Mgr. Albertus Sugiyapranata S.J.: Pendiri Gereja Katolik Indonesia

 
Meski mendapat pendidikan Barat serta beberapa kali menimba ilmu di Eropa, bukan berarti perlu menerapkannya secara zakelijk. Malah sebaliknya, Mgr. Albertus Sugiyapranata yaitu imam Katolik kesatu yang berani menghilangkan sifat kebarat-baratan dalam upacara gereja di Indonesia. ia pemula perubahan dengan maksud menyerasikan tradisi Barat serta tradisi Timur. Untuk gereja-gereja di Jawa, intrumen barat digantinya dengan gamelan.

Lahir di Solo pada 25 November 1896, Sugiyapranata menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Katolik Solo, kemudian di Muntilan. Sesudah itu, di tahun 1915, ia melanjutkan ke Sekolah Guru. Sempat menjadi guru selama satu tahun, ia kembali memperdalam ilmu teologinya dengan mengikuti pendidikan imamat, dari sinilah kegiatan di bidang keagamaan dimulai. Tiga tahun kemudian ia dikirim ke negeri Belanda buat memperdalam pengetahuan di bidang agama Kristen, bahasa latin, bahasa Yunani serta fi lsafat serta pulang dengan nama baru: Frater Soegijapranata.

Sekembalinya ke tanah air, Soegijapranata , bekerja selaku guru Ilmu Pasti, bahasa Jawa serta agama di bagian Sekolah Guru pada kolese di Muntilan. Di samping mengajar, kesehariannya diisi pula dengan mengampu media cetak berbahasa Jawa, Swara Tama. Melalui surat berita mingguan tersebut, ia banyak menulis tentang tari Jawa, pakaian adat Jawa, hubungan budaya Barat serta Timur, serta lain lain.

Baca Juga


Di tahun 1928 Soegijapranata memperoleh kesempatan sekali lagi buat mengikuti pelajaran teologi di negeri Belanda. ia juga mewakili frater-frater Indonesia menghadiri perayaan kepausan di Roma, Italia serta ditasbihkan selaku imam pada tahun 1931. Dua tahun di negeri orang, ia kembali ke Hindia Belanda serta diangkat menjadi Pastor Pembantu di Bintaran, kemudian menjadi Pastor Paroki. Pada 1938 ia diangkat menjadi penasihat Misi Jesus di pulau Jawa, lalu 1940 naik jabatan menjadi Vikaris Apostolik buat memangku jabatan keuskupan.

Pada masa pendudukan Jepang, ia menghadapi masa sulit. Berkuasanya orang-orang Nippon ini mengubah kebijakan baru di tanah air, salah satunya mengubah cara pengadaan misa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, serta sejumlah bangunan milik Gereja disita. ia menjadi pembela orang-orang Kristen dengan cara diplomasi. Kedudukannya selaku uskup agung membuat pemerintah Jepang masih menghargainya,
meskipun begitu usaha pun tidak selalu berhasil.

Soegijapranata kerap menggelar pertemuan buat membahas perlunya hierarki Katolik Roma di Indonesia hingga pada tahun 1959 Kardinal Grégoire-Pierre Agagianian mengunjungi Indonesia buat memeriksa persiapan Gereja. Pada bulan Mei 1960, Konferensi Wakil Gereja Indonesia (KWI) secara resmi mengajukan surat permohonan buat dibentuknya Gereja Katolik Indonesia. Di wilayah nusantara, kemudian dibentuk enam provinsi gerejawi, yaitu dua di pulau Jawa, satu di Sumatra, satu di Flores, satu di Sulawesi serta Maluku, serta satu di Kalimantan. Soegijapranata sendiri menjadi uskup agung di wilayah Semarang, ia diangkat pada tanggal 3 Januari 1961.

Setelah itu Soegijapranata sering bolak-balik Indonesia Eropa dalam urusan kegerejaan. Dalam Konsili Vatikan II, ia termasuk dalam salah satu dari enam uskup serta uskup agung dari Asia. Sepulangnya ke tanah air kondisi kesehatannya mulai menurun serta sempat dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi. Pada tanggal 30 Mei 1963, ia memutuskan berangkat ke Eropa buat menghadiri pemilihan Paus Paulus VI. Di sana, kondisi kesehatannya kembali menurun sehingga mengharuskannya menginap di Canisius Hospital Belanda sekitar sebulan. Namun, perawatan ini tidak berhasil, Soegijapranata meninggal pada tanggal 22 Juli 1963 di sebuah susteran di Steyl Belanda karna serangan jantung. Jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia serta dikebumikan di Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Dalam upacara pemakamannya ia dinyatakan selaku Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 26 Juli 1963. Di tahun 2012, cerita perjalanan uskup ini kemudian diabadikan dalam film berjudul “Soegija” produksi
Studio Audio-Visual Puskat Yogyakarta.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel