Dinamika Kerajaan Kutai Kartanegara
Sabtu, Agustus 31, 2019
Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang awal Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325), Kutai lama dalam bab ini yaitu Kutai yang masih memeluk agama Hindu, Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara kedua kerajaan tersebut. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan di antara kedua kerajaan Kutai ini. Dan pada akhirnya kerajaan Kutai Kartanegara di bawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17 agama Islam mulai diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Namun peristiwa yang mengubah sejarah terjadi dikala pemerintahan Raja Makota. Dua penyebar Islam Tuan Haji Tunggang Parnagan serta Tuan Di Bandang dari Makassar datang buat menyebarkan Islam. Peristiwa diawali dengan debat teologis antara Raja Makota serta dua penyebar Islam ini. tidak cuma itu, juga dilakukan adu kesaktian yang membuat Raja Makota mengakui kesaktian dua penyebar Islam ini. dia akhirnya masuk Islam serta seluruh rakyat perlu mengikuti. Raja Makota yaitu raja awal yang memeluk Islam serta mulai didirikan Mesjid. Selanjutnya namanama Islami banyak yang digunakan, termasuk pada namanama raja serta keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Masuknya agama Islam ini dalam kerajaan Kutai membuat panggilan raja berganti dengan sebutan Sultan. Sultan Kutai yang awal kali menggunakan nama Islam yaitu Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Awal mula dari runtuhnya kerajaan Kutai Kartanegara yaitu pada tahun 1525-1600 M dimana mereka diserang oleh kerajaan Banjar yang dikala itu dipimpin oleh pangeran Samudera dengan bantuan dari Belanda, hingga akhirnya Kerajaan Kutai menyerah kalah serta menjadi kerajaan bawahan dari kerajaan Banjar, menjadi daerah Vasal (bawahan) dari kerajaan Banjar menjadikan Belanda dengan gampang ikut menggelar intervensi ke dalam kerajaan Kutai. Pada puncaknya terjadi pada tahun 1787, kerajaan Banjar lewat rajannya dikala itu Sultan Tamjidillah II menandatangani penyerahan kekuasaan atas Kutai sesuai dengan perjanjian dahulunya kalau Belanda bakal mendapatkan wilayah kekuasaan atas bantuannya pada Pangeran Samudera dalam memerangi pangeran Amir.
Dan mulai tahun 1787 secara de facto kerajaan Kutai menjadi daerah dibawah kekuasaan Belanda, dimana raja Kutai dikala itu yaitu Aji Sultan Muhammad Salehudin, serta isi dari perjanjian yang ditanda tangani oleh Sultan Tamjidillah II dengan Belanda selaku berikut: Sultan Banjar menyerahkan tanah kerajaannya kepada pemerintah Belanda, di antaranya itu bakal diterimanya kembali selaku pinjaman, yang bakal tetap diserahkan kepada pemerintah Belanda, daerah yang dimaksud yaitu tanah Bumbu, Pagatan, Pasir, Kutai, Berau, Bulongan serta Kota Waringin.
apabila dilihat dari kekuatan hukum atas kekuasaan Belanda di Kutai maka cuma sebatas de facto belum de jure mengingat kalau raja-raja di kerajaan Kutai tak dilibatkan dalam penanda tangan atas kekuasaan tersebut, baru kemudian pada tahun 1825 atas inisiatif dari G.Muller yang dikala itu menjabat selaku residen Banjarmasin mengikat secara resmi kerajaan Kutai Kartanegara dengan ditanda-tanganinya perjanjian antara pemerintah Belanda dengan Aji Sultan Muhammad Salehudin, dalam isi perjanjian yang ditandatangani tersebut berisi antara lain yaitu kalau pemerintah Belanda memegang kekuasaan penuh atas kerajaan Kutai Kartanegara dengan kompensasi kalau Belanda memegang peradilan, urusan pajak bea cukai, pajak-pajak orang Cina, pajak tambang emas serta sebagainya dengan kemudian raja mendapatkan kompensasi uang sebesar 8000 gulden per tahun. Belanda juga menempatkan seorang civiel gezaghebber bernama H. van Dewall yang bertugas selaku penguasa sipil pengelola pemerintahan Belanda di Kutai Kartanegara.
Alasan dilakukan pengikatan kekuasaan secara de jure tersebut yaitu kalau kerajaan Kutai mempunyai kekayaan alam yang sangat melimpah dari kekayaan alam batu bara, sarang brung walet, emas, intan, hasil hutan serta juga kerajaan Kutai mempunyai jalur perdagangan yang strategis terlebih dengan adanya sungai Mahakam selaku jalur transportasi serta perdagangan.
Mulai runtuhnya kerajaan Kutai ditambah dengan seringnya ada perompak/ bajak laut dari Sulu yang mengganggu stabilitas perdagangan serta ekonomi kerajaan, pada tahun 1871 memindahkan ibu kota kerajaan ke Tenggarong. Sampai kependudukan Jepang di Indonesia kerajaan Kutai tak berubah, masih menjadi kerajaan vassal walau berganti kepemimpinan, pada masa pendudukan Jepang kerajaan Kutai Kartanegara dengan kepemimpinan raja dikala itu Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960 M) berani memilih bekerja sama dengan pergerakan nasional dalam menghadapi jepang, sikap ini diambil karna kebiadaban Jepang dengan membunuh 300 keluarga kerajaan yang menolak bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan Jepang.
Mulai runtuhnya kerajaan Kutai ditambah dengan seringnya ada perompak/ bajak laut dari Sulu yang mengganggu stabilitas perdagangan serta ekonomi kerajaan, pada tahun 1871 memindahkan ibu kota kerajaan ke Tenggarong. Sampai kependudukan Jepang di Indonesia kerajaan Kutai tak berubah, masih menjadi kerajaan vassal walau berganti kepemimpinan, pada masa pendudukan Jepang kerajaan Kutai Kartanegara dengan kepemimpinan raja dikala itu Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960 M) berani memilih bekerja sama dengan pergerakan nasional dalam menghadapi jepang, sikap ini diambil karna kebiadaban Jepang dengan membunuh 300 keluarga kerajaan yang menolak bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan Jepang.
Baru setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya kerajaan Kutai benar-benar menjadi daerah yang merdeka dari cengkeraman kependudukan Jepang serta pada tahun 1947 kerajaan Kutai dimasukkan ke dalam wilayah federasi Kalimantan Timur bersama dengan Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur serta Pasir dengan nama dewan kesultanan. Perubahan status terus berubah yaitu pada 27 Desember 1949 dewan kesultanan tergabung dalam Republik Indonesia Serikat.
Pada abad ke-17 agama Islam mulai diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Namun peristiwa yang mengubah sejarah terjadi dikala pemerintahan Raja Makota. Dua penyebar Islam Tuan Haji Tunggang Parnagan serta Tuan Di Bandang dari Makassar datang buat menyebarkan Islam. Peristiwa diawali dengan debat teologis antara Raja Makota serta dua penyebar Islam ini. tidak cuma itu, juga dilakukan adu kesaktian yang membuat Raja Makota mengakui kesaktian dua penyebar Islam ini. dia akhirnya masuk Islam serta seluruh rakyat perlu mengikuti. Raja Makota yaitu raja awal yang memeluk Islam serta mulai didirikan Mesjid. Selanjutnya namanama Islami banyak yang digunakan, termasuk pada namanama raja serta keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Masuknya agama Islam ini dalam kerajaan Kutai membuat panggilan raja berganti dengan sebutan Sultan. Sultan Kutai yang awal kali menggunakan nama Islam yaitu Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Awal mula dari runtuhnya kerajaan Kutai Kartanegara yaitu pada tahun 1525-1600 M dimana mereka diserang oleh kerajaan Banjar yang dikala itu dipimpin oleh pangeran Samudera dengan bantuan dari Belanda, hingga akhirnya Kerajaan Kutai menyerah kalah serta menjadi kerajaan bawahan dari kerajaan Banjar, menjadi daerah Vasal (bawahan) dari kerajaan Banjar menjadikan Belanda dengan gampang ikut menggelar intervensi ke dalam kerajaan Kutai. Pada puncaknya terjadi pada tahun 1787, kerajaan Banjar lewat rajannya dikala itu Sultan Tamjidillah II menandatangani penyerahan kekuasaan atas Kutai sesuai dengan perjanjian dahulunya kalau Belanda bakal mendapatkan wilayah kekuasaan atas bantuannya pada Pangeran Samudera dalam memerangi pangeran Amir.
Baca Juga
Dan mulai tahun 1787 secara de facto kerajaan Kutai menjadi daerah dibawah kekuasaan Belanda, dimana raja Kutai dikala itu yaitu Aji Sultan Muhammad Salehudin, serta isi dari perjanjian yang ditanda tangani oleh Sultan Tamjidillah II dengan Belanda selaku berikut: Sultan Banjar menyerahkan tanah kerajaannya kepada pemerintah Belanda, di antaranya itu bakal diterimanya kembali selaku pinjaman, yang bakal tetap diserahkan kepada pemerintah Belanda, daerah yang dimaksud yaitu tanah Bumbu, Pagatan, Pasir, Kutai, Berau, Bulongan serta Kota Waringin.
apabila dilihat dari kekuatan hukum atas kekuasaan Belanda di Kutai maka cuma sebatas de facto belum de jure mengingat kalau raja-raja di kerajaan Kutai tak dilibatkan dalam penanda tangan atas kekuasaan tersebut, baru kemudian pada tahun 1825 atas inisiatif dari G.Muller yang dikala itu menjabat selaku residen Banjarmasin mengikat secara resmi kerajaan Kutai Kartanegara dengan ditanda-tanganinya perjanjian antara pemerintah Belanda dengan Aji Sultan Muhammad Salehudin, dalam isi perjanjian yang ditandatangani tersebut berisi antara lain yaitu kalau pemerintah Belanda memegang kekuasaan penuh atas kerajaan Kutai Kartanegara dengan kompensasi kalau Belanda memegang peradilan, urusan pajak bea cukai, pajak-pajak orang Cina, pajak tambang emas serta sebagainya dengan kemudian raja mendapatkan kompensasi uang sebesar 8000 gulden per tahun. Belanda juga menempatkan seorang civiel gezaghebber bernama H. van Dewall yang bertugas selaku penguasa sipil pengelola pemerintahan Belanda di Kutai Kartanegara.
Alasan dilakukan pengikatan kekuasaan secara de jure tersebut yaitu kalau kerajaan Kutai mempunyai kekayaan alam yang sangat melimpah dari kekayaan alam batu bara, sarang brung walet, emas, intan, hasil hutan serta juga kerajaan Kutai mempunyai jalur perdagangan yang strategis terlebih dengan adanya sungai Mahakam selaku jalur transportasi serta perdagangan.
Mulai runtuhnya kerajaan Kutai ditambah dengan seringnya ada perompak/ bajak laut dari Sulu yang mengganggu stabilitas perdagangan serta ekonomi kerajaan, pada tahun 1871 memindahkan ibu kota kerajaan ke Tenggarong. Sampai kependudukan Jepang di Indonesia kerajaan Kutai tak berubah, masih menjadi kerajaan vassal walau berganti kepemimpinan, pada masa pendudukan Jepang kerajaan Kutai Kartanegara dengan kepemimpinan raja dikala itu Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960 M) berani memilih bekerja sama dengan pergerakan nasional dalam menghadapi jepang, sikap ini diambil karna kebiadaban Jepang dengan membunuh 300 keluarga kerajaan yang menolak bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan Jepang.
Mulai runtuhnya kerajaan Kutai ditambah dengan seringnya ada perompak/ bajak laut dari Sulu yang mengganggu stabilitas perdagangan serta ekonomi kerajaan, pada tahun 1871 memindahkan ibu kota kerajaan ke Tenggarong. Sampai kependudukan Jepang di Indonesia kerajaan Kutai tak berubah, masih menjadi kerajaan vassal walau berganti kepemimpinan, pada masa pendudukan Jepang kerajaan Kutai Kartanegara dengan kepemimpinan raja dikala itu Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960 M) berani memilih bekerja sama dengan pergerakan nasional dalam menghadapi jepang, sikap ini diambil karna kebiadaban Jepang dengan membunuh 300 keluarga kerajaan yang menolak bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan Jepang.
Baru setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya kerajaan Kutai benar-benar menjadi daerah yang merdeka dari cengkeraman kependudukan Jepang serta pada tahun 1947 kerajaan Kutai dimasukkan ke dalam wilayah federasi Kalimantan Timur bersama dengan Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur serta Pasir dengan nama dewan kesultanan. Perubahan status terus berubah yaitu pada 27 Desember 1949 dewan kesultanan tergabung dalam Republik Indonesia Serikat.