Sejarah Berdirinya Kerajaan Banten
Rabu, Oktober 23, 2019
Banten secara geograis terletak di bagian paling barat dari pulau Jawa, Banten memiliki luas sekitar 114 mil persegi. Kerajaan Banten menjadi penguasa jalur pelayaran serta perdagangan yang lewat Selat Sunda. Dengan posisi yang strategis ini Kerajaan Banten berkembang menjadi kerajaan besar di Pulau Jawa serta bahkan menjadi saingan berat bagi VOC di Batavia pada masanya. Dalam catatan sejarah Kesultanan banten didirikan pada tahun 1520 oleh pendatang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa tengah, Kerajaan Banten daerah kekuasaanya meliputi wilayahwilayah dari daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor serta Jakarta hingga Lampung di sumatera bagian Selatan. Daerah yang oleh pelawat-pelawat Portugis dinamakan Sunda Bantam sejak zaman dulu merupakan sebuah pusat perdagangan lada, Sunda Bantam mulai mengalami kemajuan pesat setalah Malaka direbut oleh orang-orang Portugis. Perpindahan bandar utama menjadi lebih menjorok kedalam menjadi berada di Banten karna Banten berada di pinggir laut serta dalam jalur perdangan, belum lagi Kalau Banten juga daerah yang juga menghasilkan rempah-rempah.
Dalam sebuah tulisan Sunda kuno, kisah Parahiyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang. Nama ini kemudian dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara Jawa. Tetapi dalam sebuah catatan lain yaitu Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, serta Kabar Cina,dulu daerah Banten orang menyebutnya dengan nama Medanggili. Sebutan ini setidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber yang berasal dari Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung, yang diperkirakan ditulis tahun 1430, memberitakan Kalau Banten merupakan suatu tempat yang berada dalam beberapa rute pelayaran Mao’Kun sekitar tahun 1421. Rute pelayaran yang dilakukan oleh Mao’Kun ialah Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak; Banten-Banjarmasing; Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam buku Ying-Yai-She-Lan (1433) Banten disebut Shut’a yang sangat dekat pelafalannya dengan Sunda. Buku ini merupakan laporan ekspedisi dari Laksamana Cheng Ho serta Ma Huan ke beberapa tempat di Pulau Jawa.
Didukung tambahan adanya sumber dari orang Eropa yang diambil dari catatan laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkannya selaku sebuah kota pelabuhan yang ramai serta berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menyatakan juga Kalau Banten terletak di sebuah teluk serta muara sungai sehingga menjadi sebuah kota niaga yang baik.Kota ini dikepalai oleh seorang syahbandar serta wilayah niaganya tidak cuma menjangkau Sumatera melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, serta mermacam jenis makanan lainnya.
tidak cuma dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini dipandang selaku kata asal bagi nama Banten. Dalam Purwaka Caruban Nagari, dijelaskan Kalau Syarif Hidayatullah beserta 98 orang muridnya dari Cirebon, berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran danketekunan, banyaklah yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah. Bahkan akhirnya Bupati Banten serta sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan cuma menjadi pelabuhan dagang saja, melainkan juga sudah tumbuh selaku pusat kekuasaan (kerajaan). Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten mulai dikala Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran, buat mencari Kabar mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh Kabar Kalau cahaya yang dimaksud ialah nur Islam serta cahaya kenabian. ia kemudian memeluk agama Islam serta kembali ke Pajajaran buat menyebarkan luaskan agama Islam ke masyarakat. Upaya yang dilakukan Kian Santang cuma berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah releksi bakal adanya pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan Kalau dikala Raden Trenggono dinobatkan selaku sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar Sultan Trenggono, ia kian gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono buat lekas menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya.
Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah buat menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak serta pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, serta Dipati Cangkuang. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Gabungan pasukan Demak dengan Cirebon bersama lascar marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin serta Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran.
Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi serta politik, pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan buat memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat lewat Selat Sunda serta Selat Malaka.
Situasi ini berkaitan pula dengan situasi serta kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak dikala itulah kian ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan selaku ibu kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama. Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat selaku bupati Kadipaten Banten. Pada tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin selaku sultannya.
Ketika Kesultanan Demak runtuh serta diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). ia sudah memberikan andil terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara selaku salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini sudah dibuktikan dengan kehadiran bangunan berupa masjid serta sarana pendidikan islam seperti pesantren. Di samping itu, ia juga mengirim mubaligh ke mermacam daerah yang sudah dikuasainya. Usaha yang sudah dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam serta membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya.
Kesultanan Banten berdiri dengan ditopang oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik serta kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang menjadi tonggak berdirnya Kesultanan Banten juga masih terbagi atas tiga kekuatan utama yaitu adanya kerajaan Demak, Cirebon, serta Banten itu sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, serta Maulana Hasanuddin selaku pelopornya.
Perintisan kerajaan Banten diawali dengan kegiatan dakwah/ penyebaran agama Islam, kemudian berkembang dengan pembentukkan kelompok-kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), serta akhirnya berlanjut kearah penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kerajaan Banten.
Kekuatan kedua yang menjadi pondasi kelahiran Kerajaan Banten yaitu para pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan Kalau sejak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten sudah tumbuh kantong-kantong permukiman orang muslim yang sebagian besar bermata pencaharian selaku pedagang.
Kesultanan Banten pada masa kejayanya menguasai daerah yang meliputi Serang, Pandeglang, Lebak, serta Tangerang. Banten memiliki arti serta peranan yang penting dalam penyebaran serta pengembangan Islam di Nusantara sejak abad ke-16 sampai abad ke-19, khususnya di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, serta Sumatra Selatan. Posisi kota Banten yang terletak di pesisir Selat Sunda serta merupakan pintu gerbang lalu lintas menuju pulau Sumatra ataupun pulau Jawa dinilai sangat strategis buat menarik perhatian penguasa di Demak buat menguasainya. Pada tahun 1525-1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten. Penguasaan dari Demak yang merupakan kerajaan Islam inilah yang menjadikan Banten tumbuh menjadi kerajaan Islam pula di tanah Jawa.
Sebelum Banten berwujud selaku suatu kesultanan Islam, wilayah ini termasuk bagian dari kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan Agama resmi kerajaan dikala itu ialah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di Banten ialah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan (Banten Lor) cuma berfungsi selaku pelabuhan. Menurut Kabar Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa serta Banten merupakan pelabuhan yang besar serta ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam serta luar negeri. Dari sanalah sebagian lada serta hasil negeri lainnya di ekspor.
Oleh karna itu, Banten pada masa lalu ialah potret sebuah kota metropolitan serta menjadi pusat perkembangan pemerintahan pada Abad 16. Disamping itu keberadaan kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin. Seperti masjidmasjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik serta unik. Bila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur asing serta Jawa.
Hal ini dapat dilihat dari tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah, mimbar kuno yang berukir indah, atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa sultan Banten beserta keluarga serta kerabatnya.
Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, dia ialah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna. Pada masa pemerintahan kerajaan Banten, gedung Tiamah ini digunakan selaku majelis taklim serta tempat para ulama serta umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Sekarang gedung tersebut sudah beralih fungsi selaku tempat penyimpanan benda-benda purbakala. tidak cuma bangunan Tiamah, peninggalan kerajaan Banten dapat ditemukan di Kasunyatan, peninggalan tersebut ialah Masjid Kasunyatan yang umurnya diperkirakan lebih tua dari Masjid Agung Banten sendiri. Di masjid inilah tinggal serta mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, ulama yang menjadi guru Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua.
Bangunan lain yang menunjukkan kebesaran dari Kesultanan Banten masa lampau ialah bekas Keraton Surosowan atau gedung kedaton Pakuwan. Keraton Surosowan ini letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Sekarang keraton Surosowan cuma tinggal puing-puing bangunan Sahaja dengan dikelilingi oleh tembok- tembok yang tebal, luas Keraton Surosowan itu sendiri kurang lebih mencapai 4 hektar, berbentuk empat persegi panjang. Benteng Keraton Surosowan ersebut sekarang masih tegak berdiri, meskipun beberapa bagian kecil ada yang sudah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih banyak bangunan atau situs yang menjadi bukti kekuasaan dari kerajaan Banten, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang serta pelabuhan perahu Karangantu.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia oleh Binuko Amarseto
Dalam sebuah tulisan Sunda kuno, kisah Parahiyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang. Nama ini kemudian dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara Jawa. Tetapi dalam sebuah catatan lain yaitu Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, serta Kabar Cina,dulu daerah Banten orang menyebutnya dengan nama Medanggili. Sebutan ini setidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber yang berasal dari Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung, yang diperkirakan ditulis tahun 1430, memberitakan Kalau Banten merupakan suatu tempat yang berada dalam beberapa rute pelayaran Mao’Kun sekitar tahun 1421. Rute pelayaran yang dilakukan oleh Mao’Kun ialah Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak; Banten-Banjarmasing; Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam buku Ying-Yai-She-Lan (1433) Banten disebut Shut’a yang sangat dekat pelafalannya dengan Sunda. Buku ini merupakan laporan ekspedisi dari Laksamana Cheng Ho serta Ma Huan ke beberapa tempat di Pulau Jawa.
Didukung tambahan adanya sumber dari orang Eropa yang diambil dari catatan laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkannya selaku sebuah kota pelabuhan yang ramai serta berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menyatakan juga Kalau Banten terletak di sebuah teluk serta muara sungai sehingga menjadi sebuah kota niaga yang baik.Kota ini dikepalai oleh seorang syahbandar serta wilayah niaganya tidak cuma menjangkau Sumatera melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, serta mermacam jenis makanan lainnya.
tidak cuma dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini dipandang selaku kata asal bagi nama Banten. Dalam Purwaka Caruban Nagari, dijelaskan Kalau Syarif Hidayatullah beserta 98 orang muridnya dari Cirebon, berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran danketekunan, banyaklah yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah. Bahkan akhirnya Bupati Banten serta sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan cuma menjadi pelabuhan dagang saja, melainkan juga sudah tumbuh selaku pusat kekuasaan (kerajaan). Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten mulai dikala Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran, buat mencari Kabar mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh Kabar Kalau cahaya yang dimaksud ialah nur Islam serta cahaya kenabian. ia kemudian memeluk agama Islam serta kembali ke Pajajaran buat menyebarkan luaskan agama Islam ke masyarakat. Upaya yang dilakukan Kian Santang cuma berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah releksi bakal adanya pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan Kalau dikala Raden Trenggono dinobatkan selaku sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar Sultan Trenggono, ia kian gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono buat lekas menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya.
Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah buat menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak serta pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, serta Dipati Cangkuang. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Gabungan pasukan Demak dengan Cirebon bersama lascar marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin serta Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran.
Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi serta politik, pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan buat memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat lewat Selat Sunda serta Selat Malaka.
Situasi ini berkaitan pula dengan situasi serta kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak dikala itulah kian ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan selaku ibu kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama. Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat selaku bupati Kadipaten Banten. Pada tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin selaku sultannya.
Ketika Kesultanan Demak runtuh serta diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). ia sudah memberikan andil terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara selaku salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini sudah dibuktikan dengan kehadiran bangunan berupa masjid serta sarana pendidikan islam seperti pesantren. Di samping itu, ia juga mengirim mubaligh ke mermacam daerah yang sudah dikuasainya. Usaha yang sudah dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam serta membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya.
Kesultanan Banten berdiri dengan ditopang oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik serta kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang menjadi tonggak berdirnya Kesultanan Banten juga masih terbagi atas tiga kekuatan utama yaitu adanya kerajaan Demak, Cirebon, serta Banten itu sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, serta Maulana Hasanuddin selaku pelopornya.
Perintisan kerajaan Banten diawali dengan kegiatan dakwah/ penyebaran agama Islam, kemudian berkembang dengan pembentukkan kelompok-kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), serta akhirnya berlanjut kearah penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kerajaan Banten.
Kekuatan kedua yang menjadi pondasi kelahiran Kerajaan Banten yaitu para pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan Kalau sejak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten sudah tumbuh kantong-kantong permukiman orang muslim yang sebagian besar bermata pencaharian selaku pedagang.
Kesultanan Banten pada masa kejayanya menguasai daerah yang meliputi Serang, Pandeglang, Lebak, serta Tangerang. Banten memiliki arti serta peranan yang penting dalam penyebaran serta pengembangan Islam di Nusantara sejak abad ke-16 sampai abad ke-19, khususnya di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, serta Sumatra Selatan. Posisi kota Banten yang terletak di pesisir Selat Sunda serta merupakan pintu gerbang lalu lintas menuju pulau Sumatra ataupun pulau Jawa dinilai sangat strategis buat menarik perhatian penguasa di Demak buat menguasainya. Pada tahun 1525-1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten. Penguasaan dari Demak yang merupakan kerajaan Islam inilah yang menjadikan Banten tumbuh menjadi kerajaan Islam pula di tanah Jawa.
Sebelum Banten berwujud selaku suatu kesultanan Islam, wilayah ini termasuk bagian dari kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan Agama resmi kerajaan dikala itu ialah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di Banten ialah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan (Banten Lor) cuma berfungsi selaku pelabuhan. Menurut Kabar Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa serta Banten merupakan pelabuhan yang besar serta ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam serta luar negeri. Dari sanalah sebagian lada serta hasil negeri lainnya di ekspor.
Oleh karna itu, Banten pada masa lalu ialah potret sebuah kota metropolitan serta menjadi pusat perkembangan pemerintahan pada Abad 16. Disamping itu keberadaan kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin. Seperti masjidmasjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik serta unik. Bila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur asing serta Jawa.
Hal ini dapat dilihat dari tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah, mimbar kuno yang berukir indah, atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa sultan Banten beserta keluarga serta kerabatnya.
Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, dia ialah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna. Pada masa pemerintahan kerajaan Banten, gedung Tiamah ini digunakan selaku majelis taklim serta tempat para ulama serta umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Sekarang gedung tersebut sudah beralih fungsi selaku tempat penyimpanan benda-benda purbakala. tidak cuma bangunan Tiamah, peninggalan kerajaan Banten dapat ditemukan di Kasunyatan, peninggalan tersebut ialah Masjid Kasunyatan yang umurnya diperkirakan lebih tua dari Masjid Agung Banten sendiri. Di masjid inilah tinggal serta mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, ulama yang menjadi guru Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua.
Bangunan lain yang menunjukkan kebesaran dari Kesultanan Banten masa lampau ialah bekas Keraton Surosowan atau gedung kedaton Pakuwan. Keraton Surosowan ini letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Sekarang keraton Surosowan cuma tinggal puing-puing bangunan Sahaja dengan dikelilingi oleh tembok- tembok yang tebal, luas Keraton Surosowan itu sendiri kurang lebih mencapai 4 hektar, berbentuk empat persegi panjang. Benteng Keraton Surosowan ersebut sekarang masih tegak berdiri, meskipun beberapa bagian kecil ada yang sudah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih banyak bangunan atau situs yang menjadi bukti kekuasaan dari kerajaan Banten, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang serta pelabuhan perahu Karangantu.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia oleh Binuko Amarseto