Du Contrat Social: Keabsahan Serta Legitimasi Kekuasaan Politik
Sabtu, Agustus 17, 2019
Perkara utama serta paling mendesak bagi pemerintahan serta legislator dalam merumuskan peraturan serta undang-undang serta memerintah masyarakat yang memberikan mandat kepada mereka buat mengatur urusan publik dengan cara yang sudah diatur dalam legislasi yang sudah dirumuskan dengan segala batasan serta wewenangnya yakni legitimasi. Begitulah yang dapat disimpulkan setelah membaca karangan Jean-Jacques Rousseau yang berjudul "The Social Contract".
Legitimasi yang dimaksud dalam konteks ini sendiri merupakan sebuah keabsahan serta persetujuan yang didapatkan dari masyarakat terhadap berlakunya sebuah perundang-undangan serta penegakan hukum. Hal ini merupakan hal yang sangat krusial bagi Rousseau dalam mendirikan sebuah masyarakat yang beradab. Tak cuma legitimasi memberikan kepastian kepada para legislator serta anggota pemerintah kalau undang-undang serta peraturan yang mereka rumuskan dapat bertahan mengikuti tuntutan masyarakat di masa yang bakal datang, namun legitimasi ini sendiri dalam konteks yang lebih luas memberikan sebuah landasan konstitusional bagi pemerintahan tersebut buat menjalankan tugasnya. Tanpa restu dari masyarakat, pemerintahan yang tengah menjalankan bakal kehilangan keabsahan serta alasan buat memerintah masyarakat di bawah mereka.
Rousseau berpendapat kalau dalam "the state of nature" atau keadaan alamiah (tanpa korupsi kerumitan interaksi sosial serta bermasyarakat yang dipengaruhi oleh kepemilikan materi dalam dunia yang modern) manusia merupakan mahkluk yang baik, namun korupsi yang ditimbulkan oleh hubungan antara individu dengan kepemilikan materi menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang tidak terhindarkan serta akhirnya secara perlahan tereskalasi menjadi konflik antar-individu yang kemudian dalam tingkatan yang lebih lanjut menjadi konflik antar-kelompok masyarakat seperti suku serta tumbuh seiring dengan berkembangnya intensitas interaksi sosial antar manusia menjadi konflik antar-kontrak politik berbentuk negara.
Rousseau tidak melihat konflik yang terjadi selaku suatu hal yang perlu dihilangkan; beliau melihatnya selaku suatu kesadaran yang beranjak dari sifat primitif yang terdapat pada diri manusia dalam keadaan alamiah atau "state of nature" yang memperbolehkan manusia buat mengadakan apapun yang Ia kehendaki sehingga perlu diregulasi dengan menciptakan sebuah kontrak sosial dalam bentuk legislasi serta hukum yang diterima serta dipatuhi secara universal oleh sebuah masyarakat buat membangun sebuah masyarakat yang beradab.
Untuk menghimpun sebuah legislasi dalam membentuk sebuah struktur kemasyarakatan yang beradab berarti juga dalam prosesnya setiap individu yang menjadi anggota dalam masyarakat yang dimaksud tanpa kecuali perlu menyerahkan kebebasan primitif mereka buat diberikan kebebasan sipil oleh masyarakat selaku imbalan.
Kalau semua individu sudah menyetujui buat berkompromi serta menyerahkan kebebasan primitif mereka agar mampu hidup berdampingan bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat tersebut dengan segala kebebasan dalam bentuk hak serta batasan dalam bentuk hukum, maka bakal tercipta sebuah kontrak sosial.
Kembali lagi kepada legitimasi, bagaimana cara legislator memperoleh legitimasi dari masyarakat buat legislasi serta hukum yang dirumuskan?
Legitimasi dalam penjabaran Rousseau didapatkan dengan menyelaraskan perencanaan serta penerapan undang-undang yang disinggung dengan kontrak sosial yang dibuat oleh sebuah masyarakat yang membuat perjanjian politik di ketika awal mereka membentuk sebuah entitas politik, yang dalam kasus ini yakni sebuah negara.
Kontrak sosial yang dibuat oleh individu-individu dalam masyarakat yang disinggung bakal menjadi sebuah konsensus yang melandasi bagaimana pemerintahan mereka bekerja serta menjalani urusan-urusan keseharian publik, serta karna pemerintahan serta instansi negara sendiri merupakan badan yang dibentuk dari persetujuan para pendiri entitas politik yang merepresentasikan kepentingan, pemikiran, serta pertimbangan banyak individu serta banyak kelompok di ketika pendiriannya maka agenda serta bentuk pemerintahan yang bertentangan dengan kontrak sosial di mana pemerintahan itu berdiri di atasnya membuatnya bertentangan juga dengan kehendak umum.
Rousseau memandang kalau legislasi yang bagus tidak cuma dilihat dari isi serta esensi legislasi itu sendiri; legislasi dapat dinilai selaku bagus apabila isi dari legislasi tersebut relevan dengan kebutuhan masyarakat di mana legislasi itu diperuntukan serta berkorespondensi dengan konsensus bersama yang terdapat pada kontrak sosial yang dibuat oleh masyarakat tersebut.
Setelah menyelaraskan legislasi kepada kebutuhan masyarakat secara relevan serta berkorespondensi dengan konsensus masyarakat tersebut, sang legislator dalam pemerintahan kemudian perlu mencari cara agar masyarakat menerima serta mengakui legislasi yang sudah dibuat secara universal, sehingga dapat diberlakukan secara menyeluruh serta sebisa barangkali tanpa pengecualian. Oleh karna itu, samg legislator perlu menyandangkan serta mengatasnamakan legislasi yang Ia buat dalam bingkai sebuah konstitusi kepada suatu elemen yang keabsahannya diterima oleh sebagian besar dari masyarakat serta mempunyai kekuatan buat menyatukan individu-individu yang berbeda kepada menerima berlakunya suatu undang-undang serta hukum.
Elemen ini dapat berupa kepercayaan, adat istiadat, serta unsur non-material serta berada di alam bawah sadar manusia yang dipercayai oleh sebagian besar masyarakat. Dalam tulisan Rousseau secara eksplisit kepercayaan kepada unsur non-material ini disematkan kepada kepercayaan terhadap Tuhan, kalau konstitusi yang melandaskan keabsahan berjalannya suatu pemerintah didasarkan kepada kehendak Tuhan.
Walaupun demikian, bukan berarti kalau semua konstitusi di dunia ini menyandang serta mengatasnamakan Tuhan agar mampu mendapatkan legitimasi dari masyarakat di mana konstitusi itu berlaku. Kembali lagi kepada pendapat Rousseau kalau sebuah konstitusi serta legislasi serta hukum perlu berkorespondensi dengan konsensus yang terbentuk dari kesadaran akumulatif dari individu-individu yang menjadi bagian dari kontrak sosial suatu masyarakat; jika ada masyarakat yang tidak menginginkan konstitusinya disematkan pada nama Tuhan, hal itu boleh Saja terjadi. Seperti yang terjadi di Perancis pada akhir abad ke-18 pasca revolusi, di mana kaum revolusioner dalam membuat sebuah kontrak sosial baru buat menggantikan kontrak sosial lama yang sudah usang tidak menyandangkan nama Tuhan buat menjaga netralitas negara serta pemerintah terhadap agama-agama yang ada.
Oleh karna itu, merupakan hal yang wajar jika dalam dunia ini masing-masing negara mempunyai konstitusi yang berbeda-beda serta unik buat menjadi landasan berjalannya pemerintahan mereka serta terciptanya masyarakat yang beradab serta sipil. Hal ini terjadi karna masing-masing masyarakat mempunyai kepercayaan, bentuk kompromi, serta kontrak sosial yang berbeda. Dan pemerintah serta legislator dalam tugasnya buat mengayomi masyarakat sesuai dengan konsensus yang terdapat dalam kontrak sosial yang sudah ada mempunyai metode serta cara yang berbeda buat memperoleh legitimasi.
Sumber: OA Historypedia Line
Admin Lee Kuan Yew
Legitimasi yang dimaksud dalam konteks ini sendiri merupakan sebuah keabsahan serta persetujuan yang didapatkan dari masyarakat terhadap berlakunya sebuah perundang-undangan serta penegakan hukum. Hal ini merupakan hal yang sangat krusial bagi Rousseau dalam mendirikan sebuah masyarakat yang beradab. Tak cuma legitimasi memberikan kepastian kepada para legislator serta anggota pemerintah kalau undang-undang serta peraturan yang mereka rumuskan dapat bertahan mengikuti tuntutan masyarakat di masa yang bakal datang, namun legitimasi ini sendiri dalam konteks yang lebih luas memberikan sebuah landasan konstitusional bagi pemerintahan tersebut buat menjalankan tugasnya. Tanpa restu dari masyarakat, pemerintahan yang tengah menjalankan bakal kehilangan keabsahan serta alasan buat memerintah masyarakat di bawah mereka.
Rousseau berpendapat kalau dalam "the state of nature" atau keadaan alamiah (tanpa korupsi kerumitan interaksi sosial serta bermasyarakat yang dipengaruhi oleh kepemilikan materi dalam dunia yang modern) manusia merupakan mahkluk yang baik, namun korupsi yang ditimbulkan oleh hubungan antara individu dengan kepemilikan materi menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang tidak terhindarkan serta akhirnya secara perlahan tereskalasi menjadi konflik antar-individu yang kemudian dalam tingkatan yang lebih lanjut menjadi konflik antar-kelompok masyarakat seperti suku serta tumbuh seiring dengan berkembangnya intensitas interaksi sosial antar manusia menjadi konflik antar-kontrak politik berbentuk negara.
Baca Juga
Rousseau tidak melihat konflik yang terjadi selaku suatu hal yang perlu dihilangkan; beliau melihatnya selaku suatu kesadaran yang beranjak dari sifat primitif yang terdapat pada diri manusia dalam keadaan alamiah atau "state of nature" yang memperbolehkan manusia buat mengadakan apapun yang Ia kehendaki sehingga perlu diregulasi dengan menciptakan sebuah kontrak sosial dalam bentuk legislasi serta hukum yang diterima serta dipatuhi secara universal oleh sebuah masyarakat buat membangun sebuah masyarakat yang beradab.
Untuk menghimpun sebuah legislasi dalam membentuk sebuah struktur kemasyarakatan yang beradab berarti juga dalam prosesnya setiap individu yang menjadi anggota dalam masyarakat yang dimaksud tanpa kecuali perlu menyerahkan kebebasan primitif mereka buat diberikan kebebasan sipil oleh masyarakat selaku imbalan.
Kalau semua individu sudah menyetujui buat berkompromi serta menyerahkan kebebasan primitif mereka agar mampu hidup berdampingan bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat tersebut dengan segala kebebasan dalam bentuk hak serta batasan dalam bentuk hukum, maka bakal tercipta sebuah kontrak sosial.
Kembali lagi kepada legitimasi, bagaimana cara legislator memperoleh legitimasi dari masyarakat buat legislasi serta hukum yang dirumuskan?
Legitimasi dalam penjabaran Rousseau didapatkan dengan menyelaraskan perencanaan serta penerapan undang-undang yang disinggung dengan kontrak sosial yang dibuat oleh sebuah masyarakat yang membuat perjanjian politik di ketika awal mereka membentuk sebuah entitas politik, yang dalam kasus ini yakni sebuah negara.
Kontrak sosial yang dibuat oleh individu-individu dalam masyarakat yang disinggung bakal menjadi sebuah konsensus yang melandasi bagaimana pemerintahan mereka bekerja serta menjalani urusan-urusan keseharian publik, serta karna pemerintahan serta instansi negara sendiri merupakan badan yang dibentuk dari persetujuan para pendiri entitas politik yang merepresentasikan kepentingan, pemikiran, serta pertimbangan banyak individu serta banyak kelompok di ketika pendiriannya maka agenda serta bentuk pemerintahan yang bertentangan dengan kontrak sosial di mana pemerintahan itu berdiri di atasnya membuatnya bertentangan juga dengan kehendak umum.
Rousseau memandang kalau legislasi yang bagus tidak cuma dilihat dari isi serta esensi legislasi itu sendiri; legislasi dapat dinilai selaku bagus apabila isi dari legislasi tersebut relevan dengan kebutuhan masyarakat di mana legislasi itu diperuntukan serta berkorespondensi dengan konsensus bersama yang terdapat pada kontrak sosial yang dibuat oleh masyarakat tersebut.
Setelah menyelaraskan legislasi kepada kebutuhan masyarakat secara relevan serta berkorespondensi dengan konsensus masyarakat tersebut, sang legislator dalam pemerintahan kemudian perlu mencari cara agar masyarakat menerima serta mengakui legislasi yang sudah dibuat secara universal, sehingga dapat diberlakukan secara menyeluruh serta sebisa barangkali tanpa pengecualian. Oleh karna itu, samg legislator perlu menyandangkan serta mengatasnamakan legislasi yang Ia buat dalam bingkai sebuah konstitusi kepada suatu elemen yang keabsahannya diterima oleh sebagian besar dari masyarakat serta mempunyai kekuatan buat menyatukan individu-individu yang berbeda kepada menerima berlakunya suatu undang-undang serta hukum.
Elemen ini dapat berupa kepercayaan, adat istiadat, serta unsur non-material serta berada di alam bawah sadar manusia yang dipercayai oleh sebagian besar masyarakat. Dalam tulisan Rousseau secara eksplisit kepercayaan kepada unsur non-material ini disematkan kepada kepercayaan terhadap Tuhan, kalau konstitusi yang melandaskan keabsahan berjalannya suatu pemerintah didasarkan kepada kehendak Tuhan.
Walaupun demikian, bukan berarti kalau semua konstitusi di dunia ini menyandang serta mengatasnamakan Tuhan agar mampu mendapatkan legitimasi dari masyarakat di mana konstitusi itu berlaku. Kembali lagi kepada pendapat Rousseau kalau sebuah konstitusi serta legislasi serta hukum perlu berkorespondensi dengan konsensus yang terbentuk dari kesadaran akumulatif dari individu-individu yang menjadi bagian dari kontrak sosial suatu masyarakat; jika ada masyarakat yang tidak menginginkan konstitusinya disematkan pada nama Tuhan, hal itu boleh Saja terjadi. Seperti yang terjadi di Perancis pada akhir abad ke-18 pasca revolusi, di mana kaum revolusioner dalam membuat sebuah kontrak sosial baru buat menggantikan kontrak sosial lama yang sudah usang tidak menyandangkan nama Tuhan buat menjaga netralitas negara serta pemerintah terhadap agama-agama yang ada.
Oleh karna itu, merupakan hal yang wajar jika dalam dunia ini masing-masing negara mempunyai konstitusi yang berbeda-beda serta unik buat menjadi landasan berjalannya pemerintahan mereka serta terciptanya masyarakat yang beradab serta sipil. Hal ini terjadi karna masing-masing masyarakat mempunyai kepercayaan, bentuk kompromi, serta kontrak sosial yang berbeda. Dan pemerintah serta legislator dalam tugasnya buat mengayomi masyarakat sesuai dengan konsensus yang terdapat dalam kontrak sosial yang sudah ada mempunyai metode serta cara yang berbeda buat memperoleh legitimasi.
Sumber: OA Historypedia Line
Admin Lee Kuan Yew