Penjelasan Lengkap Peristiwa 17 Oktober 1952
Sabtu, Agustus 10, 2019
A. Latar Belakang Peristiwa
Paper Sejarah Militer Indonesia Peristiwa 17 Oktober 1952
Oleh:
Dian Vinnie Fabyola
Katri Adiningtyas
Noor Fatia Lastika Sari
Novia Osian Ayu Pramita
Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan salah satu peristiwa yang menyertakan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), serta masyarakat sipil. Peristiwa ini berawal dari keadaan labil Indonesia yang baru tujuh tahun merdeka sebab masih menggunakan sistem demokrasi liberal model Eropa (Belanda). Keadaan ini diperparah dengan buruknya kondisi sosial-ekonomi, merebaknya praktik korupsi di pemerintahan, serta pembebasan Irian Barat yang terus tertunda. Akhirnya, hal tersebut terakumulasi serta berujung pada pertentangan serta konflik internal antar aparatur pemerintahan Indonesia.
source: kompas.com
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikala itu terdiri atas pejuang-pejuang dari masa Perang Kemerdekaan. Melalui kebijakan Nederlanse Militaire Missie (NMM) dalam kabinet Perdana Menteri Wilopo, mutu teknis militer TNI bakal ditingkatkan, kemudian mereka juga bakal diikat oleh disiplin yang melembaga oleh Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) serta Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Angkatan perang tersebut diharapkan dapat berada di tingkatan yang sama dengan partai-partai politik di pemerintahan.
Hal tersebut memancing kegelisahan dari partai-partai politik. Mereka menganggap keberadaan Angkatan Perang kelak dapat menimbulkan persaingan sosial-politik antar aparatur pemerintah. Internal Angkatan Darat (AD) pun merasa tidak siap, apalagi terdapat isu kalau bakal dilangsungkan demobilisasi atau dipensiunkannya ex-PETA secara besar-besaran. Upaya profesionalisme ini ditolak serta oposisi didukung oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) serta Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tanggal 13 Juli 1952, mantan tentara PETA bernama Bambang Supeno melayangkan surat kepada Perdana Menteri Wilopo, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, serta Parlemen. Sebelumnya, Supeno menjabat selaku ketua Akademi Militer Candradimuka di Bandung yang ditutup oleh Nasution dengan alasan penghematan anggaran. Sebagai counter-act dari tindakan Nasution tersebut, muncul keinginan Supeno buat mengajukan penggantian Nasution selaku KSAD, serta mencari dukungan bagi dirinya di beberapa daerah di Indonesia. Surat tersebut berisikan pernyataan Supeno yang Sudah hilang kepercayaan kepada atasannya, yaitu A.H. Nasution. Ia juga meminta parlemen buat mengadakan perbaikan pimpinan atau reorganisasi Kementrian Pertahanan serta Angkatan Perang.
Menanggapi surat Supeno, KSAP mengirim surat desakan kepada pemerintah buat menindaklanjuti surat Supeno sesuai dengan prosedur militer sebab Supeno dianggap melanggar disiplin. KSAP menginginkan Supeno buat dibebastugaskan lewat Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, keinginan Supeno kelihatannya didukung oleh Presiden Soekarno. Indikasi dukungan tersebut terlihat pada dikala Presiden Soekarno menolak pengajuan pembebastugasan Supeno oleh Hamengkubuwono IX.
Konflik Internal TNI AD ini kemudian menjadi perhatian parlemen setelah “Surat Kolonel Bambang Supeno”, sebagaimana surat tersebut disebut oleh A.H. Nasution, dimuat di media pers serta sampai ke DPRS sehingga menimbulkan perdebatan sengit di DPRS serta berujung pada sidang-sidang yang memunculkan mosi-mosi dari mermacam pihak. Pada tanggal 28 September 1952, keluar mosi tidak percaya dari Zainul Baharuddin serta Ir. Sakirman (PKI, Partai Murba, serta Partai Buruh) kepada parlemen yang menuntut reformasi serta reorganisasi pimpinan Kementrian Pertahanan serta TNI AD atas ketidakmampuan Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan konflik internal TNI AD, serta membentuk komisi di parlemen buat menyelidiki penyelewengan-penyelewengan administratif serta keuangan dalam Kementrian Pertahanan serta Angkatan Perang.
Pada tanggal 10 Oktober 1952 dilangsungkan Rapat Kolegial atas usulan Kolonel Djatikusumo. Dalam rapat tersebut, dibicarakan mengenai perdebatan di DPRS serta mosi yang diajukan pada Kementrian Pertahanan. Mereka sepakat buat terus memantau perdebatan di DPRS serta menunggu perkembangan apakah bakal muncul mosi-mosi lain.
Tak lama setelahnya, pada tanggal 13 Oktober 1952 muncul mosi dari I.J. Kasimo serta Moh. Natsir (Partai Katolik serta Masyumi) buat menyudahi program NMM serta membentuk komisi penyelidik masalah yang dikemukakan di mosi Baharuddin sebelumnya dengan anggota dari parlemen serta kabinet. Lalu pada tanggal 14 Oktober 1952 muncul mosi lain dari Manai Sophiaan, Arudji, serta Idham Chalid (NU serta PSII) yang berisikan tentang peninjauan kembali pimpinan TNI AD.
Kemunculan dua mosi lainnya inilah yang menjadi persoalan sebab DPRS dinilai terlalu mencampuri konflik internal TNI AD serta intervensi tersebut dirasa dapat menimbulkan krisis di pemerintahan sebab melanggar hak prerogatif TNI AD. Mosi Baharuddin ditolak, sementara mosi Kasimo dianggap lemah, serta mosi Sophiaan dipertahankan setelah memenangkan 91 suara melawan 54 suara yang tidak menyetujui.
Pasca disetujuinya mosi Sophiaan pada tanggal 16 Oktober 1952, Golongan Elang, yaitu golongan paling keras di kalangan perwira AD menggerakkan massa sebanyak 30.000 orang buat bergerak ke Parlemen, lalu ke Istana Negara buat menuntut pembubaran parlemen serta penyelenggaraan pemilihan umum. Golongan Elang merupakan golongan perwira yang menginginkan dilibatkannya militer dalam pengambilan keputusan politik, suatu keinginan yang ditahan oleh Simatupang serta Nasution selaku KSAP serta KSAD guna mencegah terjadinya kudeta.
Meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952
PNI merasa tidak senang terhadap setiap usaha buat mengurangi birokrasi, sedangkan pengurangan-pengurangan yang direncanakan di kalangan militer menimbulkan konflik yang gawat dalam tubuh TNI AD. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, A.H. Nasution, T.B. Simatupang, serta sebagian pendukung terdekat mereka merupakan orang non-partai. Para tokoh di atas memiliki suatu rencana sentralisasi serta demobilisasi buat mengurangi jumlah anggota tentara dari 200.000 menjadi 100.000 orang.
Usulan ini mengadu domba kelompok pusat dengan para panglima tentara daerah yang bersimpati kepada Soekarno. Kritik terhadap rencana tersebut mengungkap kalau para petinggi TNI ini menginginkan suatu organisasi militer yang cuma setia kepadanya serta kemudian dapat melancarkan suatu kudeta.
Para panglima daerah berusaha menentang usaha tersebut. Mereka didukung oleh sekutu-sekutu politik mereka yang ada di Jakarta. Di DPRS sendiri, muncul tuntutan agar kepemimpinan tentara pusat dibubarkan serta Kementrian Pertahanan direorganisasikan selaku tuntutan tandingan yang diajukan pihak militer. Menghadapi tantangan ini, maka kelompok tentara pusat mengadakan unjuk kekuatan di depan Istana Negara. Pada tanggal 17 Oktober 1952, mereka membawa tank-tank beserta artileri militer serta demonstran yang berjumlah sekitar 30.000. Demonstrasi ini bergerak menuju depan Istana Negara, menuntut pembubaran parlemen setelah sebelumnya mampir di Gedung Parlemen serta menyelenggarakan sejumlah tindakan anarkis dengan mengacak-acak isi gedung tersebut. Menanggapi hal ini, Soekarno berbicara kepada massa yang berkerumun.
Soekarno menjelaskan kalau parlemen tidak dapat begitu Sahaja dibubarkan sebab dirinya bukanlah seorang diktator yang dapat bebas menyelenggarakan apa Sahaja sebab ia butuh pertimbangan, serta Jika ia menuruti begitu Sahaja maka bakal tidak sesuai dengan ideologi negara. Presiden menolak desakan itu serta berkata bakal menyelidiki lebih dahulu keinginan rakyat di luar Jakarta serta bakal mendesak pemerintah agar mempercepat pemilu. Namun, presiden mengungkap menolak pembubaran DPRS sebab ia bukan diktator. Dikatakannya pula kalau para demonstran cuma merupakan sebagian dari rakyat Jakarta yang tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia. Lalu mengenai pemilu, presiden setuju kalau pemilu bakal diadakan secepatnya. Presiden lalu memerintahkan masa buat membubarkan diri.
Selesai menghadapi para demonstran, Soekarno menerima delegasi tentara yang terdiri dari golongan yang loyal tehadap pimpinan TNI yang diantaranya ialah T.B. Simatupang, Kolonel Nasution, Letkol Soetoko, Kolonel Alex Kawilarang, Kolonel Gatot Subroto serta beberapa Perwira TNI AD. Pada dikala itu, perwira-perwira senior Sudah mendapat izin dari Perdana Menteri serta Menteri Pertahanan buat menyampaikan pendapat mereka kepada Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Dalam pertemuan tersebut, Golongan Elang yang paling keras di antara perwira-perwira menuntut agar Angkatan Darat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan politik. Dalih mereka ialah sebab kemerdekaan sebagian besar dicapai berkat perjuangan mereka sendiri, maka mereka berhak buat ikut menentukan nasib negara di bidang politik.
Delegasi TNI antara lain mengungkap kalau DPRS yang ada tidaklah representatif serta merupakan sumber ketidakstabilan politik sehingga menyebabkan kabinet-kabinet tidak dapat melaksanakan program-programnya dengan tepat waktu. tidak cuma itu, terkait intervensi yang dilakukan oleh DPRS terhadap kebijakan TNI amatlah membahayakan negara. Karena itu dinyatakan oleh mereka, Presiden agar selekasnya mengatasi “jalan buntu” di parlemen dengan membubarkan parlemen serta membentuk kembali secepat boleh menjadi sesuai keinginan rakyat. Oleh sebab itu, pimpinan Angkatan Perang mendesak kepala negara buat membubarkan DPRS serta membentuk DPR baru. Pernyataan itu ditandatangani oleh KSAD, para Panglima Teritorium, asisten-asisten KSAD serta inspektur-inspektur kesenjataan/jawatan sebanyak 16 orang perwira menengah.
Soetoko yang bertindak selaku juru bicara mengungkap kepada Presiden kalau parlemen yang sekarang bertanggung jawab terhadap keadaan negara yang tidak stabil sebab parlemen tidak mengijinkan kabinet-kabinet buat bekerja cukup lama dalam menyusun kebijaksanaan serta melaksanakannya. Ia juga mengungkap kalau parlemen yang ada tidaklah mewakili rakyat sebab angggota-anggotanya tidak dipilih serta sebagian orang-orang yang berada di parlemen pernah bekerjasama dengan Belanda di dikala TNI tengah berjuang buat kemerdekaan nasional serta sebab itulah ia menjelaskan kalau orang-orang seperti itu tidak seharusnya diberi kekuasaan serta juga tidak berhak buat mencela serta menyerang tentara.
Setelah perwira-perwira tinggi tersebut meninggalkan istana, Presiden serta tokoh-tokoh politik yang hadir memutuskan buat mereseskan parlemen. Pada sore harinya tentara memutuskan jaringan telekomunikasi serta melarang terbitnya beberapa surat kabar. Enam tokoh politik ditangkap, jam malam diberlakukan, serta pertemuan yang dihadiri lebih dari lima orang dilarang. Namun, setelah beberapa hari kemudian orang-orang sipil yang ditangkap itu dibebaskan kembali serta semua pembatasan dicabut.
C. Pasca Peristiwa 17 Oktober 1952: Kejatuhan Kabinet serta Pengunduran Diri
Implikasi yang terlihat jelas dari peristiwa ini ialah terjadinya perpecahan dalam tubuh TNI AD, sehingga kemudian timbullah kelompok pro 17 Oktober serta anti 17 Oktober. Setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober banyak muncul penafsiran terhadap peristiwa tersebut. Para politisi sipil menganggap kalau peristiwa itu merupakan sebuah ”kudeta yang gagal”. Sedangkan Presiden Soekarno serta Nasution sendiri berkata kalau peristiwa 17 Oktober selaku suatu ”peristiwa setengah kudeta” atau half-coup.
Peristiwa 17 Oktober 1952 mengakibatkan banyak hal dalam mermacam sektor. Akibat terbesar dirasakan secara langsung oleh Angkatan Darat Republik Indonesia dengan adanya perpecahan yang membutuhkan waktu beberapa tahun buat mengembalikan persatuan di tubuh Angkatan Darat Republik Indonesia.
Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Jenderal Mayor T.B. Simatupang diberhentikan serta dihapuskan jabatannya selaku Kepala Staf Angkatan Perang. Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution pun mengambil sikap dengan pengunduran dirinya selaku bentuk pertanggungjawabannya atas terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Posisi A.H. Nasution kemudian digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng.
Para perwira yang tidak senang dengan Nasution menyelenggarakan tindakan anti Nasution dengan melancarkan aksi anti 17 Oktober. Padahal petisi yang disampaikan para pemimpin Angkatan Darat sama sekali tidak menunjukkan sikap yang memusuhi Presiden Soekarno, sekaligus juga tidak menginginkan jatuhnya Kabinet Wilopo. Namun, gerakan yang mereka lakukan ternyata tidak mendapatkan dukungan yang cukup, bahkan Presiden Soekarno berkata kalau bakal ada aksi balasan terhadap para “pembaharu dalam tentara” itu, serta ia memastikan bakal menepati janjinya tersebut.
Perpecahan serta timbulnya kubu-kubu dalam Angkatan Darat pun tidak dapat dielakkan, yaitu dikala muncul kubu pro serta kontra. Selama beberapa waktu, terdapat suasana saling menentang antara yang pro serta yang anti gerakan 17 Oktober. Pendekatan baru terjadi antara Masyumi serta PNI menghadapi PSI yang dikala perdebatan berlangsung berpihak kepada golongan 17 Oktober.
Pada tanggal 5 Desember 1952, secara resmi A.H. Nasution diberhentikan selaku KSAD . tidak cuma itu Perdana Menteri juga memberhentikan Letnan Kolonel Sutoko serta Letnan Kolonel S. Parman dari segala jabatan mereka. Kemudian pada tanggal 16 Desember 1952, pemerintah mengangkat Kolonel Bambang Sugeng selaku KSAD menggantikan kedudukan Nasution.
Walaupun begitu, kebijakan yang diambil Perdana Menteri dalam menghadapi permasalahan tersebut kurang mendapat persetujuan dari partai-partai pendukung kabinetnya. Dalam kongres partai di Surabaya pada bulan Desember 1952, PNI mengungkap kalau peristiwa 17 Oktober merupakan “pemerkosaan demokrasi”. Mereka kemudian menuntut agar pemerintah dapat menyelesaikan masalah itu secepatnya, dengan pengertian kalau cara penyelesainnya perlu mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno.
Akan tetapi Perdana Menteri dalam menyelesaikan permasalahan peristiwa 17 Oktober seperti yang dijelaskan dalam rapat tertutup parlemen serta kepada para panglima dijelaskan kalau Perdana Menteri cuma bersedia menjalankan kebijakan selaku berikut: (1) Penggantian pimpinan Angkatan Darat yang secara formal serta obyektif dianggap bertanggungjawab atas peristiwa tersebut; (2) Penggantian beberapa pejabat dalam Kementrian Pertahanan; (3) Reorganisasi lewat Undang-Undang Pokok Pertahanan yang selekasnya dibuat; (4) Membuka parlemen kembali setelah direseskan beberapa waktu sementara menunggu keadaan kembali tertib; (5) Pelanggaran-pelanggaran yang bersifat criminal, seperti pengerusakan-pengerusakan dalam gedung parlemen, bakal diusut oleh Jaksa Agung; (6) Pertikaian dalam kalangan Angkatan Darat pada pokoknya juga cuma dapat diselesaikan oleh internal Angkatan Darat sendiri. Maka dari itu kemudian, para Panglima Angkatan Darat dikumpulkan di Jakarta buat membicarakan permasalahan tersebut serta hasilnya bakal diindahkan oleh Perdana Menteri dengan sungguh-sungguh.
Tindakan pemerintah atas permasalahan tersebut ialah diterbitkannya Surat Keterangan pada tanggal 22 November 1952 yang mengungkap kalau pada tanggal 17 Oktober 1952 tidak terjadi kudeta atau percobaan kudeta apapun. Pemerintah tidak dapat mewujudkan persatuan di lingkungan Angkatan Perang, tetapi cuma berhasil mengusahakan Angkatan Perang kembali kepada tugasnya sehari-hari . Dapat dikatakan pula peristiwa ini mulai menggoyahkan kabinet pada masa itu.
Pejabat Panglima TT V/Brawijaya, Letnan Kolonel dr. Suwondo mendukung sikap pimpinan Angkatan Darat serta mengajukan pengunduran dirinya. Sikap ini ditentang oleh salah seorang komandan resimennya, yakni Letnan Kolonen Sudirman, Pengunduran diri Letnan Kolonel dr. Suwondo ditindaklanjuti dengan penempatan Sudirman selaku pejabat panglima.
Peristiwa serupa terjadi pula di lingkungan TT VII/Sulawesi. Kepala Staff TT VII Letnan Kolonel J.F Warrouw mengambil alih pimpinan dari tangan panglimanya, Kolonel Gatot Subroto, yang mendukung peristiwa 17 Oktober 1952. Pengambilalihan jabatan terjadi pula di TT II/Sriwijaya dari Pejabat Panglima Letnan Kolonel Kosasih ke tangan Letnan Kolonel Kretarto. Namun, pemerintah mengambil tindakan lain, yakni mengangkat Kolonel Bambang Utoyo yang sudah dipensiunkan pada September 1952 dengan menjabat selaku Panglima TT II yang baru.
Pada akhirnya, penyelesaian yang diupayakan pemerintah mengenai masalah 17 Oktober 1952 tidak memuaskan semua golongan. Namun, Perdana Menteri tetap pada pendiriannya yang didasarkan atas pertimbangan kalau negara kita yang masih muda ini baru mulai merintis pembangunan di segala bidang, termasuk bidang pertahanan. Perintisan Indonesia selaku “negara muda” tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik Jika angkatan perangnya terpecah-belah. Sementara itu, pemerintah terus didesak oleh mermacam partai serta golongan dalam masyarakat yang merasa tidak puas dengan cara penyelesaian peristiwa 17 Oktober.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX turut mengundurkan diri selaku Menteri Pertahanan pada bulan Januari 1953, disusul oleh Sekjen Pertahanan Ali Boediardjo pada bulan Maret serta oleh T.B Simatupang bulan November dikala jabatannya selaku Kepala Staf Angkatan Perang dihapus. Kekuasaan pimpinan pusat TNI Sudah dipatahkan, anggaran belanja tentara pun dikurangi.
Agar perpecahan di Angkatan Darat dapat diselesaikan, maka dilaksanakanlah musyawarah antara golongan pro 17 Oktober dengan golongan anti 17 Oktober. Pertemuan ini dihadiri oleh 29 orang perwira senior Angkatan Darat. Yogyakarta menjadi tempat dilaksanakannya musyawarah antargolongan ini, dari tanggal 21-25 Februari 1955. Pertemuan yang disebut Rapat Collegiaal (Raco) ini membahas tiga masalah pokok, yaitu :
1. Keutuhan serta persatuan Angkatan Darat;
2. Penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952;
3. Pembangunan Angkatan Darat.
Dalam pertemuan tersebut dihasilkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia yang juga disebut Piagam Yogyakarta. Dengan adanya penandatanganan piagam tersebut oleh 29 Perwira Senior Angkatan Darat, maka Peristiwa 17 Oktober 1952 dianggap sudah selesai. Namun, pelaksanaan piagam tersebut tidak dapat berjalan dengan baik, sebab setelah berakhirnya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, KSAD Kolonel Bambang Sugeng meletakkan jabatannya sebab merasa tidak mampu melaksanakan isi Piagam Yogyakarta.
Pemerintah kemudian memutuskan buat mengangkat Kolonel Bambang Utojo, Panglima Tentara serta Territorium II/Sriwijaya selaku KSAD. Pengangkatan ini menimbulkan respon dari Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis serta kalangan Angkatan Darat sendiri. Upacara pelantikan KSAD pada tanggal 27 Juni 1955 diboikot oleh para perwira senior Angkatan Darat serta Kolonel Zulkifli Lubis sendiri menolak buat menyelenggarakan serah terima dengan Bambang Utoyo, bahkan KSAD yang baru ini tidak diijinkan buat memasuki Markas Besar Angkatan Darat (Mabes AD).
Adanya kekacauan ini mengakibatkan Ketua Seksi Pertahanan dalam Parlemen, Zainal Baharuddin, dengan dukungan B.M. Diah, Margono Djojohadikusumo, Mr. T.M. Hassan, serta Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri mengundurkan diri dari jabatannya. Hal ini sempat membuat Pemerintahan Indonesia menjadi kacau.
Paper Sejarah Militer Indonesia Peristiwa 17 Oktober 1952
Oleh:
Dian Vinnie Fabyola
Katri Adiningtyas
Noor Fatia Lastika Sari
Novia Osian Ayu Pramita