Tan Malaka: Merdeka Seratus Persen
Minggu, Agustus 18, 2019
Dia pejuang militan serta radikal yang punya peran besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia juga tokoh revolusioner yang legendaris. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Hindia [Indonesia] serta selalu terancam penahanan oleh penguasa Belanda maupun Inggris. Tanpa henti ia perjuangkan kemerdekaan. Dua puluh tahun sebelum Indonesia merdeka, ia sudah mengumandangkan sebuah negeri merdeka dalam tulisannya, “Naar de Republiek Indonesia”, menuju republik Indonesia [1925] serta dua tahun berikutnya memproklamirkan Partai Republik Indonesia [PARI]. Jauh sebelum Indonesia merdeka, ia sudah menyebut-nyebut bahkan berusaha mewujudkan kata “Republik Indonesia”.
Tokoh politik kontroversial dalam sejarah Indonesia modern ini bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka. Dia lahir di sedang lingkungan Minangkabau, dari pasangan Rasad Caniago serta Sinah Simabur. Dia masuk sekolah dasar di Suluki pada 1902 lalu melanjutkan ke Kweekschool [sekolah guru] di Fort de Kock, dekat Bukittinggi. Oleh seorang pengajar, G.H. Horensma, ia didesak buat melanjutkan pendidikan di negeri Belanda. Pada tahun 1912 ia berangkat ke Belanda buat melanjutkan sekolah di Rijks Kweekschool Haarlem Belanda.
Di Belanda, ia mengembangkan diri. Dia menonjol dalam ilmu pasti sehingga dipuji para gurunya, yang umumnya mengira orangorang Hindia Belanda tidak mampu paham soal ilmu pasti. Dia juga mengagumi kedisiplinan organisasi militer. Meski ia mendalami pendidikan guru, ia juga mendalami kemiliteran di Akademi Militer Breda, Dia membaca banyak buku kemiliteran. Bersamaan dengan Revolusi Rusia 1917 minatnya terhadap buah pikiran Marx serta Engels semakin besar. Dia kerap mengikuti mermacam pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam, juga diskusi terbuka antara Sneevliet serta Suwardi tentang “Kecenderungan Nasionalis serta Sosialis dalam Pergerakan Nasional Hindia” di Amsterdam pada 1919.
Di akhir tahun itu pula, Malaka kembali ke Hindia [Indonesia] serta menjadi guru di perkebunan Deli. Dia tidak bertahan lama karna tidak suka dengan ketimpangan sosial kolonial. Dia lalu menuju Semarang, bergabung dengan tokoh-tokoh kiri radikal, mendirikan sekolah rakyat yang kemudian popular, serta selekasnya bergabung dengan partai komunis, ia kemudian menjadi ketuanya pada 1921. Dia menjadi tokoh terpenting partai ini sejak kepergian Semaun ke Rusia. Dia mengembangkan cabang Partai ini di daerah serta mengecam pemerintahan kolonial yang menindas para buruh. Dia lalu ditangkap karna terlibat dalam aksi pemogokan para buruh perkebunan pada 1922. Malaka lalu mengajukan permohonan kepada pemerintah kolonial Belanda buat dibuang ke Belanda.
Jadilah ia dua kali mengunjungi Belanda, tetapi buat yang kedua ini ia tidak lama. Dia kemudian justru pergi ke Moskwa Rusia (1922). Di sana ia berkumpul dengan tokoh komunis internasional. Pada 1924 ia sudah menjadi duta Komintern [komunis internasional] Asia Pasifi k yang berkedudukan di Kanton China.
Semenjak itu, ia lalu lalang di pelbagai negara di Asia pasifik. Diburu intelijen Belanda hingga Inggris serta perlu menyamar menjadi orang lain dengan nama berbeda-beda, dari nama Cina hingga Arab. Pada 1924, ia menulis brosur “menuju republik Indonesia” yang baru bisa dicetak tahun 1925 di Cina. Buku ini dibaca kaum pergerakan di Hindia [Indonesia].
Saat bakal meletus pemberontakan komunis 1926, Malaka menolak keputusan rapat PKI di Prambanan. Dia mengungkap gerakan itu masih prematur serta ia terbukti benar. Gerakan revolusi itu gagal total. Hampir berbarengan dengan pemberontakan, ia menulis buku Massa Actie selaku pedoman buat melancarkan revolusi. Setelah itu, demi pergerakan kemerdekaan, ia mendirikan PARI di Singapura. Malaka terus berjuang dengan berpindah-pindah tempat dari Cina hingga Singapura. Petualangannya yang legendaries itu akhirnya direkam dalam sebuah novel laris bertajuk Spionnage-Dienst [Patjar Merah Indonesia] yang terbit di Medan pada 1938.
Pada 1942, berbarengan dengan kedatangan tentara Jepang, ia menelusup kembali ke tanah air serta tiba di Jakarta. Dia kemudian berada di Bayah Banten, diantara para Romusha, menulis buku Madilog, serta menyusun kekuatan bawah tanah. Dia mempunyai jaringan dengan pemuda Menteng 31 yang terlibat penjemputan SoekarnoHatta ke Rengasdengklok. Malaka juga terlibat penggerakan massa dalam rapat raksasa lapangan Ikada 19 September 1945.
Tan Malaka selekasnya membentuk front Persatuan Perjuangan di Purwakarta pada Januari 1946. Dia menentang perjanjian Linggajati serta Renville. Dalam front ini, Malaka mendesak buat meraih kemerdekaan seratus persen dari Belanda. Dia berjuang menentang perjanjian Linggajati serta Renville yang merugikan Indonesia. Dia sempat diamankan sebentar oleh pemerintah pada Maret 1946. Setelah itu, Dia menjadi anggota KNI [Komite Nasional Indonesia] serta pada 7 November 1947, ia mendirikan partai Murba [Musyawarah Rakyat Banyak]. Dia ikut bergerilya di masa peristiwa “madiun Affair” hingga pada Februari 1949, ia tewas tertembak di lereng gunung Wilis. Kuburannya tidak pernah dikenal dengan pasti.
Atas perjuangan serta jasa-jasanya yang luar biasa dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia di masa presiden Soekarno memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada Tan Malaka pada tahun 1963. Malaka mendapat gelar Pahlawan 24 tahun setelah kepergiannya yang masih misterius.
Tokoh politik kontroversial dalam sejarah Indonesia modern ini bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka. Dia lahir di sedang lingkungan Minangkabau, dari pasangan Rasad Caniago serta Sinah Simabur. Dia masuk sekolah dasar di Suluki pada 1902 lalu melanjutkan ke Kweekschool [sekolah guru] di Fort de Kock, dekat Bukittinggi. Oleh seorang pengajar, G.H. Horensma, ia didesak buat melanjutkan pendidikan di negeri Belanda. Pada tahun 1912 ia berangkat ke Belanda buat melanjutkan sekolah di Rijks Kweekschool Haarlem Belanda.
Di Belanda, ia mengembangkan diri. Dia menonjol dalam ilmu pasti sehingga dipuji para gurunya, yang umumnya mengira orangorang Hindia Belanda tidak mampu paham soal ilmu pasti. Dia juga mengagumi kedisiplinan organisasi militer. Meski ia mendalami pendidikan guru, ia juga mendalami kemiliteran di Akademi Militer Breda, Dia membaca banyak buku kemiliteran. Bersamaan dengan Revolusi Rusia 1917 minatnya terhadap buah pikiran Marx serta Engels semakin besar. Dia kerap mengikuti mermacam pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam, juga diskusi terbuka antara Sneevliet serta Suwardi tentang “Kecenderungan Nasionalis serta Sosialis dalam Pergerakan Nasional Hindia” di Amsterdam pada 1919.
Baca Juga
Di akhir tahun itu pula, Malaka kembali ke Hindia [Indonesia] serta menjadi guru di perkebunan Deli. Dia tidak bertahan lama karna tidak suka dengan ketimpangan sosial kolonial. Dia lalu menuju Semarang, bergabung dengan tokoh-tokoh kiri radikal, mendirikan sekolah rakyat yang kemudian popular, serta selekasnya bergabung dengan partai komunis, ia kemudian menjadi ketuanya pada 1921. Dia menjadi tokoh terpenting partai ini sejak kepergian Semaun ke Rusia. Dia mengembangkan cabang Partai ini di daerah serta mengecam pemerintahan kolonial yang menindas para buruh. Dia lalu ditangkap karna terlibat dalam aksi pemogokan para buruh perkebunan pada 1922. Malaka lalu mengajukan permohonan kepada pemerintah kolonial Belanda buat dibuang ke Belanda.
Jadilah ia dua kali mengunjungi Belanda, tetapi buat yang kedua ini ia tidak lama. Dia kemudian justru pergi ke Moskwa Rusia (1922). Di sana ia berkumpul dengan tokoh komunis internasional. Pada 1924 ia sudah menjadi duta Komintern [komunis internasional] Asia Pasifi k yang berkedudukan di Kanton China.
Semenjak itu, ia lalu lalang di pelbagai negara di Asia pasifik. Diburu intelijen Belanda hingga Inggris serta perlu menyamar menjadi orang lain dengan nama berbeda-beda, dari nama Cina hingga Arab. Pada 1924, ia menulis brosur “menuju republik Indonesia” yang baru bisa dicetak tahun 1925 di Cina. Buku ini dibaca kaum pergerakan di Hindia [Indonesia].
Saat bakal meletus pemberontakan komunis 1926, Malaka menolak keputusan rapat PKI di Prambanan. Dia mengungkap gerakan itu masih prematur serta ia terbukti benar. Gerakan revolusi itu gagal total. Hampir berbarengan dengan pemberontakan, ia menulis buku Massa Actie selaku pedoman buat melancarkan revolusi. Setelah itu, demi pergerakan kemerdekaan, ia mendirikan PARI di Singapura. Malaka terus berjuang dengan berpindah-pindah tempat dari Cina hingga Singapura. Petualangannya yang legendaries itu akhirnya direkam dalam sebuah novel laris bertajuk Spionnage-Dienst [Patjar Merah Indonesia] yang terbit di Medan pada 1938.
Pada 1942, berbarengan dengan kedatangan tentara Jepang, ia menelusup kembali ke tanah air serta tiba di Jakarta. Dia kemudian berada di Bayah Banten, diantara para Romusha, menulis buku Madilog, serta menyusun kekuatan bawah tanah. Dia mempunyai jaringan dengan pemuda Menteng 31 yang terlibat penjemputan SoekarnoHatta ke Rengasdengklok. Malaka juga terlibat penggerakan massa dalam rapat raksasa lapangan Ikada 19 September 1945.
Tan Malaka selekasnya membentuk front Persatuan Perjuangan di Purwakarta pada Januari 1946. Dia menentang perjanjian Linggajati serta Renville. Dalam front ini, Malaka mendesak buat meraih kemerdekaan seratus persen dari Belanda. Dia berjuang menentang perjanjian Linggajati serta Renville yang merugikan Indonesia. Dia sempat diamankan sebentar oleh pemerintah pada Maret 1946. Setelah itu, Dia menjadi anggota KNI [Komite Nasional Indonesia] serta pada 7 November 1947, ia mendirikan partai Murba [Musyawarah Rakyat Banyak]. Dia ikut bergerilya di masa peristiwa “madiun Affair” hingga pada Februari 1949, ia tewas tertembak di lereng gunung Wilis. Kuburannya tidak pernah dikenal dengan pasti.
Atas perjuangan serta jasa-jasanya yang luar biasa dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia di masa presiden Soekarno memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada Tan Malaka pada tahun 1963. Malaka mendapat gelar Pahlawan 24 tahun setelah kepergiannya yang masih misterius.