Pembantaian Etnis Cina Pada Peristiwa Geger Pecinan 9 Oktober 1740

Ilusrasi: Pinterest

- Pada hari ini, negara kita tengah dirundung permasalahan mengenai rasialitas serta krisis toleransi. Menurut survei dari Wahid Foundation bertajuk "Potensi Intoleransi serta Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang menghasilkan laporan mengenai kelompok yang dibenci oleh masyarakat Indonesia, meliputi mereka yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, serta selainnya.

Dari total 1.520 responden sebanyak 59,9 persen mempunyai kelompok yang dibenci. Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2 persen tidak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Dari apa yang dipaparkankita dapat mengetahui kalau kebencian merupakan tolak ukur dari penilaian seseorang terhadap orang lain, sehingga dapat dikatakan segala penilaian bersifat subjektif, bukan objektif.

Di sini kita melihat kalau akhir-akhir ini kebencian yang berujung pada tindak toleransi serta kebencian rasial ditujukan oleh mereka orang Indonesia keturunan Cina, atau Tionghoa. Kebencian terhadap orang Tionghoa sebenarnya bukanlah keadaan lama dalam realitas sosial masyarakat Indonesia. Setidaknya dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ungkapan, "orang cina tuh" atau "anak orang cina" yang seolah memisahkan secara sosial budaya orang Indonesia keturunan Tionghoa dengan suku-suku lain di Indonesia.

Hal yang paling menjadi simbolisasi yang ditujukan kepada orang Tionghoa ialah tingkat ekonomi, sosial, serta etnisnya. Simbolisasi tersebut berujung pada stigma yang cenderung negatif serta menganggap orang Tionghoa menjadi sumber dari permasalahan ekonomi orang Indonesia lainnya, yang sering disimbolkan selaku "pribumi."

Stigma ini kemudian berujung pada kebencian terhadap orang Tionghoa yang berakhir pada intimidasi berupa verbal atau pun fisik. Peristiwa yang terdekat terjadi sekitar 18 tahun yang lalu, dikala gelombang reformasi 1998 turut juga membawa dampak pada intimidasi kepada golongan Tionghoa berupa kekerasan fisik, penjarahan, serta isu yang santer berupa pemerkosaan terhadap wanita-wanita Tionghoa.

Hal ini sebetulnya juga terjadi pada untaian perjalanan sejarah Indonesia. Dan hal tersebut bukan cuma dilakukan oleh golongan masyarakat Indonesia yang dikatakan pribumi, melainkan oleh pihak kolonial Belanda. Sekiranya kita mengenal Peristiwa 9 Oktober 1740, yang merupakan kejadian pembantaian etnis Tionghoa yang dilakukan oleh pihak kolonial VOC.

Hal ini bermula dikala pada kesatu abad ke-18 terjadi penurunan perekonomian dunia selaku imbas dari turunnya harga gula, hal ini juga turut mempengaruhi kehidupan Batavia. Kondisi tersebut menyebabkan banyak pengangguran di Batavia, sementara terjadi gelombang migrasi dari Cina yang memadati kota Batavia dikala itu. Setidaknya Sudah ada 4.000 orang Cina bermukim di dalam tembok kota Batavia, sedangkan sekitar 10.000 orang berada di luar tembok kota.

 negara kita tengah dirundung permasalahan mengenai rasialitas serta krisis toleransi Pembantaian Etnis Cina pada Peristiwa Geger Pecinan 9 Oktober 1740
Adriaan Valckenier (1695-1751). Foto: Rijksmuseum Amsterdam

Pemerintah VOC sendiri menggelar pengaturan terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia. Salah satunya dengan menunjuk kapitan (pemimpin) yang bakal mengatur komunitas masyarakat Tionghoa pada abad ke-17. Konflik kemudian muncul dikala gubernur jenderal dikala itu, Adriaan Valckenier mengambil kebijakan buat mengirimkan kelebihan pengangguran termasuk orang Tionghoa ke Sri Langka untuk mendirikan benteng serta kota persinggahan.

Namun isu kemudian berkembang kalau banyak dari Orang Tionghoa yang dibunuh dalam perjalanan ke Sri Langka dengan diceburkan ke laut, sehingga menimbulkan kecemasan orang-orang Tonghoa lainnya di Batavia, serta kemudian menghimpun orang-orang Tonghoa di dalam serta luar tembok kota serta menyapkan senjata, serta mengancam buat menggelar pemberontakan di Batavia.

 negara kita tengah dirundung permasalahan mengenai rasialitas serta krisis toleransi Pembantaian Etnis Cina pada Peristiwa Geger Pecinan 9 Oktober 1740
Ilustrasi Geger Pecinan 1740. Foto: geni.com/Abraham Van Stolk

Ancaman tersebut kemudian dibalas dengan mengeluarkan surat perintah: bunuh serta bantai orang-orang Tionghoa. Para sedadu VOC kemudian menggelar penyerangan, pembakaran serta perampokan terhadap pemukiman-pemukiman Tionghoa di dalam serta luar tembok Batavia. Baik pria, wanita, serta anak-anak tidak luput dalam peristiwa berdarah tersebut. Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan mermacam pertempuran kecil terjadi hingga akhir November tahun yang sama.

Dilansir dari National Geographic Indonesia, mengutip cerita seorang pelaku pembantain G.Bernhard Schwarzen, berkisah dalam bukunya Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751, " Bukan tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota. Seluruh jalanan serta gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat, bahkan kaki kita tidak bakal basah dikala menyeberangi kanal Jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”

Musemum Fatahilah, dulu Balai Kota Batavia tempat pembantain pada Peristiwa 9 Oktober 1740. Foto: Tempo

Dalam Peristiwa 9 Oktober 1740, diperkirakan sekitar 5.000 sampai 10.000. Beberapa diantaranya sebelumnya ditawan di di Stadhuis, Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta). Mereka kemudian diarakan ke balik halaman Balai Kota serta kemudian disembelih. Peristiwa berdarah tersebut kemudian diketahui dengan "Geger Pecinan"

Kejadian tersebut membuat banyak orang-orang Tionghoa melarikan diri dari Batavia serta menuju daerah lain seperti di Pantai Utara Jawa, seperti Banten serta Mataram, namun kedatangan mereka juga mendapatkan penolakan dari Kesultanan Banten serta Mataram.

Kawasan Glodok 1880. Foto: KITLV

Usai kejadian tersebut tidak ada orang Cina yang tinggal di dalam Batavia. Beberapa tahun kemudian orang-orang Cina diperbolehkan kembali tinggal di sekitar selatan Batavia, mendiami  daerah berawa yang dijadikan ladang tebu milik seorang Bali bernama Arya Glitok. Daerah tersebut kemudian menjadi daerah pecinaan yang diketahui selaku Glodok, yang diambil dari nama orang Bali tersebut.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel