Asal Usul Nama Surabaya

Lambang Kota Surabaya Masa Kolonial Hindia Belanda

Pada umumnya kita mengetahui asal usul Kota Surabaya dari untaian kata Sura serta Baya atau Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo yang merupakan sebuah legenda. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan.” Ada juga yang berkata berasal dari kata Cura Bhaya atau Curabhaya

Penulisan nama Surabaya pun berubah ejaannya sesuai dengan zaman pemakaiannya. Sebelum ditulis dengan kata Surabaya sekarang ini, pernah pula ditulis: Surabaia, Soerabaia, Seoarabaja serta Surabaja.

Berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai, Sura (Suro) serta Baya (Boyo), menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat serta laut. Di dua alam ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu yakni ikan Sura (Suro) serta Buaya (Boyo). Perlambang kehidupan darat serta laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda. 

Begitu pula warga Surabaya ini, mereka berasal dari mermacam suku, agama, etnis serta ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat. Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. 

Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai selaku tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti). Dalam sejarah, nama Surabaya terdapat pada buku: Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Apabila di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun. Jenggala yakni Sidoarjo serta Buwun yakni Bawean. 

Surapringga 

Cerita lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Tetapi, dalam sejarah pemerintahan regent atau kebupatian (kabupaten), serta keadipatian (kepatihan) Surabaya disebut Surapringga. Dari mermacam sumber, terungkap salah satu kepala pemerintahan yang cukup melegenda yakni Adipati Jayengrono. 

Kerabat kerajaan Majapahit ini diberi kekuasaan buat memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh selaku pelabuhan pantai terus manarik perhatian bangsa lain buat berniaga di sini. 

Suatu keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya Surabaya dianggap selaku penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh, namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh itu “hilang” serta kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar mulai dipakai selaku pengganti Hujunggaluh. 

Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14. Kemudian nama Surapringga tidak begitu popular. 

Mitos Cura-bhaya 

Terdapat sumber lain yang menjelaskan tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN. Balai Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, menjelaskan cerita rakyat selaku sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”

Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat kesimpulan, kalau hari menjadi Surabaya perlu dicari antara tahun-tahun 1334, ketika meletusnya Gunung Kelud serta tahun 1352 ketika kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5). Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karna perubahan nama menunjukkan adanya suatu motif. 

Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu yakni Surabaya yang sekarang dapat diteliti serta ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi serta arti kedudukannya dalam percaturan negara.

Dilihat dpari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas serta pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll serta Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula selaku Hujung Perak, serta kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas). 

Kemungkinan Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung galuh. Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu selaku jalabuhan. Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal serta antarpulau yang melaksanakan bongkar muat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung Galuhan sekarang yang ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. 

Konon tembok itulah yang membatasi laut dengan daratan. Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar yakni wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, kalau Hujunggaluh pernah menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja. 

Kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya? 

Memang, perubahan nama tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya. Mitos serta mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari menjadi Surabaya. 

Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari mermacam sudut pandang. Bencana alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya). 

Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, kalau buat menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya. Mitos ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, selaku pengaruh ajaran Budha Mahayana lewat cerita Kuntjarakarna. 

Reliefnya terpahat di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri. Bagaimanapun juga, mitos ikan serta buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya, hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya, cuma berlaku di Hujunggaluh. Curabhayaadalah nama baru pengganti Hujunggaluh selaku wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan serta daratan. 

Jung Ya Lu serta Suyalu

Kendati sudah diyakini kalau Junggaluh atau Hujunggaluh atau Ujunggaluh yakni cikal-bakal Kota Surabaya, ternyata tentang lokasinya pernah menjadi perdebatan. Peristiwa itu terjadi waktu pembahasan penetapan perubahan Hari Jadi Kota Surabaya pada tahun 1975.

Pembahasan mengenai lokasinya diperoleh dari beberapa pendapat. Prof.Dr.N.J.Krom, selaku salah satu sumber misalnya menyitir nama Junggaluh dari sejarah Tiongkok. Pendapat ini diperkuat pula oleh Drs.Oei Soen Nio, dosen sejarah Tiongkok dari Seksi Sinologi Jurusan Asia Timur, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Nama Junggaluh itu disebutkan dalam ejaan Cina tertulis, kata Sugalu. Kata Sugalu itu menurut mereka perlu dibaca Jung Ya Lu

Dengan demikian maka ucapannya lebih mendekati Junggaluh daripada Sedayu. Inilah, masalahnya. Sebab, ada pula ahli sejarah yang menerjemahkan kata Sugalu itu selaku Sedayu, yaitu suatu nama desa di Kabupaten Gresik sekarang. Pendapat Prof Dr. Suwoyo Woyowasito lain lagi. Menurut guru besar ini, tidak menyebut Sugalu, tetapi Suyalu. 

Dengan dasar perkembangan bunyi, sudah dapat membuktikan kalau Suyalu yakni perubahan bunyi lafal Tionghoa dari kata Junggaluh atau Hujunggaluh. Suatu data lagi mengungkapkan, kalau Shihpi, salah seorang panglima tentara Tartar yang semula mendarat di Tuban. Setelah tiba di Su-ya-lu memerintahkan tiga pejabat tinggi dengan naik perahu cepat ke jembatan terapung Majapahit (the floating bridge of Majapahit). 

Ketiga pejabat tinggi yang berangkat dari Su-ya-lu tersebut tentunya lewat sungai menuju ke pusat kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Kenyataan ini membuktikan, kalau sungai yang dilalui yakni Kali Brantas, bukan Bengawan Solo. Bahkan dapat dikatakan kalau Su-ya-lu terdapat di pantai serta muara Kali Brantas. Ini juga sesuai dengan faktor dari sumber Prasasti Kelagen (1037 AD) yang dilengkapi dengan faktor dari buku Chufan-Chi-kua (1220 AD). Pada buku itu dinyatakan kalau Hujunggaluh terletak di pantai serta muara Kali Surabaya. 

Maka dengan demikian, para anggota Panitia Khusus (Pansus) Penetapan Hari Jadi Surabaya yang kemudian didukung oleh pleno DPRD Kota Surabaya tahun 1975 itu, sependapat bahwa: “Su-ya-lu sama dengan Hujunggaluh yang terletak di pantai, di muara Kali Surabaya serta tidak sama dengan Sedayu yang sekarang terletak di tepi sungai Bengawan Solo, dengan muaranya yang baru di Ujung Pangkah, Gresik.” 

Tak cuma itu, fakta ini juga diperkuat lagi berdasarkan kidung Harsa Wijaya yang selengkapnya berbunyi selaku berikut: “Mangke wus wonten Jung Galuh sampun akukuto lor ikang Tegal Bobot Sekar sampun cirno linurah punang deca tepi siring ing Canggu”. 

Artinya: “Sekarang (tentara Tartar) sudah ada di Jung Galuh serta sudah membuat benteng sebelah utara Tegal Bobot Sekar (sari) serta para lurah desa di wilayah Canggu sudah musnah.” Tegal Bobot Sekar atau Tegal Bobot Sari, sekarang menjadi Kecamatan Tegalsari di Kota Surabaya. Begitulah sedikit cerita tentang nama Surabaya yang dikaitkan dengan Junggaluh atau Hujunggaluh. 


Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam dalam Goodnewsfromindonesia.id

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel