wetan) serta Pesisir Barat (Pasisiran Kilen). Sebagai batas kedua daerah pasisiran yakni sungai Tedunan atau sungai Serang yang mengalir di antara Demak serta Jepara.
Setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 M, kekuasaan dipegang oleh putranya yang bergelar Amengkurat I (1645-1677 M). Berbeda dengan ayahnya yang sangat membeci orang-orang Belanda, Amengkurat I justru membiarkan orang-orang Belanda masuk ke daerah Kerajaan Mataram. Bahkan Amengkurat I menjalin hubungan yang sangat erat dengan Belanda serta mereka diperkenankan buat membangun benteng di Kerajaan Mataram.
Setelah diizinkan membangun benteng di wilayah Kerajaan Mataram, ternyata tindakan Belanda makin sewenangwenang. Akhirnya muncullah pemberontakan yang dipimpin oleh pangeran Trunajaya dari Madura. Berbekal koneksi dengan bupati di daerah pesisir pantai, Pangeran Trunajaya hampir menguasai ibu kota Mataram. Namun karna perlengkapan persenjataan pasukan Belanda jauh lengkap, pemberontakan itu berhasil dipadamkan.
Pada ketika terjadi pertempuran di pusat Ibukota Kerajaan Mataram, Amengkurat I menderita luka-luka serta dilarikan oleh putranya ke Tegalwangi serta meninggal dunia di sana. Amengkurat II pun menggantikan ayahnya memimpin Mataram (1677-1703 M). Ternyata di bawah pemerintahannya, Mataram menjadi makin rapuh sehingga wilayah yang dikuasainya makin sempit karna sudah dikuasai oleh Belanda. Karena merasa bosan tinggal di ibu kota kerajaan, Amengkurat II kemudian mendirikan sebuah ibu kota baru di Desa Wonokerto yang diberi nama Kartasura.
Di Kartasura, Amengkurat II menjalankan pemerintahan nya dengan sisa-sisa Kerajaan Mataram serta meninggal di sana pada tahun 1703 M. Setelah Amengkurat II meninggal, Kerajaan Mataram menjadi makin suram serta sudah tidak barangkali buat merebut kembali wilayah-wilayah yang sudah direbut oleh Belanda. Naik menggantikan Amengkurat II, Sunan Mas (Sunan Amengkurat III) menuruni sifat kakeknya yang sangat menentang kegiatan VOC. Karena mendapat pertentangan dari Amengkurat III, VOC tidak menyetujui pengangkatan Sunan Amengkurat III selaku Raja Mataram sehingga VOC mengangkat Pangeran Puger yang merupakan adik dari Amangkurat II (Paku Buwono I) selaku calon Raja tandingan. Maka pecahlah perang saudara (memperebutkan mahkota I) antara Amangkurat III dengan Pangeran Puger serta akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Puger. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan selaku Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I.
Paku Buwono I meninggal tahun 1719 serta diganti oleh Sunan Prabu (Amangkurat IV) pada tahun 1719-1727 M. Di masa pemerintahan Amengkurat IV terjadi banyak pemberontakan terhadap pemerintahannya yang dilakukan oleh para bangsawan. Di sini, lagi-lagi VOC ikut campur sehingga kembali terjadi perang antar saudara (memperebutkan mahkota II). Sepeninggal Sunan Amangkurat IV pada tahun 1727, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah lewat Perjanjian Giyati. Wilayah awal yakni Daerah Kesultanan Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I selaku rajanya. Mangkubumi menjabat selaku raja di Ngayogyakarta Hadiningrat dari tahun 1755-1792 M. Sedangkan wilayah yang kedua yakni Daerah Kesuhunan Surakarta yang diperintah oleh Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1749-1788 M.
Struktur birokrasi Kerajaan Mataram disusun secara hirarki mengikuti sistem pembagian wilayah kerajaan. Adapun sistem pemerintahannya dibedakan selaku berikut:
1. Pemerintahan Dalam Istana (Peprintahan Lebet). Tugasnya yakni mengurusi pemerintahan dalam istana serta diserahkan pada empat orang pejabat Wedana Dalam (Wedana Lebet) yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, serta Wedana Keparak Tengen. Adapun tugas Wedana Gedong yakni mengurusi masalah keuangan serta perbendaharaan istana, sedangkan tugas Wedana Keparak yakni mengurus keprajuritan serta pengadilan. Gelar yang digunakan oleh para wedana yakni Tumenggung, atau Pangeran Jika pejabat itu merupakan keturunan raja. Masing-masing Wedana Lebet dibantu oleh seorang Kliwon (Papatih atau Lurah Carik) yang memakai gelar Ngabehi. Di bawahnya lagi terdapat Kebayan serta 40 orang Mantri Jajar. Sebelum tahun 1744, di atas jabatan Wedana terdapat jabatan Patih Dalam (Patih Lebet) dengan tugas buat mengoordinasikan wedana-wedana tersebut. Namun sejak tahun 1755 jabatan Patih Dalam (Patih Lebet) dihapus.
Pemerintahan di Kutagara diurusi oleh dua orang Tumenggung yang langsung mendapat perintah dari raja. Kedudukan Tumenggung bersama empat Wedana Lebet cukup penting, yaitu selaku anggota Dewan Tertinggi Kerajaan. Berbeda dengan Kartasura yang pada tahun 1744 menugaskan 4 orang pejabat buat mengurusi daerah Kutagara, di mana salah satu diantaranya diangkat selaku kepala.
Wilayah Negara Agung termasuk bagian dari pusat kerajaan, di mana setiap daerah dipimpin oleh Wedana Luar (Wedana Jawi). Sesuai dengan nama daerah masing-masing, maka terdapat sebutan: Wedana Bumi, Wedana Bumija, Wedana Sewu, Wedana Numbak Anyar, Wedana Siti Ageng Kiwa, Wedana Siti Ageng Tengen, Wedana Panumping serta Wedana Panekar. Para wedana ini juga dibantu oleh Kliwon, Kebayan serta 40 orang Mantra Jajar. Sedangkan yang mengoordinasi para wedana ini yakni seorang Patih Luar (Patih Jawi) dengan tugas mengurusi wilayah Negara Agung serta Wilayah Daerah (Mancanegara). Sedangkan di tanah-tanah lungguh (tanah garapan), para bangsawan mengangkat seorang Demang atau Kayi Lurah.
2. Pemerintahan Luar Istana (Pemerintahan Jawi). Tugasnya yakni mengurusi daerah-daerah di wilayah mancanegara baik Mancanegara Timur (Mancanegara Wetan) maupun Mancanegara Barat (Mancanegara Kilen). Untuk mengurusi daerah Mancanegara ini, raja mengangkat seorang Bupati yang dipimpin oleh Wedana Bupati. Adapun tugas Wedana Bupati yakni mengoordinasi serta mengawasi semua bupati yang menjadi kepala di daerah masing-masing, serta bertanggung jawab langsung kepada raja atas pemerintahan daerah serta kelancaran pengumpulan hasil-hasil daerah yang perlu diserahkan pada pusat.
Untuk daerah pesisir, wilayah Pesisir Timur (Pesisiran Wetan) dipimpin oleh Wedana Bupati yang berkedudukan di Jepara, sementara wilayah Pesisir Barat (Pesisiran Kilen) dipimpin oleh Wedana Bupati yang berkedudukan di Tegal. Dalam bidang kemiliteran (keprajuritan) juga disusun gelar kepangkatan secara hierarkis dari atas ke bawah: Senapati, Panji, Lurah, serta Bekel Prajurit. tidak cuma itu juga terdapat petugas mata-mata (telik sandi) serta semacam petugas kepolisian buat menjaga keamanan umum dalam kerajaan.
Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Mataram Islam ialah:
1. Danang Sutawijaya (Raden ngabehi Loring Pasar) atau Panembahan Senopati (1586-1601 M).
2. Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak (1602- 1613 M)
3. Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Hanyakrakusuma atau Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman (1613-1646 M)
4. Amangkurat I (1646- 1676 M)
5. Amangkurat II diketahui juga selaku Sunan Amral (1677- 1703 M)
6. Sunan Mas atau Amangkurat III pada 1703 M
7. Pangeran Puger yang bergelar Paku Buwono I (1703-1719 M)
8. Sunan Prabu atau Amangkurat IV (1719-1727 M)
9. Paku Buwono II (1727-1749 M)
10. Paku Buwono III pada 1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC
11. Sultan Agung