Jalan Berliku Pemilu 1955
Sabtu, Agustus 10, 2019
Salah satu ciri dari negara modern yang menetapkan sistem demokrasi yaitu terselenggaranya pemilu. Hal ini berarti Kalau berlangsungnya pemilu di suatu negara dapat dijadikan selaku tolok ukur bagi pelaksanaan sistem demokrasi, bagi Indonesia, kehidupan politik demikian merupakan cita-cita nasional sejak Proklamasi. Urgensi pemilu ini merupakan keharusan buat memenuhi cita-cita nasional, sebab pemilu yaitu alat buat menyempurnakan demokrasi yang pada akhirnya mengarah kepada tercapainya masyarakat adil serta makmur.
Pemilihan umum yang diadakan pada September serta Desember 1955 sangat menarik selaku suatu eksperimen demokrasi. Kedua pemilihan umum itu yaitu yang awal kali dilaksanakan secara nasional di Indonesia, menyusul sedikit pengalaman dengan pemilihan umum propinsi serta kotapraja. Sekalipun baru awal kali, dalam pemilihan umum nasional ini hak pilih diberikan kepada seluruh warga Indonesia yang berusia di atas 18 tahun atau sudah kawin. Karena belum ada lembaga pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab bersama pemerintah serta panitia-panitia yang beranggotakan wakil partai. Di tingkat desa serta yang lebih rendah lagi, pemungutan suara dipercayakan juga kepada panitia-panitia yang sebagian anggotanya masih buta huruf.
Sejarah pemilihan umum di Indonesia mulai pada awal zaman revolusi. Rencana buat menggelar pemilihan umum nasional sudah diumumkan pada 5 Oktober 1945, serta pada 1946 diadakan pemilihan umum di Karesidenan Kediri serta Surakarta. Pada 1948 Badan Pekerja KNIP menyetujui undang-undang yang menetapkan sistem pemilihan umum tidak langsung berdasarkan perwakilan proporsional serta memberikan hak pilih kepada semua warga negara yang berusia diatas 18 tahun.
Bukan terlaksananya pemilu awal pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada dikala yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Setelah pengakuan kedaulatan (Desember 1949) pemilu buat membentuk DPR serta Konstituante menjadi bagian penting dari program kerja setiap kabinet. Kabinet Hatta (1949-1950) pada masa RIS mau menyelenggarakan pemilu buat membentuk konstituante terpilih yang berhak menentukan bentuk negara, yaitu memilih antara bentuk negara federasi atau bentuk negara kesatuan. Tetapi rencana ini di dahului oleh perkembangan politik yang mengarah kepada pembentukan negara kesatuan.
Sejak 1950 janji-janji mengenai pemilihan umum nasional sudah sering dikemukakan oleh mermacam kabinet, bakal tetapi langkah-langkah nyata itu selalu terhambat oleh gabungan mermacam faktor . Termasuk ke dalam hambatan itu, timbulnya urusan pemerintahan yang lebih mendesak serta gerakan menentang pemilihan umum yang dilancarkan oleh sejumlah partai serta kelompok-kelompok anggota Parlemen sementara.
Pada 17 Oktober 1952 terjadilah peristiwa yang membuat pemilihan umum menjadi persoalan politik yang penting. Pada hari itu sekelompok besar perwira tinggi angkatan darat, yang didukung oleh demonstrasi politik hasil rekayasa tentara, gagal mendesak Presdiden buat membubarkan Parlemen Sementara. Krisii tersebut meningkatkan penentangan terhadap Parlemen Sementara yang sudah beberapa lama menjadi sasaran utama kekcewaan umum yang samar-samar terhadap hasil kemerdekaan yang baru dicapai.
Kabinet menjalankan kebijakan ganda buat menghadapi situasi itu. Pertama, segala upaya ditempuh buat menemukan kompromi dalam penyelesaian masalah angkatan darat. Kedua, terus mendesak buat menggelar pemilihan umum secepat barangkali selaku penyelesaian jangka panjang. Pada November 1952 kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilhan umum yang baru.
Undang-undang baru itu menetapkan pemilihan umum yang langsung. Belajar dari pengalaman pemilihan umum Yogyakarta serta pemilihan umum di India pada 1951-1952, kabinet Wilopo memutuskan mengubah kebijakan pemilihan umum kabinet-kabinet sebelumnya yang memilih sistem tidak langsung. Selian itu bakal diadakan bukan satu tetapi dua pemilihan umum.
Sistem pemilihan umum yang ditetapkan dengan undang-undang 1953 itu banyak dikritik selaku perfeksionis dalam hal demokrasi, terlalu rumit serta sebab itu lamban serta mahal. Upaya kabinet Wilopo buat membentuk sebuah Panitia Pemilihan Umum Pusat gagal, sebab tidak tercapai kata sepakat antara rekan-rekannya dalam koalisi mengenani susunan panitia itu. Baru pada Desember 1953 terbentuk Panitia Pemilihan Indonesia.
Pada 1955, seperti pada 1952, pemilihan umum dianggap masyarakat pembaca surat Berita selaku salah satu jalan keluar dari situasi politik yang sangat memuaskan. Situasi politik ini tercermin pada krisis kabinet yang berulang-ulang, wewenang pemerintah yang mendapat tentangan terus-menerus dari pihak angkatan darat, korupsi, nepotisme politik, cekcok politik, diatas segalanya, pemerintah yang lumpuh menghadapi tugas-tugas berat hampir di semua bidang. Itulah sebabnya maka pemilihan umum menjadi tumpuan harapan.
Pemilu buat membentuk DPR berlangsung pada tanggal 29 September 1955 serta buat membentuk Konstituante berlangsung pada tanggal 15 Desember 1955 di bawah pemerintahan Kabinet Burhanudin Harapap serta Masyumi. Hasil pemilu buat parlemen (DPR) yang berlangsung paad tanggal 29 September 1955 baru diumumkan pada tanggal 1 Maret 1956, tetapi hampir semua partai sudah mengetahui gambaran hasilnya sebelum pengumuman itu disiarkan secara resmi. Ini disebabkan anggota Panitia Pemilihan Indonesia tidak berasal dari unsur pemerintah Saja melainkan juga unsur partai-partai politik peserta pemilu, organisasi pemilih serta utusan perorangan yang maju selaku calon legislatif yang melihat langsung proses perhitungan. Dengan demikian, para peserta pemilu dapat pula secara langsung mengevaluasi cara-cara kampanye mereka buat kemudian mengubah atau memperbaikinya pada pemilihan umum Konstituante.
Hasil pemilu parlemen 29 September 1955 :
Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan serta kejutan. Jumlah partai lebih bertambah banyak daripada berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya cuma dua puluh partai yang mendapat kursi. Akan tetapi, cuma empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi yaitu, Masyumi, PNI, NU serta PKI. Pemilihan umum itu tidak mengahasilkan penyelesaian buat kesulitan-kesulitan sistem parlementer serta oleh karenanya merupakan Langkah lebih lanjut dalam mendiskreditkan keseluruhan sistem itu.
Pemilihan umum 1955 memperlihatkan Indonesia menghadapi sejumlah persoalan khusus dalam upayanya menyesuaikan teknik pemilihan umum sesuai kebutuhannya. Hal penting berikutnya yang membuat pemilihan umum Indonesia 1955 berbeda dari pemilihan umum di kebanyakan negara barat ialah, besarnya perbedaan antara soal-soal nasional di satu sisi dengan dengan seruan-seruan kampanye tingkat desa di sisi lainnya, serta rendahnya tingkat kepekaan pemilih terhadap perkembangan politik tingkat nasional.
Berbeda dengan pembentukan kabinet pada masa-masa sebelumnya, Presiden Soekarno tidak menunjuk perseorangan menjadi formatur, tetapi menunjuk partai pemenang pemilu serta partai itulah yang bakal mengajukan calonnya kepada Presiden. Partai yang ditunjuk ialah PNI sebab partai ini memperoleh suara terbanyak dalam pemilu. PNI mengajukan Ali Sastroamidjojo serta Wilopo selaku formatur, tetapi Presiden Soekarno pada tanggal 8 Maret 1956 memilih Ali Sastroamidjojo.
Personalia kabinet diumumkan tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini disebut kabinet Ali II. Ini kbinet yaitu koalisi PNI, Masyumi, serta NU. Pada mulanya Presiden Soekarno tidak setuju dengan susunan kabinet sebab tidak memasukkan anggota PKI ke dalam kabinet. Presiden mencoba mendesakkan keinginannya kepada tokoh Masyumi (Sukiman) serta tokoh NU K.H Idham Chalid serta tokoh PNI serta PSII. Akan tetapi, semua tokoh itu memiliki pendapat yang sama, menolak mengikutsertakan PKI dalam kabinet. Kabinet Ali Sastroamidjojo merupakan kabinet koalisi di mana tiga partai besar, yaitu PNI, Masyumi serta NU memegang peran selain beberapa partai lainnya.
Parlemen ini bertahan selama empat tahun sebelum dibubarkan. Akan tetapi, baik DPR yang baru maupun pemerintahan yang baru tidak menunjukkan banyak wewenang, serta pada waktu itu cuma sedikit rakyat Indonesia yang berpikir Kalau parlemen atau pemerintah bakal berhasil. Dalam pidato pembukaannya di depan DPR, Soekarno mengutarakan harapannya bakal suatu bentuk demokrasi yang benar-benar bersifat Indonesia, demokrasi yang lebih di dasarkan atas mufakat daripada atas demokrasi secara barat yang bersifat memecah belah dengan persaingan antara pemerintah serta pihak oposisi di dalam parlemen.
Sukses paling mengesankan dari Kabinet Ali yaitu konferensi Asia Afrika pada bulan april. Bukan pernah sebelumnya perhatian kaum nasionalis Indonesia terhadap anti kolonialisme, persatuan revolusioner serta tujuan moral yang besar diperlihatkan dengan cara yang lebih atraktif. Keberhasilan Konferensi Asia Afrika tidak mengahasilkan suatu program aksi yang pasti, tapi mereka memang tidak berniat buat mengemban misi itu. Apa yang mereka susun yaitu pernyataan sederhana serta dipertimbangkan matang mengenai sentimen-sentimen bersama.
Masalah yang dihadapi Ali pada kabinetnya yang awal agak berbeda dengan suasana kabinetnya yang kedua. Hal itu sebab Ali bukan cuma menghadapi persoalan daerah, masalah kepartaian, juga munculnya Bung Karno selaku kekuatan politim baru yang mencerca banyaknya partai-partai. Seperti juga pada kabinet Ali I, Kabinet Ali II juga tidak dijatuhkan DPR, tetapi makin menghebatnya pergolakan daerah memaksa pemerintah mengungkapkan SOB serta tidak lama kemudian Ali menyerahkan mandatnya.
Sangat disayangkan, cerita sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan serta cuma menjadi catatan emas sejarah. Pemilu awal itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian yaitu berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden buat membubarkan Konstituante serta pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi serta mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang selaku kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas dikala pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) serta MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR serta DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR serta MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu yaitu terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR yaitu pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi serta sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal kian luas, rezim yang kemudian diketahui dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, selaku presiden seumur hidup. Ini yaitu satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan melalui pemilihan berkala.
Disadur dari: Tinjauan Kritis Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Pemilu 1955 Oleh: Esa Susanti Putri
Pemilihan umum yang diadakan pada September serta Desember 1955 sangat menarik selaku suatu eksperimen demokrasi. Kedua pemilihan umum itu yaitu yang awal kali dilaksanakan secara nasional di Indonesia, menyusul sedikit pengalaman dengan pemilihan umum propinsi serta kotapraja. Sekalipun baru awal kali, dalam pemilihan umum nasional ini hak pilih diberikan kepada seluruh warga Indonesia yang berusia di atas 18 tahun atau sudah kawin. Karena belum ada lembaga pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab bersama pemerintah serta panitia-panitia yang beranggotakan wakil partai. Di tingkat desa serta yang lebih rendah lagi, pemungutan suara dipercayakan juga kepada panitia-panitia yang sebagian anggotanya masih buta huruf.
Sejarah pemilihan umum di Indonesia mulai pada awal zaman revolusi. Rencana buat menggelar pemilihan umum nasional sudah diumumkan pada 5 Oktober 1945, serta pada 1946 diadakan pemilihan umum di Karesidenan Kediri serta Surakarta. Pada 1948 Badan Pekerja KNIP menyetujui undang-undang yang menetapkan sistem pemilihan umum tidak langsung berdasarkan perwakilan proporsional serta memberikan hak pilih kepada semua warga negara yang berusia diatas 18 tahun.
Baca Juga
Bukan terlaksananya pemilu awal pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada dikala yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Setelah pengakuan kedaulatan (Desember 1949) pemilu buat membentuk DPR serta Konstituante menjadi bagian penting dari program kerja setiap kabinet. Kabinet Hatta (1949-1950) pada masa RIS mau menyelenggarakan pemilu buat membentuk konstituante terpilih yang berhak menentukan bentuk negara, yaitu memilih antara bentuk negara federasi atau bentuk negara kesatuan. Tetapi rencana ini di dahului oleh perkembangan politik yang mengarah kepada pembentukan negara kesatuan.
Sejak 1950 janji-janji mengenai pemilihan umum nasional sudah sering dikemukakan oleh mermacam kabinet, bakal tetapi langkah-langkah nyata itu selalu terhambat oleh gabungan mermacam faktor . Termasuk ke dalam hambatan itu, timbulnya urusan pemerintahan yang lebih mendesak serta gerakan menentang pemilihan umum yang dilancarkan oleh sejumlah partai serta kelompok-kelompok anggota Parlemen sementara.
Pada 17 Oktober 1952 terjadilah peristiwa yang membuat pemilihan umum menjadi persoalan politik yang penting. Pada hari itu sekelompok besar perwira tinggi angkatan darat, yang didukung oleh demonstrasi politik hasil rekayasa tentara, gagal mendesak Presdiden buat membubarkan Parlemen Sementara. Krisii tersebut meningkatkan penentangan terhadap Parlemen Sementara yang sudah beberapa lama menjadi sasaran utama kekcewaan umum yang samar-samar terhadap hasil kemerdekaan yang baru dicapai.
Kabinet menjalankan kebijakan ganda buat menghadapi situasi itu. Pertama, segala upaya ditempuh buat menemukan kompromi dalam penyelesaian masalah angkatan darat. Kedua, terus mendesak buat menggelar pemilihan umum secepat barangkali selaku penyelesaian jangka panjang. Pada November 1952 kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilhan umum yang baru.
Undang-undang baru itu menetapkan pemilihan umum yang langsung. Belajar dari pengalaman pemilihan umum Yogyakarta serta pemilihan umum di India pada 1951-1952, kabinet Wilopo memutuskan mengubah kebijakan pemilihan umum kabinet-kabinet sebelumnya yang memilih sistem tidak langsung. Selian itu bakal diadakan bukan satu tetapi dua pemilihan umum.
Sistem pemilihan umum yang ditetapkan dengan undang-undang 1953 itu banyak dikritik selaku perfeksionis dalam hal demokrasi, terlalu rumit serta sebab itu lamban serta mahal. Upaya kabinet Wilopo buat membentuk sebuah Panitia Pemilihan Umum Pusat gagal, sebab tidak tercapai kata sepakat antara rekan-rekannya dalam koalisi mengenani susunan panitia itu. Baru pada Desember 1953 terbentuk Panitia Pemilihan Indonesia.
Pada 1955, seperti pada 1952, pemilihan umum dianggap masyarakat pembaca surat Berita selaku salah satu jalan keluar dari situasi politik yang sangat memuaskan. Situasi politik ini tercermin pada krisis kabinet yang berulang-ulang, wewenang pemerintah yang mendapat tentangan terus-menerus dari pihak angkatan darat, korupsi, nepotisme politik, cekcok politik, diatas segalanya, pemerintah yang lumpuh menghadapi tugas-tugas berat hampir di semua bidang. Itulah sebabnya maka pemilihan umum menjadi tumpuan harapan.
Pemilu buat membentuk DPR berlangsung pada tanggal 29 September 1955 serta buat membentuk Konstituante berlangsung pada tanggal 15 Desember 1955 di bawah pemerintahan Kabinet Burhanudin Harapap serta Masyumi. Hasil pemilu buat parlemen (DPR) yang berlangsung paad tanggal 29 September 1955 baru diumumkan pada tanggal 1 Maret 1956, tetapi hampir semua partai sudah mengetahui gambaran hasilnya sebelum pengumuman itu disiarkan secara resmi. Ini disebabkan anggota Panitia Pemilihan Indonesia tidak berasal dari unsur pemerintah Saja melainkan juga unsur partai-partai politik peserta pemilu, organisasi pemilih serta utusan perorangan yang maju selaku calon legislatif yang melihat langsung proses perhitungan. Dengan demikian, para peserta pemilu dapat pula secara langsung mengevaluasi cara-cara kampanye mereka buat kemudian mengubah atau memperbaikinya pada pemilihan umum Konstituante.
Hasil pemilu parlemen 29 September 1955 :
Peringkat | Partai | Jumlah Suara | % |
1. | PNI | 8.434.653 | 22,3 |
2. | Masyumi | 7.903.886 | 20,9 |
3. | NU | 6.955.141 | 18,4 |
4. | PKI | 6.176.914 | 16,3 |
5. | PSII | 1.091.160 | 2,9 |
6. | Parkindo | 1.003.325 | 2,7 |
7. | Partai Katholik | 770.740 | 2,0 |
8. | PSI | 753.191 | 2,0 |
9. | IPKI | 541.306 | 1,4 |
10. | Perti | 483.014 | 1,3 |
Kontestan Lain | 3.762.969 | 10,0 | |
Jumlah | 37.785.299 | 100,0 |
Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan serta kejutan. Jumlah partai lebih bertambah banyak daripada berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya cuma dua puluh partai yang mendapat kursi. Akan tetapi, cuma empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi yaitu, Masyumi, PNI, NU serta PKI. Pemilihan umum itu tidak mengahasilkan penyelesaian buat kesulitan-kesulitan sistem parlementer serta oleh karenanya merupakan Langkah lebih lanjut dalam mendiskreditkan keseluruhan sistem itu.
Pemilihan umum 1955 memperlihatkan Indonesia menghadapi sejumlah persoalan khusus dalam upayanya menyesuaikan teknik pemilihan umum sesuai kebutuhannya. Hal penting berikutnya yang membuat pemilihan umum Indonesia 1955 berbeda dari pemilihan umum di kebanyakan negara barat ialah, besarnya perbedaan antara soal-soal nasional di satu sisi dengan dengan seruan-seruan kampanye tingkat desa di sisi lainnya, serta rendahnya tingkat kepekaan pemilih terhadap perkembangan politik tingkat nasional.
Berbeda dengan pembentukan kabinet pada masa-masa sebelumnya, Presiden Soekarno tidak menunjuk perseorangan menjadi formatur, tetapi menunjuk partai pemenang pemilu serta partai itulah yang bakal mengajukan calonnya kepada Presiden. Partai yang ditunjuk ialah PNI sebab partai ini memperoleh suara terbanyak dalam pemilu. PNI mengajukan Ali Sastroamidjojo serta Wilopo selaku formatur, tetapi Presiden Soekarno pada tanggal 8 Maret 1956 memilih Ali Sastroamidjojo.
Personalia kabinet diumumkan tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini disebut kabinet Ali II. Ini kbinet yaitu koalisi PNI, Masyumi, serta NU. Pada mulanya Presiden Soekarno tidak setuju dengan susunan kabinet sebab tidak memasukkan anggota PKI ke dalam kabinet. Presiden mencoba mendesakkan keinginannya kepada tokoh Masyumi (Sukiman) serta tokoh NU K.H Idham Chalid serta tokoh PNI serta PSII. Akan tetapi, semua tokoh itu memiliki pendapat yang sama, menolak mengikutsertakan PKI dalam kabinet. Kabinet Ali Sastroamidjojo merupakan kabinet koalisi di mana tiga partai besar, yaitu PNI, Masyumi serta NU memegang peran selain beberapa partai lainnya.
Parlemen ini bertahan selama empat tahun sebelum dibubarkan. Akan tetapi, baik DPR yang baru maupun pemerintahan yang baru tidak menunjukkan banyak wewenang, serta pada waktu itu cuma sedikit rakyat Indonesia yang berpikir Kalau parlemen atau pemerintah bakal berhasil. Dalam pidato pembukaannya di depan DPR, Soekarno mengutarakan harapannya bakal suatu bentuk demokrasi yang benar-benar bersifat Indonesia, demokrasi yang lebih di dasarkan atas mufakat daripada atas demokrasi secara barat yang bersifat memecah belah dengan persaingan antara pemerintah serta pihak oposisi di dalam parlemen.
Sukses paling mengesankan dari Kabinet Ali yaitu konferensi Asia Afrika pada bulan april. Bukan pernah sebelumnya perhatian kaum nasionalis Indonesia terhadap anti kolonialisme, persatuan revolusioner serta tujuan moral yang besar diperlihatkan dengan cara yang lebih atraktif. Keberhasilan Konferensi Asia Afrika tidak mengahasilkan suatu program aksi yang pasti, tapi mereka memang tidak berniat buat mengemban misi itu. Apa yang mereka susun yaitu pernyataan sederhana serta dipertimbangkan matang mengenai sentimen-sentimen bersama.
Masalah yang dihadapi Ali pada kabinetnya yang awal agak berbeda dengan suasana kabinetnya yang kedua. Hal itu sebab Ali bukan cuma menghadapi persoalan daerah, masalah kepartaian, juga munculnya Bung Karno selaku kekuatan politim baru yang mencerca banyaknya partai-partai. Seperti juga pada kabinet Ali I, Kabinet Ali II juga tidak dijatuhkan DPR, tetapi makin menghebatnya pergolakan daerah memaksa pemerintah mengungkapkan SOB serta tidak lama kemudian Ali menyerahkan mandatnya.
Sangat disayangkan, cerita sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan serta cuma menjadi catatan emas sejarah. Pemilu awal itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian yaitu berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden buat membubarkan Konstituante serta pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi serta mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang selaku kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas dikala pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) serta MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR serta DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR serta MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu yaitu terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR yaitu pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi serta sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal kian luas, rezim yang kemudian diketahui dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, selaku presiden seumur hidup. Ini yaitu satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan melalui pemilihan berkala.
Disadur dari: Tinjauan Kritis Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Pemilu 1955 Oleh: Esa Susanti Putri