Sistem Politik Kerajaan Aceh
Rabu, Oktober 16, 2019
Berbicara mengenai sistem politik di kerajaan Aceh Darussalam bisa dikatakan terjadi dua periode; yaitu politik periode sebelum Sultan Iskandar Muda (1514-1607) serta politik periode semenjak bertahtanya Sultan Iskandar Muda ke belakang. Pada politik periode awal, sebelum Iskandar Muda sistem perpolitikan Aceh Darussalam masih belum terorganisir secara baik serta rapi, hal ini tidak terlepas dari kondisi kerajaan Aceh Darussalam yang baru Saja terlepas dari pengaruh kerajaan Pidie, sehingga konsentrasi politik lebih tercurahkan buat pembenahan kekuatan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari mermacam kemungkinan bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar (termasuk pengaruh Kolonialis). Hal ini didasari oleh ketakutan kalau sebuah kerajaan yang baru bediri merupakan kerajaan lemah yang dengan gampang dapat dikuasai oleh kerajaan lain. Disamping memperkuat kekuatan militer usaha ekspansi kedaerah sekitar terus dilakukan buat memperluas wilayah.
Kebijakan politik ini berbeda dikala Sultan Iskandar Muda menduduki tahta kesultanan Aceh, selain masih melanjutkan menjalankan ekspansi seperti yang dilakukan pendahulunya, ia juga beursaha buat menata rapi sistem politik dalam kerajaannya, terutama yang berkaitan dengan konsolidasi serta peletakan pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang sudah dikuasinya.
langkah Sultan Iskandar Muda ini ditempuh karna mempertimbangkan betapa pentingnya manfaat dari sistem pemerintahan yang mantap serta terkonsolidasi secara seksama, dari sistem yang demikian itulah bakal menciptakan stabilitas yang sehat.
Sultan Iskandar Muda menciptakan dua sistem yang ditempuh dalam upaya mempertahankan stabilitas kesultanan Aceh pada dikala itu: yaitu sistem politik internal (yang menyangkut kepentingan dalam negeri) serta sistem ekstemal (yang berhubungan dengan negeri Asing). Pemakaian sistem politik internal ini dapat dilihat dari Telah tersusunnya struktur pemerintahan secara rapi yang secara koordinatif berhasil menghubungkan antara pusat dengan daerah-daerah yang dikuasainya. Dengan pembagian kalau wilayah inti kerajaan Aceh yaitu Aceh Raya, serta masih terbagi atas wilayah pusat kerajaan serta wilayah Sagoe. Tiap Sagoe terbagi lagi menjadi beberapa Mukim sagoe X X V mukim yang meliputi Aceh Barat. Sagoe XXII mukim berada di bagian Tengah sebelah Selatan serta sagoe XXVI mukim terletak di bagian Aceh Timur. Tiaptiap sagoe dikepalai oleh Panglima Sagoe atau sering disebut dengan Hulubalang Besar yang bergelar Teuku. Masing-masing sagoe terbagi lagi menjadi wilayah vang lebih kecil setingkat distrik, buat masing-masing distrik dikepalai oleh Hulubalang (Uleebalang) yang bergelar Datuk. Ada satu hulubalang yang memiliki kedudukan lebih dibandingkan dengan hulubalang lainnya, yaitu hulubalang Pusa. Hulubalang Pusa memiliki kekuasaan yang bersifat otonom, baik dalam mengatur tata pemerintahan wilayahnya sampai kepada pewarisan tahtanya. Kemudian masing-masing distrik terbagi atas mukim-mukim yang dikepalai oleh seorang imam, tengah masing-masing mukim ini terbagi lagi menjadi gampong-gampong yang dikepalai oleh seorang Keucik. Sedangkan posisi Sultan dalam strata tersebut cuma berfungsi selaku simbol pemersatu dari masing-masing sagoe yang dikepalai langsung oleh para hulubalang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh seorang Syahbandaaar buat mengurusi serta mengepalai bagian keuangan istana, Kepala Krueng yang dibantu oleh Dawang Krueng buat mengurusi bagian lalu lintas di muara sungai, Panglima Losot selaku penarik cukai barang-barang eksport-import serta Krani selaku sekretaris istana. Disamping itu raja juga dibantu oleh Mangkubumi yang membawahi empat mantri hari-hari (penasihat raja). Di abad ke-17 serta ke-18 lebih jabatan-jabatan tinggi istana disempurnakan lagi dengan ditambahkan beberapa jabatan, antara lain:
1. Hulubalang Rama Setia, selaku Pengawal Pribadi Istana
2. Kerkum Katib al-Muluk, Sekretaris Istana
3. Raja Udah na Laila, selaku Kepala bendaharawan istana serta perpajakan
4. Sri Maharaja Laila, selaku Kepada Kepolisian; dan
5. Laksamana Panglima Paduka Sirana, selaku Penangkapan.
Sedangkan sistem pergantian raja di Aceh pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem di kerajaan-kerajaan lain ataupun pada masa raja sebelumnya. Hanya Saja di kerajaan Aceh setelah pemerintahan Sultan Iskandar Muda sistem pergantian raja lebih sedikit longgar, pergantian tidak selalu terikat pada putra laki-laki Saja tetapi kaum wanita juga diberikan hak yang sama buat memimpin kerajaan Apabila dinilai layak serta mampu, kemenakan atau istri raja yang meninggal pun bisa naik menjadi raja.
Sedangkan sistem politik yang bersifat eksternal atau berkenaan dengan orang-orang/ bangsa Asing, Sultan Iskandar Muda memilih buat mengambil sikap tegas serta menyelenggarakan pengetatan terhadap kebebasan mereka dalam perdagangan maupun politik di Aceh. Tetapi sangat disayangkan pewaris kerajaan sesudah beliau tidak lagi menempuh sitem politik yang beliau terapkan, para penerus Sultan Iskandar Muda cenderung lebih memilih kompromistis, walau ada kemungkinan langkah yang ditempuh karna adanya paksaan.
Kebijakan politik ini berbeda dikala Sultan Iskandar Muda menduduki tahta kesultanan Aceh, selain masih melanjutkan menjalankan ekspansi seperti yang dilakukan pendahulunya, ia juga beursaha buat menata rapi sistem politik dalam kerajaannya, terutama yang berkaitan dengan konsolidasi serta peletakan pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang sudah dikuasinya.
langkah Sultan Iskandar Muda ini ditempuh karna mempertimbangkan betapa pentingnya manfaat dari sistem pemerintahan yang mantap serta terkonsolidasi secara seksama, dari sistem yang demikian itulah bakal menciptakan stabilitas yang sehat.
Sultan Iskandar Muda menciptakan dua sistem yang ditempuh dalam upaya mempertahankan stabilitas kesultanan Aceh pada dikala itu: yaitu sistem politik internal (yang menyangkut kepentingan dalam negeri) serta sistem ekstemal (yang berhubungan dengan negeri Asing). Pemakaian sistem politik internal ini dapat dilihat dari Telah tersusunnya struktur pemerintahan secara rapi yang secara koordinatif berhasil menghubungkan antara pusat dengan daerah-daerah yang dikuasainya. Dengan pembagian kalau wilayah inti kerajaan Aceh yaitu Aceh Raya, serta masih terbagi atas wilayah pusat kerajaan serta wilayah Sagoe. Tiap Sagoe terbagi lagi menjadi beberapa Mukim sagoe X X V mukim yang meliputi Aceh Barat. Sagoe XXII mukim berada di bagian Tengah sebelah Selatan serta sagoe XXVI mukim terletak di bagian Aceh Timur. Tiaptiap sagoe dikepalai oleh Panglima Sagoe atau sering disebut dengan Hulubalang Besar yang bergelar Teuku. Masing-masing sagoe terbagi lagi menjadi wilayah vang lebih kecil setingkat distrik, buat masing-masing distrik dikepalai oleh Hulubalang (Uleebalang) yang bergelar Datuk. Ada satu hulubalang yang memiliki kedudukan lebih dibandingkan dengan hulubalang lainnya, yaitu hulubalang Pusa. Hulubalang Pusa memiliki kekuasaan yang bersifat otonom, baik dalam mengatur tata pemerintahan wilayahnya sampai kepada pewarisan tahtanya. Kemudian masing-masing distrik terbagi atas mukim-mukim yang dikepalai oleh seorang imam, tengah masing-masing mukim ini terbagi lagi menjadi gampong-gampong yang dikepalai oleh seorang Keucik. Sedangkan posisi Sultan dalam strata tersebut cuma berfungsi selaku simbol pemersatu dari masing-masing sagoe yang dikepalai langsung oleh para hulubalang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh seorang Syahbandaaar buat mengurusi serta mengepalai bagian keuangan istana, Kepala Krueng yang dibantu oleh Dawang Krueng buat mengurusi bagian lalu lintas di muara sungai, Panglima Losot selaku penarik cukai barang-barang eksport-import serta Krani selaku sekretaris istana. Disamping itu raja juga dibantu oleh Mangkubumi yang membawahi empat mantri hari-hari (penasihat raja). Di abad ke-17 serta ke-18 lebih jabatan-jabatan tinggi istana disempurnakan lagi dengan ditambahkan beberapa jabatan, antara lain:
1. Hulubalang Rama Setia, selaku Pengawal Pribadi Istana
2. Kerkum Katib al-Muluk, Sekretaris Istana
3. Raja Udah na Laila, selaku Kepala bendaharawan istana serta perpajakan
4. Sri Maharaja Laila, selaku Kepada Kepolisian; dan
5. Laksamana Panglima Paduka Sirana, selaku Penangkapan.
Sedangkan sistem pergantian raja di Aceh pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem di kerajaan-kerajaan lain ataupun pada masa raja sebelumnya. Hanya Saja di kerajaan Aceh setelah pemerintahan Sultan Iskandar Muda sistem pergantian raja lebih sedikit longgar, pergantian tidak selalu terikat pada putra laki-laki Saja tetapi kaum wanita juga diberikan hak yang sama buat memimpin kerajaan Apabila dinilai layak serta mampu, kemenakan atau istri raja yang meninggal pun bisa naik menjadi raja.
Sedangkan sistem politik yang bersifat eksternal atau berkenaan dengan orang-orang/ bangsa Asing, Sultan Iskandar Muda memilih buat mengambil sikap tegas serta menyelenggarakan pengetatan terhadap kebebasan mereka dalam perdagangan maupun politik di Aceh. Tetapi sangat disayangkan pewaris kerajaan sesudah beliau tidak lagi menempuh sitem politik yang beliau terapkan, para penerus Sultan Iskandar Muda cenderung lebih memilih kompromistis, walau ada kemungkinan langkah yang ditempuh karna adanya paksaan.