Ekonomi Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang
Selasa, Oktober 22, 2019
Kehidupan ekonomi di Indonesia dalam dasawarsa 1940-an dapat dirangkum dalam satu ungkapan, yaitu kehidupan "ekonomi perang". Memasuki dasawarsa ini, dunia mengalami peristiwa besar yang intensitas pengaruhnya jauh lebih dahsyat dari pada depresi ekonomi, serta Indonesia kali ini pun tak dapat menghindarinya. Perang dunia II pecah di daratan Eropa, satu demi satu negara jatuh ke tangan Jerman. Di Asia, khususnya di Asia Timur serta Asia Tenggara, satu demi satu negara jatuh ke tangan Jepang. Pada tahun 1942, Singapura benteng pertahanan andalan Inggris jatuh serta Indonesia tak berselang lama juga jatuh ke tangan Jepang. Pada Maret 1942, Belanda menyerah. Berakhirlah masa kekuasaan Belanda yang panjang di Indonesia -- cuma diganti oleh kekuasaan yang jauh lebih keras serta lebih eksploitatif.
Selama tiga setengah tahun di bawah pendudukan Jepang, ekonomi Indonesia beroperasi dengan modus darurat perang. Salah satu ciri utama dari sistem ekonomi ini yaitu bawah hampir semua segi kehidupan diatur dengan peraturan peraturan penguasa perang; institusi-institusi masa damai dibekukan; kepentingan "bersama", yaitu memenangi perang, di atas segalanya; ruang gerak individu sangat dibatasi. Ekonomi dioperasikan berdasarkan "perintah" (command economy); transaksi sukarela (mekanisme pasar) cuma terjadi di celah-celah sempit (dan kian sempit) dalam perekonomian yang tersisa, yang kebetulan tak diatur oleh penguasa.
Kepentingan ekonomi utama penguasa perang yaitu menjadikan Indonesia selaku penyangga kegiatan perang Jepang. Artinya ekonomi dioperasikan terutama buat menghasilkan barang-barang serta bahan pendukung perang, bukan buat memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Produksi minyak bumi, hasil hasil pertambangan, bahan pangan di genjot buat mendukung pasukan Jepang di garis depan. Penduduk Indonesia memperoleh apa yang tersisa atau residu dari kegiatan ekonomi utama itu. Secara prinsip, sistem ini tak berbeda dengan sistem kolonial, yaitu ekstraksi semaksimal boleh menjadi "surplus ekonomi" dari Indonesia buat kepentingan "Ibu negeri". Yang berbeda yaitu cara ekstraksinya-- Pada zaman Belanda dengan sistem tanam paksa serta kemudian sistem "liberal"-nya, pada zaman Jepang dengan perintah serta peraturan penguasaan perang. Sistem kerja paksa yang disebut "romusa" jauh lebih brutal bahkan dibanding sistem tanam paksa. Pada masa pendudukan Jepang, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia merosot drastis, jauh lebih buruk dibanding sewaktu "malaise" mencapai puncaknya. Kelangkaan kebutuhan sehari-hari serta bahkan kelaparan Telah menjadi Berita sehari-hari.
Ciri utama lain dari sistem ekonomi perang yaitu keterisolasian dari dunia luar. Ekonomi Indonesia yang sebelum yang sangat terbuka dan terintegrasi dengan dunia luar serta merta menjadi ekonomi tertutup sebab perang menutup jalur hubungan normal dengan negara lain. Alat transportasi laut di mobilisasi buat tujuan perang. Lebih dari itu, sarana serta prasarana produksi yang semula diarahkan buat pasar luar negeri perlu diubah fungsinya dalam waktu singkat menjadi sarana serta prasarana sarana buat memenuhi semua kebutuhan dalam negeri. Mengubah ekonomi terbuka menjadi ekonomi tertutup yaitu proses menyakitkan serta bernilai ekonomi tinggi.
Selama tiga setengah tahun di bawah pendudukan Jepang, ekonomi Indonesia beroperasi dengan modus darurat perang. Salah satu ciri utama dari sistem ekonomi ini yaitu bawah hampir semua segi kehidupan diatur dengan peraturan peraturan penguasa perang; institusi-institusi masa damai dibekukan; kepentingan "bersama", yaitu memenangi perang, di atas segalanya; ruang gerak individu sangat dibatasi. Ekonomi dioperasikan berdasarkan "perintah" (command economy); transaksi sukarela (mekanisme pasar) cuma terjadi di celah-celah sempit (dan kian sempit) dalam perekonomian yang tersisa, yang kebetulan tak diatur oleh penguasa.
Kepentingan ekonomi utama penguasa perang yaitu menjadikan Indonesia selaku penyangga kegiatan perang Jepang. Artinya ekonomi dioperasikan terutama buat menghasilkan barang-barang serta bahan pendukung perang, bukan buat memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Produksi minyak bumi, hasil hasil pertambangan, bahan pangan di genjot buat mendukung pasukan Jepang di garis depan. Penduduk Indonesia memperoleh apa yang tersisa atau residu dari kegiatan ekonomi utama itu. Secara prinsip, sistem ini tak berbeda dengan sistem kolonial, yaitu ekstraksi semaksimal boleh menjadi "surplus ekonomi" dari Indonesia buat kepentingan "Ibu negeri". Yang berbeda yaitu cara ekstraksinya-- Pada zaman Belanda dengan sistem tanam paksa serta kemudian sistem "liberal"-nya, pada zaman Jepang dengan perintah serta peraturan penguasaan perang. Sistem kerja paksa yang disebut "romusa" jauh lebih brutal bahkan dibanding sistem tanam paksa. Pada masa pendudukan Jepang, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia merosot drastis, jauh lebih buruk dibanding sewaktu "malaise" mencapai puncaknya. Kelangkaan kebutuhan sehari-hari serta bahkan kelaparan Telah menjadi Berita sehari-hari.
Ciri utama lain dari sistem ekonomi perang yaitu keterisolasian dari dunia luar. Ekonomi Indonesia yang sebelum yang sangat terbuka dan terintegrasi dengan dunia luar serta merta menjadi ekonomi tertutup sebab perang menutup jalur hubungan normal dengan negara lain. Alat transportasi laut di mobilisasi buat tujuan perang. Lebih dari itu, sarana serta prasarana produksi yang semula diarahkan buat pasar luar negeri perlu diubah fungsinya dalam waktu singkat menjadi sarana serta prasarana sarana buat memenuhi semua kebutuhan dalam negeri. Mengubah ekonomi terbuka menjadi ekonomi tertutup yaitu proses menyakitkan serta bernilai ekonomi tinggi.