Sejarah Kerajaan Banjar
Minggu, Agustus 18, 2019
Banjar merupakan kerajaan yang berdiri pada tahun 1520, dengan ibu kota terakhir di Kayu Tangi yang diketahui ketika ini selaku Martapura, Kalimantan Selatan. Banjar dapat dikatakan selaku penerus dari kerajaan bercorak Hindu di pulau Kalimantan, yaitu Negara Daha, Kuripan atau Amuntai, Gagelang, Pudak Sategal, serta Pandan Arum.
Terbentuknya kerajaan Banjar tidak terlepas dari Negara Daha selaku kerajaan yang pernah berkuasa ketika itu. Raja Negara Daha, Raden Sukarama, mewasiatkan tahta kerajaan kepada cucunya yaitu Raden Samudera. Akan tetapi, anak Raden Sukarama, Pangeran Tumenggung, merebut tahta tersebut sehingga Raden Samudera melarikan diri serta bersembunyi di daerah hilir sungai Barito. Dalam pelariannya tersebut, Raden Samudera dilindungi oleh komunitas orang Melayu, yang selanjutnya mengangkat Raden Samudera selaku raja. Bagi Raden Samudera, hal ini merupakan upaya merebut kembali takhtanya di Negara Daha. Bagi komunitas Melayu, hal ini dilakukan supaya mereka tidak perlu membayar upeti kepada Negara Daha.
Untuk menggelar penyerangan terhadap Negara Daha, Patih Masih menganjurkan Raden Samudera meminta bantuan Kerajaan Demak. Sultan Demak menyanggupi permintaan tersebut dengan syarat kalau Raden Samudera beserta pengikutnya perlu memeluk agama Islam. Penyerangan pun dilakukan, diakhiri dengan kemenangan Raden Samudera. Pada tahun 1526, Raden Samudera memindahkan rakyat Negara Daha ke Kuin, Banjarmasin, selaku pusat pemerintahan serta mengukuhkan dirinya selaku penguasa Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah.
Sultan Suriansyah wafat pada tahun 1545. Kesultanan Banjar diteruskan sampai tahta ke-19. Penerus tahta Kesultanan Banjar secara berturut-turut ialah Sultan Rahmatullah (1545- 1570), Sultan Hidayatullah (1570-1595), Sultan Mustakinbillah (1595-1620), Sultan Inayatullah (1620-1637), Sultan Saidullah (1637-1642), Adipati Halid (1642-1660), Amirullah Bagus Kesuma (1660-1663), Sultan Agung (1663-1679), Sultan Tahlilullah (1679-1700), Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734), Sultan Tamjidullah (1734-1759), Sultan Aliuddin Aminullah (1759-1761), Pangeran Nata Dilaga atau Sultan Tahmidullah (1761-1801), Sultan Suleman Al Mutamidullah (1801-1825), Sultan Adam Al Wasyibillah (1825-1857), Sultan Tamjidillah (1857-1859), Pangeran Antasari atau Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukmina (1859-1862), serta Sultan Seman (1862-1905).
Kesultanan Banjar mempunyai pola lapisan masyarakat berdasarkan status sosial menurut keturunan. Tutus adalah sebutan bagi golongan keturunan raja, serta berhak buat memegang jabatan penting dalam kerajaan serta mempunyai wilayah kekuasaan. Gelar kebangsawanan bagi keturunan raja yang berkuasa secara berturut-turut ialah Pangeran/Ratu, Gusti, Antung/Raden, Nanang/Anang. Gelar kebangsawanan bagi keturunan raja yang tidak berkuasa secara berturut-turut ialah Pangeran/Ratu, Andin, Rama. Sedangkan jaba adalah golongan rakyat biasa. Jaba mempunyai kesempatan mendapatkan jabatan atau gelar dari sultan apabila dianggap berjasa atau mempunyai pengabdian terhadap kerajaan. Gelar tersebut dapat disandang seumur hidup, tetapi tidak dapat diwariskan. jika seorang lelaki jaba mau menikahi wanita tutus, maka diadakan suatu ritual penebusan yang disebut dengan manabus purih, dengan konsekuensi kalau wanita tutus ini kehilangan hak waris gelar buat anak-anaknya kelak.
Sistem pemerintahan Kesultanan Banjar masih mengikuti sistem pemerintahan pendahulunya, Negara Daha. Jabatan raja diturunkan kepada golongan tutus selaku keturunan atau pewaris yang sah, sedangkan jabatan tertinggi setelah raja, yaitu perdana menteri yang disebut dengan gelar mangkubumi, ditempati oleh golongan jaba yang mempunyai jasa besar terhadap kerajaan. Dalam menjalankan tugasnya, mangkubumi dibantu oleh bawahannya yaitu penganan, pengiwa, gumpiran, serta panumping yang mempunyai wewenang setara hakim serta jaksa. Di bawahnya ada jabatan mantri bumi , 40 mantri sikap, serta beberapa jabatan lain yang mempunyai kewenangan dalam lingkup yang lebih sempit seperti perdagangan, seni, keagamaan, serta logistik. Saudara raja diperbolehkan menjadi penguasa di daerah taklukkan dengan gelar adipati. Akan tetapi, kekuasaannya berada di bawah mangkubumi. Kesultanan Banjar tetap menggunakan pedoman hukum Kutara yang disusun oleh Aria Taranggana, mangkubumi Negara Daha.
Pengaruh agama Islam dalam Kesultanan Banjar sangat dominan serta tidak terlepas dari pengaruh Khatib Dayan dari Kesultanan Demak. Hal ini terbukti dari peninggalan Kesultanan Banjar berupa masjid yang mempunyai ragam arsitektur menyerupai masjid agung Demak dengan atap meru serta tiang guru. Ketiga masjid ini ialah masjid Kuin, masjid Jami, serta masjid Basirih. tidak cuma itu, terdapat Undang-Undang Sultan Adam yang semuanya didasarkan pada hukum Islam.
Masa kejayaan Kesultanan Banjar berada pada dekade awal abad ke-17. Adanya perang Makassar menyebabkan para pedagang dari Somba Opu, Kesultanan Gowa, pindah ke Banjarmasin sehingga menjadi bandar perdagangan besar. Komoditas perdagangan utamanya ialah lada hitam, madu, rotan, emas, intan, damar, serta kulit binatang. Pada masa ini pula, Kesultanan Banjar tidak lagi membayar upeti kepada Kesultanan Demak sejak diteruskan menjadi Kesultanan Pajang. Kesultanan Banjar juga Sudah berhasil memperluas wilayah dengan mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir, Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam-Asam, Kintap, serta Swarangan. Setelahnya, terjadi migrasi besar-besaran dari pulau Jawa yang disebabkan oleh agresi politik yang dilakukan oleh Sultan Agung. Hal ini menyebabkan pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Pada abad ke-18 terjadi perpindahan kekuasaan kepada dinasti Sultan Tamjidullah dengan mengangkat Pangeran Nata Dilaga selaku sultan. Hal ini menyebabkan perpecahan di dalam kerajaan. Pangeran Amir, putera Sultan Aliuddin Aminullah, meminta bantuan pamannya, Arung Tarawe, buat menyerang Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis. Untuk mempertahankan takhtanya, Pangeran Nata Dilaga meminta bantuan pada VOC. Pasukan orang Bugis ini berhasil ditumpas oleh VOC yang dipimpin oleh Kapten Hofman. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, dibuatlah suatu perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC dimana tanah yang dikuasai Kesultanan Banjar menjadi milik VOC meskipun raja tetap memegang tahta. Pada tahun 1826, perjanjian tersebut diperbarui berdasarkan perjanjian terdahulu. Perjanjian ini terdiri atas 28 pasal, antara lain ialah kalau Kesultanan Banjar cuma boleh mengadakan hubungan dengan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar menjadi lebih sempit, serta pengangkatan sultan serta mangkubumi perlu mendapat persetujuan Belanda.
Pada tahun 1857, Belanda secara sepihak mengangkat Sultan Tamjidillah selaku raja Kesultanan Banjar. Kerabat Kesultanan Banjar keberatan dengan hal tersebut karna Sultan Tamjidillah merupakan anak dari selir raja terdahulu sehingga dianggap tidak layak mewarisi tahta sementara Pangeran Hidayatullah selaku pewaris tahta yang sah masih hidup. Akibat kudeta ini, Sultan Tamjidillah melarikan diri sehingga kekosongan tahta diisi oleh residen Belanda, von Bertheim. Gesekan ini menimbulkan gerakan Muning, yang menjadi pemicu perang Banjar pada tahun 1859.
Pangeran Antasari diberi kepercayaan oleh Pangeran Hidayatullah buat menghimpun kekuatan mengusir Belanda dari Kesultanan Banjar, serta selaku penghubung antara kerajaan, pemimpin perlawanan, serta rakyat. Perlawanan demi perlawanan terjadi hingga akhirnya Pangeran Hidayatullah menyerah, kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Dengan demikian secara otomatis, Pangeran Antasari diangkat selaku pimpinan tertinggi perlawanan sekaligus sultan bagi Kesultanan Banjar. Pada tahun 1862, Pangeran Antasari dikabarkan meninggal dunia karna penyakit cacar serta dimakamkan di desa Bayan Bengkok, daerah hulu sungai Teweh. Penerus tahta ialah Sultan Seman yang melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Akan tetapi pada tahun 1905, Sultan Seman meninggal dunia dalam suatu pertempuran sehingga berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar selama 379 tahun. Belanda memutuskan buat memasukkan Kesultanan Banjar beserta seluruh daerah kekuasaannya ke dalam Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia
Penulis: Binuko Amarseto
Terbentuknya kerajaan Banjar tidak terlepas dari Negara Daha selaku kerajaan yang pernah berkuasa ketika itu. Raja Negara Daha, Raden Sukarama, mewasiatkan tahta kerajaan kepada cucunya yaitu Raden Samudera. Akan tetapi, anak Raden Sukarama, Pangeran Tumenggung, merebut tahta tersebut sehingga Raden Samudera melarikan diri serta bersembunyi di daerah hilir sungai Barito. Dalam pelariannya tersebut, Raden Samudera dilindungi oleh komunitas orang Melayu, yang selanjutnya mengangkat Raden Samudera selaku raja. Bagi Raden Samudera, hal ini merupakan upaya merebut kembali takhtanya di Negara Daha. Bagi komunitas Melayu, hal ini dilakukan supaya mereka tidak perlu membayar upeti kepada Negara Daha.
Untuk menggelar penyerangan terhadap Negara Daha, Patih Masih menganjurkan Raden Samudera meminta bantuan Kerajaan Demak. Sultan Demak menyanggupi permintaan tersebut dengan syarat kalau Raden Samudera beserta pengikutnya perlu memeluk agama Islam. Penyerangan pun dilakukan, diakhiri dengan kemenangan Raden Samudera. Pada tahun 1526, Raden Samudera memindahkan rakyat Negara Daha ke Kuin, Banjarmasin, selaku pusat pemerintahan serta mengukuhkan dirinya selaku penguasa Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah.
Baca Juga
Sultan Suriansyah wafat pada tahun 1545. Kesultanan Banjar diteruskan sampai tahta ke-19. Penerus tahta Kesultanan Banjar secara berturut-turut ialah Sultan Rahmatullah (1545- 1570), Sultan Hidayatullah (1570-1595), Sultan Mustakinbillah (1595-1620), Sultan Inayatullah (1620-1637), Sultan Saidullah (1637-1642), Adipati Halid (1642-1660), Amirullah Bagus Kesuma (1660-1663), Sultan Agung (1663-1679), Sultan Tahlilullah (1679-1700), Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning (1700-1734), Sultan Tamjidullah (1734-1759), Sultan Aliuddin Aminullah (1759-1761), Pangeran Nata Dilaga atau Sultan Tahmidullah (1761-1801), Sultan Suleman Al Mutamidullah (1801-1825), Sultan Adam Al Wasyibillah (1825-1857), Sultan Tamjidillah (1857-1859), Pangeran Antasari atau Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukmina (1859-1862), serta Sultan Seman (1862-1905).
Kesultanan Banjar mempunyai pola lapisan masyarakat berdasarkan status sosial menurut keturunan. Tutus adalah sebutan bagi golongan keturunan raja, serta berhak buat memegang jabatan penting dalam kerajaan serta mempunyai wilayah kekuasaan. Gelar kebangsawanan bagi keturunan raja yang berkuasa secara berturut-turut ialah Pangeran/Ratu, Gusti, Antung/Raden, Nanang/Anang. Gelar kebangsawanan bagi keturunan raja yang tidak berkuasa secara berturut-turut ialah Pangeran/Ratu, Andin, Rama. Sedangkan jaba adalah golongan rakyat biasa. Jaba mempunyai kesempatan mendapatkan jabatan atau gelar dari sultan apabila dianggap berjasa atau mempunyai pengabdian terhadap kerajaan. Gelar tersebut dapat disandang seumur hidup, tetapi tidak dapat diwariskan. jika seorang lelaki jaba mau menikahi wanita tutus, maka diadakan suatu ritual penebusan yang disebut dengan manabus purih, dengan konsekuensi kalau wanita tutus ini kehilangan hak waris gelar buat anak-anaknya kelak.
Sistem pemerintahan Kesultanan Banjar masih mengikuti sistem pemerintahan pendahulunya, Negara Daha. Jabatan raja diturunkan kepada golongan tutus selaku keturunan atau pewaris yang sah, sedangkan jabatan tertinggi setelah raja, yaitu perdana menteri yang disebut dengan gelar mangkubumi, ditempati oleh golongan jaba yang mempunyai jasa besar terhadap kerajaan. Dalam menjalankan tugasnya, mangkubumi dibantu oleh bawahannya yaitu penganan, pengiwa, gumpiran, serta panumping yang mempunyai wewenang setara hakim serta jaksa. Di bawahnya ada jabatan mantri bumi , 40 mantri sikap, serta beberapa jabatan lain yang mempunyai kewenangan dalam lingkup yang lebih sempit seperti perdagangan, seni, keagamaan, serta logistik. Saudara raja diperbolehkan menjadi penguasa di daerah taklukkan dengan gelar adipati. Akan tetapi, kekuasaannya berada di bawah mangkubumi. Kesultanan Banjar tetap menggunakan pedoman hukum Kutara yang disusun oleh Aria Taranggana, mangkubumi Negara Daha.
Pengaruh agama Islam dalam Kesultanan Banjar sangat dominan serta tidak terlepas dari pengaruh Khatib Dayan dari Kesultanan Demak. Hal ini terbukti dari peninggalan Kesultanan Banjar berupa masjid yang mempunyai ragam arsitektur menyerupai masjid agung Demak dengan atap meru serta tiang guru. Ketiga masjid ini ialah masjid Kuin, masjid Jami, serta masjid Basirih. tidak cuma itu, terdapat Undang-Undang Sultan Adam yang semuanya didasarkan pada hukum Islam.
Masa kejayaan Kesultanan Banjar berada pada dekade awal abad ke-17. Adanya perang Makassar menyebabkan para pedagang dari Somba Opu, Kesultanan Gowa, pindah ke Banjarmasin sehingga menjadi bandar perdagangan besar. Komoditas perdagangan utamanya ialah lada hitam, madu, rotan, emas, intan, damar, serta kulit binatang. Pada masa ini pula, Kesultanan Banjar tidak lagi membayar upeti kepada Kesultanan Demak sejak diteruskan menjadi Kesultanan Pajang. Kesultanan Banjar juga Sudah berhasil memperluas wilayah dengan mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir, Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam-Asam, Kintap, serta Swarangan. Setelahnya, terjadi migrasi besar-besaran dari pulau Jawa yang disebabkan oleh agresi politik yang dilakukan oleh Sultan Agung. Hal ini menyebabkan pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Pada abad ke-18 terjadi perpindahan kekuasaan kepada dinasti Sultan Tamjidullah dengan mengangkat Pangeran Nata Dilaga selaku sultan. Hal ini menyebabkan perpecahan di dalam kerajaan. Pangeran Amir, putera Sultan Aliuddin Aminullah, meminta bantuan pamannya, Arung Tarawe, buat menyerang Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis. Untuk mempertahankan takhtanya, Pangeran Nata Dilaga meminta bantuan pada VOC. Pasukan orang Bugis ini berhasil ditumpas oleh VOC yang dipimpin oleh Kapten Hofman. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, dibuatlah suatu perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC dimana tanah yang dikuasai Kesultanan Banjar menjadi milik VOC meskipun raja tetap memegang tahta. Pada tahun 1826, perjanjian tersebut diperbarui berdasarkan perjanjian terdahulu. Perjanjian ini terdiri atas 28 pasal, antara lain ialah kalau Kesultanan Banjar cuma boleh mengadakan hubungan dengan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar menjadi lebih sempit, serta pengangkatan sultan serta mangkubumi perlu mendapat persetujuan Belanda.
Pada tahun 1857, Belanda secara sepihak mengangkat Sultan Tamjidillah selaku raja Kesultanan Banjar. Kerabat Kesultanan Banjar keberatan dengan hal tersebut karna Sultan Tamjidillah merupakan anak dari selir raja terdahulu sehingga dianggap tidak layak mewarisi tahta sementara Pangeran Hidayatullah selaku pewaris tahta yang sah masih hidup. Akibat kudeta ini, Sultan Tamjidillah melarikan diri sehingga kekosongan tahta diisi oleh residen Belanda, von Bertheim. Gesekan ini menimbulkan gerakan Muning, yang menjadi pemicu perang Banjar pada tahun 1859.
Pangeran Antasari diberi kepercayaan oleh Pangeran Hidayatullah buat menghimpun kekuatan mengusir Belanda dari Kesultanan Banjar, serta selaku penghubung antara kerajaan, pemimpin perlawanan, serta rakyat. Perlawanan demi perlawanan terjadi hingga akhirnya Pangeran Hidayatullah menyerah, kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Dengan demikian secara otomatis, Pangeran Antasari diangkat selaku pimpinan tertinggi perlawanan sekaligus sultan bagi Kesultanan Banjar. Pada tahun 1862, Pangeran Antasari dikabarkan meninggal dunia karna penyakit cacar serta dimakamkan di desa Bayan Bengkok, daerah hulu sungai Teweh. Penerus tahta ialah Sultan Seman yang melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Akan tetapi pada tahun 1905, Sultan Seman meninggal dunia dalam suatu pertempuran sehingga berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar selama 379 tahun. Belanda memutuskan buat memasukkan Kesultanan Banjar beserta seluruh daerah kekuasaannya ke dalam Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia
Penulis: Binuko Amarseto