Pembantaian Etnis Cina Pada Peristiwa Geger Pecinan 9 Oktober 1740
Jumat, Juni 02, 2017
Ilusrasi: Pinterest
- Pada hari ini, negara kita tengah dirundung permasalahan mengenai rasialitas serta krisis toleransi. Menurut survei dari Wahid Foundation bertajuk "Potensi Intoleransi serta Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang menghasilkan laporan mengenai kelompok yang dibenci oleh masyarakat Indonesia, meliputi mereka yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, serta selainnya.
Baca Juga
Hal yang paling menjadi simbolisasi yang ditujukan kepada orang Tionghoa ialah tingkat ekonomi, sosial, serta etnisnya. Simbolisasi tersebut berujung pada stigma yang cenderung negatif serta menganggap orang Tionghoa menjadi sumber dari permasalahan ekonomi orang Indonesia lainnya, yang sering disimbolkan selaku "pribumi."
Stigma ini kemudian berujung pada kebencian terhadap orang Tionghoa yang berakhir pada intimidasi berupa verbal atau pun fisik. Peristiwa yang terdekat terjadi sekitar 18 tahun yang lalu, dikala gelombang reformasi 1998 turut juga membawa dampak pada intimidasi kepada golongan Tionghoa berupa kekerasan fisik, penjarahan, serta isu yang santer berupa pemerkosaan terhadap wanita-wanita Tionghoa.
Hal ini bermula dikala pada kesatu abad ke-18 terjadi penurunan perekonomian dunia selaku imbas dari turunnya harga gula, hal ini juga turut mempengaruhi kehidupan Batavia. Kondisi tersebut menyebabkan banyak pengangguran di Batavia, sementara terjadi gelombang migrasi dari Cina yang memadati kota Batavia dikala itu. Setidaknya Sudah ada 4.000 orang Cina bermukim di dalam tembok kota Batavia, sedangkan sekitar 10.000 orang berada di luar tembok kota.

Adriaan Valckenier (1695-1751). Foto: Rijksmuseum Amsterdam
Namun isu kemudian berkembang kalau banyak dari Orang Tionghoa yang dibunuh dalam perjalanan ke Sri Langka dengan diceburkan ke laut, sehingga menimbulkan kecemasan orang-orang Tonghoa lainnya di Batavia, serta kemudian menghimpun orang-orang Tonghoa di dalam serta luar tembok kota serta menyapkan senjata, serta mengancam buat menggelar pemberontakan di Batavia.

Ilustrasi Geger Pecinan 1740. Foto: geni.com/Abraham Van Stolk
Dilansir dari National Geographic Indonesia, mengutip cerita seorang pelaku pembantain G.Bernhard Schwarzen, berkisah dalam bukunya Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751, " Bukan tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota. Seluruh jalanan serta gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat, bahkan kaki kita tidak bakal basah dikala menyeberangi kanal Jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”

Dalam Peristiwa 9 Oktober 1740, diperkirakan sekitar 5.000 sampai 10.000. Beberapa diantaranya sebelumnya ditawan di di Stadhuis, Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta). Mereka kemudian diarakan ke balik halaman Balai Kota serta kemudian disembelih. Peristiwa berdarah tersebut kemudian diketahui dengan "Geger Pecinan"
Kejadian tersebut membuat banyak orang-orang Tionghoa melarikan diri dari Batavia serta menuju daerah lain seperti di Pantai Utara Jawa, seperti Banten serta Mataram, namun kedatangan mereka juga mendapatkan penolakan dari Kesultanan Banten serta Mataram.
Kawasan Glodok 1880. Foto: KITLV
Usai kejadian tersebut tidak ada orang Cina yang tinggal di dalam Batavia. Beberapa tahun kemudian orang-orang Cina diperbolehkan kembali tinggal di sekitar selatan Batavia, mendiami daerah berawa yang dijadikan ladang tebu milik seorang Bali bernama Arya Glitok. Daerah tersebut kemudian menjadi daerah pecinaan yang diketahui selaku Glodok, yang diambil dari nama orang Bali tersebut.