Sejarah Pemilu 1971
Senin, Mei 15, 2017
Presiden Soeharto serta Ibu Tien menuju tempat pemungutan suara pada Pemilu 1971, tanggal 5 Juli 1971. HENDRANTO/Arsip Kompas
- Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Soekarno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu buat mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan kalau Pemilu bakal diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Soeharto tetap menggunakan MPRS serta DPR-GR bentukan Soekarno, cuma Saja ia melaksanakan pembersihan lembaga tertinggi serta tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya, Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan ialah UU tentang Pemilu serta susunan serta kedudukan MPR, DPR, serta DPRD. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu serta UU No. 16 tentang Susunan serta Kedudukan MPR, DPR serta DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 ialah kalau para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil perlu menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 selaku dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung buat mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melaksanakan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melaksanakan stembus acccord, pembagian kursi cuma dilakukan dalam dua tahap.
"Stembus Accord: kesepakatan kotak suara. Sebuah kerjasama atau kesepakatan antara dua atau lebih partai politik peserta pemilu buat saling membantu dengan cara pemanfaatan sisa suara yang tidak habis dibagi dalam bilangan pembagi pemilihan (BPP), di mana kemungkinan jumlah suara yang diperoleh partai tersebut dapat menghasilkan kursi tambahan. Pada pemilu 1998 beberapa partai Islam menyepakati adanya stembus accord sehingga sisa suara dapat dimanfaatkan serta tidak hilang secara sia-sia."
tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 ialah selaku berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. tahap kedua, apabila ada partai yang melaksanakan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient.
Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melaksanakan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. kalau tidak ada partai yang melaksanakan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang mempunyai sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang ialah bias perolehan kursi antara PNI serta Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.
- Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Soekarno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu buat mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan kalau Pemilu bakal diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Soeharto tetap menggunakan MPRS serta DPR-GR bentukan Soekarno, cuma Saja ia melaksanakan pembersihan lembaga tertinggi serta tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya, Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan ialah UU tentang Pemilu serta susunan serta kedudukan MPR, DPR, serta DPRD. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu serta UU No. 16 tentang Susunan serta Kedudukan MPR, DPR serta DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 ialah kalau para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil perlu menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 selaku dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung buat mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melaksanakan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melaksanakan stembus acccord, pembagian kursi cuma dilakukan dalam dua tahap.
"Stembus Accord: kesepakatan kotak suara. Sebuah kerjasama atau kesepakatan antara dua atau lebih partai politik peserta pemilu buat saling membantu dengan cara pemanfaatan sisa suara yang tidak habis dibagi dalam bilangan pembagi pemilihan (BPP), di mana kemungkinan jumlah suara yang diperoleh partai tersebut dapat menghasilkan kursi tambahan. Pada pemilu 1998 beberapa partai Islam menyepakati adanya stembus accord sehingga sisa suara dapat dimanfaatkan serta tidak hilang secara sia-sia."
tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 ialah selaku berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. tahap kedua, apabila ada partai yang melaksanakan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient.
sumber: KPU.go.id
Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melaksanakan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. kalau tidak ada partai yang melaksanakan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang mempunyai sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang ialah bias perolehan kursi antara PNI serta Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.