Demokrasi Semu Pemilu 1971
Selasa, Mei 16, 2017
Presiden Soeharto serta Ibu Tien menuju tempat pemungutan suara pada Pemilu 1971, tanggal 5 Juli 1971. HENDRANTO/Arsip Kompas
- Empat tahun setelah resmi menggantikan Soekarno selaku Presiden RI, Soeharto menyelenggarakan pemilu pada 5 Juli 1971. Hajatan politik nasional itu memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi serta kabupaten. Ini pemilu awal pada masa Orde Baru.
Total ada 10 partai politik yang bertarung kali ini serta cuma delapan parpol yang meraih kursi. Muncul dua partai baru, ialah Golongan Karya (Golkar) serta Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tidak lagi ikut serta karna dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), serta Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup serta semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6 persen suara (58 kursi), Parmusi dengan 5,3 persen suara (24 kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen suara (20 kursi), serta Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi).
Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali awal ikut pemilu. Sekretariat Bersama Golkar dijadikan kendaraan politik Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat buat memobilisasi rakyat dari pusat sampai ke desa-desa agar memilih Golkar.
Soeharto dengan mermacam cara, kata Anhar, berusaha melemahkan kekuatan parpol besar lain sambil membesarkan Golkar. Soal nama, misalnya, tidak digunakan istilah ”partai”, tetapi ”golongan”. Padahal, dalam praktiknya, Golkar jelas-jelas partai politik. Mulai tumbuh gagasan Dwifungsi ABRI selaku kekuatan militer sekaligus politik praktis penyokong Orde Baru.
Struktur panitia pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri. Saat hari pencoblosan, tempat pemungutan suara (TPS) dijaga
ketat polisi serta tentara. Saat itulah, mulai diketahui istilah ”seranga fajar”, ialah pemberian uang kepada warga pada pagi hari sebelum datang ke TPS agar mencoblos partai pemerintah. Dengan semua manuver itu, walhasil Golkar pun menang telak.
Tujuan Pemilu 1971 sebenarnya baik, ialah menciptakan kehidupan politik bangsa Indonesia yang demokratis setelah tragedi politik 30 September 1965. ”Sayangnya, pemilu direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi. Berbagai aturan serta tata cara dimanipulasi buat memenangkan Golkar selaku mesin politik rezim Orde Baru. Inilah pseudo democracy atau demokrasi semu yang mengelabui rakyat,” kata Anhar, yang ketika itu menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dalam Pemilu 1971, beberapa partai masih memperoleh suara cukup lumayan karna mampu mempertahankan pendukung tradisionalnya. NU masih punya basis kuat di pedesaan, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, serta Kalimantan. Parmusi, yang seakan merupakan penjelmaan dari politik eksponen Masyumi, masih berakar di masyarakat Islam perkotaan.
Menang pada Pemilu 1955, NI justru anjlok suaranya pada 1971. Partai ini menerima tuduhan terkait PKI—yang dikambinghitamkan dalam Peristiwa 30 September 1965. Basis pendukung nasionalisnya, terutama di Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, serta Sumatera Utara, digerogoti oleh Golkar.
Kemenangan Golkar dijadikan alat buat melegitimasi rezim Orde Baru. Manuver politik demokrasi semu ala Pemilu 1971 lantas dikembangkan oleh Orde Baru buat pemilu-pemilu berikutnya, bahkan dengan
cara-cara lebih frontal.
”Tak ada pemilu yang benar-benar demokratis selama Orde Baru. Semua sudah direkayasa serta tidak mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya,” kata Anhar Gonggong.
Sumber: Kompas. 11 Januari 2014. Pemilu 1971, Demokrasi Semu
- Empat tahun setelah resmi menggantikan Soekarno selaku Presiden RI, Soeharto menyelenggarakan pemilu pada 5 Juli 1971. Hajatan politik nasional itu memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi serta kabupaten. Ini pemilu awal pada masa Orde Baru.
Total ada 10 partai politik yang bertarung kali ini serta cuma delapan parpol yang meraih kursi. Muncul dua partai baru, ialah Golongan Karya (Golkar) serta Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tidak lagi ikut serta karna dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), serta Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup serta semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6 persen suara (58 kursi), Parmusi dengan 5,3 persen suara (24 kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen suara (20 kursi), serta Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi).
Menurut sejarawan Anhar Gonggong, Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali awal ikut pemilu. Sekretariat Bersama Golkar dijadikan kendaraan politik Soeharto. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta birokrasi di semua tingkat menjadi alat buat memobilisasi rakyat dari pusat sampai ke desa-desa agar memilih Golkar.
Soeharto dengan mermacam cara, kata Anhar, berusaha melemahkan kekuatan parpol besar lain sambil membesarkan Golkar. Soal nama, misalnya, tidak digunakan istilah ”partai”, tetapi ”golongan”. Padahal, dalam praktiknya, Golkar jelas-jelas partai politik. Mulai tumbuh gagasan Dwifungsi ABRI selaku kekuatan militer sekaligus politik praktis penyokong Orde Baru.
Struktur panitia pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri. Saat hari pencoblosan, tempat pemungutan suara (TPS) dijaga
ketat polisi serta tentara. Saat itulah, mulai diketahui istilah ”seranga fajar”, ialah pemberian uang kepada warga pada pagi hari sebelum datang ke TPS agar mencoblos partai pemerintah. Dengan semua manuver itu, walhasil Golkar pun menang telak.
Tujuan Pemilu 1971 sebenarnya baik, ialah menciptakan kehidupan politik bangsa Indonesia yang demokratis setelah tragedi politik 30 September 1965. ”Sayangnya, pemilu direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi. Berbagai aturan serta tata cara dimanipulasi buat memenangkan Golkar selaku mesin politik rezim Orde Baru. Inilah pseudo democracy atau demokrasi semu yang mengelabui rakyat,” kata Anhar, yang ketika itu menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dalam Pemilu 1971, beberapa partai masih memperoleh suara cukup lumayan karna mampu mempertahankan pendukung tradisionalnya. NU masih punya basis kuat di pedesaan, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, serta Kalimantan. Parmusi, yang seakan merupakan penjelmaan dari politik eksponen Masyumi, masih berakar di masyarakat Islam perkotaan.
Menang pada Pemilu 1955, NI justru anjlok suaranya pada 1971. Partai ini menerima tuduhan terkait PKI—yang dikambinghitamkan dalam Peristiwa 30 September 1965. Basis pendukung nasionalisnya, terutama di Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, serta Sumatera Utara, digerogoti oleh Golkar.
Kemenangan Golkar dijadikan alat buat melegitimasi rezim Orde Baru. Manuver politik demokrasi semu ala Pemilu 1971 lantas dikembangkan oleh Orde Baru buat pemilu-pemilu berikutnya, bahkan dengan
cara-cara lebih frontal.
”Tak ada pemilu yang benar-benar demokratis selama Orde Baru. Semua sudah direkayasa serta tidak mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya,” kata Anhar Gonggong.
Sumber: Kompas. 11 Januari 2014. Pemilu 1971, Demokrasi Semu