Pendidikan Barat Bagi Pergerakan Nasional
Selasa, April 11, 2017
***
Sebuah Harapan Akan Pendidikan
Foto: rosemild |
apabila kita melihat tuntutan parlemen belanda terhadap pihak kerajaan buat diberlakukannya Politik Etis ini sebetulnya sunguh mulia karna dilatar belakangi oleh tulis Van Deventer yaitu Een Ereschuld (hutang kehormatan) pada tahun 1899.
Dan yang perlu kita ketahui disini yakni kalau sebetulnya kaum Liberal Belanda seolah diam tapi menyetujui bakal usulan Van Deventer tersebut. Hal ini dirasa dengan berlakunya pendidikan di Hindia Belanda bakal mengurangi ongkos produksi dalam permasalahan gaji pegawai perusahaan-perusahaan perkebunan di Hindia Belanda ketika itu. Lah kok seperti itu ?
Alasannya yakni kalau rakyat pribumi selama ini cuma bekerja pada sektor buruh rendah yang tidak kompetitif serta produktif. Meskipun pasca berlakunya Politik Pintu Terbuka yang ditandai oleh pemberlakuannya UU Agraria 1870. Hal tersebut tidak menambah kesejahteraan rakyat meskipun mereka mempunyai tanah mereka, hal itu berlaku karna mereka diwajibkan menyewakan tanahnya selama 70 tahun dengan bayaran yang kecil, sehingga mereka tidak dapat memenuhi kehidupan sehari-hari serta perlu bekerja selaku buruh.
Ini lah momen yang dimanfaatkan kaum liberal di Hindia Belanda buat menggantikan pekerja-pekerja eropa yang meminta mahal dalam kepegawaian dengan diganti dengan tenaga pribumi hasil politik etis yang dianggap produktif serta kompetiti, namun bisa dibayar dengan harga yang murah. Hal ini awalnya dapat dirasakan atas hasil lulusan OSVIA yang bekerja kepada pemerintah.
Realitas Kaum Pribumi
Petani di Karang Tengah, Jawa Barat, 1895. Foto: Tempo/Dok. Tropenmuseum
Namun realitas yang diharapkan sangatlah berbeda. Pemberlakuan politik etis tidaklah sesuai yang diharapkan. Edukasi yang diharapkan perlu dibayar dengan biaya yang cukup mahal, karna meskipun pemerintah membiarkan orang pribumi buat bersekolah, tetapi biaya sekolah yang dibebankan tidaklah dapat mereka sanggupi.
Dalam suatu kesempatan pada kuliah rutin Sejarah Indonesia, Dr. Muhammad Iskandar, M.Hum. Sejarawan Universitas Indonesia mengatakan, “ Banyak warga pribumi yang tidak dapat bersekolah atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (selain sekolah rakyat).
Mahalnya biaya pendidikan yang dipatok sebesar 300 f (gulden) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu, sedangkan masyarakat pribumi pada ketika itu cuma berpenghasilan rata-rata 7 f yang dapat kita setarakan dengan hasil panen padi sejumlah 2,5 kwintal.
Hal tersebutlah yang dinilai kalau tidak semua kalangan masyarakat pribumi dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, bahkan buat mengenyam pendidikan di sekolah rakyat (SR) pun sedikit.
Kebanyakan pribumi yang bersekolah di sekolah belanda ialah anak seorang bupati setempat. Alternatif lainnya yakni menyekolahkan anaknya di Australia karna biayanya yang murah, cuma kurang dari 50 f. Itupun masih banyak yang tidak sanggup.
Bumerang Bagi Belanda
Dengan demikian kalau keinginan belanda buat memperoleh tenaga kerja yang murah serta kompetitif sepertinya hanyalah hayalan tamak serta isapan jempol. Lagi-lagi belanda hendak memperoleh keuntungan, namun tidak mau berkoran bahkan buat masalah sekolah ini.
Hingga akhirnya dengan perlakuan belanda yang semacam ini justru menciptakan musuh jangka panjang, Dibanding pegawai murah yang diharapkan dalam penyelenggaraan politik pintu terbuka. Musuh tersebut merupakan golongan pribumi kaya yang selama ini merupakan bagian dari golongan pangrek praja (aparaatur pemerintahan) yang anaknya bersekolah di perguruan tinggi Belanda di Eropa. Kebanyakan golongan pelajar ini bakal kembali ke Indonesia setelah selesai mengenyam pendidikan di Negeri Belanda dengan membawa ideologi-ideologi yang mereka kenal di Eropa buat menjadi semangat perjuangan di Hindia Belanda.
Mereka membawa pemikiran-pemikiran ideologis yang menurut mereka tidak pernah dilakukan di Hindia Belanda, ideologi tersebut anatara lain : liberalisme, demokrasi, sosialisme, serta komunisme. Hingga akhirnya mereka bakal mengenal arti nasionalisme kebangsaan buat menuntut suatu kedaulatan yang selama ini mereka sadari dirampas pemerintah Hindia Belanda. Golongan-golongan tersebut diketahui dengan istilah kaum terpelajar terbagi menjadi dua, yaitu :
- Elit Politik : golongan terpelajar yang paham sebuah pemikiran yang ideologi yang mencita-citakan sebuah kebebasan dari belenggu kekuasaan asing yang dalam mencapai tujuannya dengan cara “belajar” buat mencerdaskan bangsa serta paham bakal jati diri bangsa.
- Elit Fungsional : golongan terpelajar yang menginginkan suatu posisi yang strategi dalam birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda serta bekerja buat mengadakan pemerintahan Hinda Belanda serta bekerja buat mengadakan pemerintah sesuai dengan pemerintahan.
Sehingga kita dapat menyimpulkan kalau rencana Belanda dalam penyelenggaraan pendidikan guna mendapatkan tenaga kerja murah cenderung menghasilkan musuh yang nyata. Meskipun tidak dapat dipungkiri banyak pula pribumi yang memilih bekerja selaku pegawai belanda, Dibanding memulai perjuangan.
Sumber :
- Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia. Diterjemahkan oleh Ny. Zahara Deliar Noer : PT Dunia Pustaka Jaya
- Jawaban UAS Mata Kuliah Sejarah Indonesia. 2016. Imam Maulana (1606880232). Universitas Indonesia.