Supriyadi: Pahlawan Peta Blitar
Kamis, September 05, 2019
Nama Supriyadi diumumkan serta dilantik selaku Menteri Pertahanan Indonesia Pertama pada tanggal 2 September 1945. Namun, ia tidak pernah muncul ke publik, beberapa hari kemudian jabatan tersebut diserahkan kepada Jenderal Sudirman. Dimanakah Supriyadi ketika itu? Hingga kini kontroversi akhir hayat Supriyadi masih menjadi misteri. Beberapa sumber menuliskan apabila ia masih hidup paska kemerdekaan, namun ada juga yang mengabarkan apabila Supriyadi sudah meninggal dibunuh tentara Jepang.
Lelaki klimis belah tepi ini lahir di Trenggalek, Jawa Timur pada 13 April 1923. Saat muda, ia mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang serta diangkat menjadi Shodanco di Blitar. dia mendapat bertugas mengawasi para romusha membangun benteng-benteng pertahanan di pantai selatan serta Tuban. Dalam tugas tersebut, para anggota PETA kerap menyaksikan penderitaan rakyat, bahkan tidak jarang mereka menemui kerabat sendiri dalam gerombolan romusha. Banyak pekerja yang mati karna sakit juga kekurangan makanan. Melihat kondisi tersebut Supriyadi serta beberapa perwira sepakat merencanakan pemberontakan terhadap Jepang.
Pada kesatu tahun 1944 Supriyadi cs mulai mengadakan rapatrapat rahasia. Gelagat mereka dikenal tentara Jepang yang kemudian menggagalkan rencana latihan bersama anggota PETA di Tuban pada 5 Februari 1945. Usai gagalnya latihan bersama tersebut, kegiatan pasukan PETA Blitar selalu diawasi. Namun Supriyadi bersama beberapa pimpinan PETA lain (Shodanco Muradi; Shodanco Suparjono; Bundanco Halir Manguedidjaja serta Bundanco Sunanto) berhasil menggelar rapat rahasia terakhir di Kamar Halir Mangkoedidjaja pada 13 Februari 1945. Hasil rapat yakni dilakukan pemberontakan esok harinya. Sebelumnya Supriyadi juga sempat berdiskusi dengan Soekarno yang sedang berkunjung ke rumah orang tuanya, kala itu Soekarno memegang jabatan selaku pemimpin PUTERA.
Dini hari pukul 03.00 pada 14 Februari 1945 rencana Supriyadi dimulai, senjata peluru dibagikan, serta barisan-barisan dipersiapkan. Serangan dibuka dengan mortir berat (hakugekiho) diarahkan ke Hotel Sakura, tempat perwira-perwira Jepang tinggal. Jaringan hubungan telepon diputus. Kantor Kenpetai Jepang di Blitar diserbu pun segala jurusan. Selanjutnya pasukan PETA Blitar berhasil mengibarkan bendera merah putih di lapangan PETA Blitar (kini menjadi TMP Kota Blitar). Pasukan PETA bergerak membinasakan semua orang Jepang di Blitar, membebaskan para tahanan, lalu menyebar ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Karena koordinasi yang kurang rapi, beberapa pimpinan salah menentukan sasaran.
Pasukan PETA berhasil diperdayai Jepang lewat sebuah perjanjian di Ngancar pada tanggal 19 Februari 1945. Isi dari perjanjian tersebut antara lain; Pemerintah Jepang bakal mempercepat kemerdekaan Indonesia, tidak bakal melucuti persenjataan kesatuan tentara PETA Blitar, serta membebaskan tuntutan hukum bagi gerakan pemberontakan PETA Blitar. Akan tetapi, sekembalinya dari Hutan Ngancar, sekitar 67 anggota PETA ditangkap serta dibawa ke pengadilan Jakarta buat menerima hukuman. Enam orang pimpinan, yakni Shodanco Muradi, Cudanco Ismangil, Shodanco Suparjon, Bundanco Halir Mangkudidjaja, Bundanco Sunanto, serta Bundanco Sudarmo dihukum mati. Dalam persidangan tidak tercatat nama Supriyadi, serta sampai kini Kabar tentang kondisi Supriyadi ketika itu tidak diketahui.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Nasional
Lelaki klimis belah tepi ini lahir di Trenggalek, Jawa Timur pada 13 April 1923. Saat muda, ia mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang serta diangkat menjadi Shodanco di Blitar. dia mendapat bertugas mengawasi para romusha membangun benteng-benteng pertahanan di pantai selatan serta Tuban. Dalam tugas tersebut, para anggota PETA kerap menyaksikan penderitaan rakyat, bahkan tidak jarang mereka menemui kerabat sendiri dalam gerombolan romusha. Banyak pekerja yang mati karna sakit juga kekurangan makanan. Melihat kondisi tersebut Supriyadi serta beberapa perwira sepakat merencanakan pemberontakan terhadap Jepang.
Pada kesatu tahun 1944 Supriyadi cs mulai mengadakan rapatrapat rahasia. Gelagat mereka dikenal tentara Jepang yang kemudian menggagalkan rencana latihan bersama anggota PETA di Tuban pada 5 Februari 1945. Usai gagalnya latihan bersama tersebut, kegiatan pasukan PETA Blitar selalu diawasi. Namun Supriyadi bersama beberapa pimpinan PETA lain (Shodanco Muradi; Shodanco Suparjono; Bundanco Halir Manguedidjaja serta Bundanco Sunanto) berhasil menggelar rapat rahasia terakhir di Kamar Halir Mangkoedidjaja pada 13 Februari 1945. Hasil rapat yakni dilakukan pemberontakan esok harinya. Sebelumnya Supriyadi juga sempat berdiskusi dengan Soekarno yang sedang berkunjung ke rumah orang tuanya, kala itu Soekarno memegang jabatan selaku pemimpin PUTERA.
Baca Juga
Dini hari pukul 03.00 pada 14 Februari 1945 rencana Supriyadi dimulai, senjata peluru dibagikan, serta barisan-barisan dipersiapkan. Serangan dibuka dengan mortir berat (hakugekiho) diarahkan ke Hotel Sakura, tempat perwira-perwira Jepang tinggal. Jaringan hubungan telepon diputus. Kantor Kenpetai Jepang di Blitar diserbu pun segala jurusan. Selanjutnya pasukan PETA Blitar berhasil mengibarkan bendera merah putih di lapangan PETA Blitar (kini menjadi TMP Kota Blitar). Pasukan PETA bergerak membinasakan semua orang Jepang di Blitar, membebaskan para tahanan, lalu menyebar ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Karena koordinasi yang kurang rapi, beberapa pimpinan salah menentukan sasaran.
Pasukan PETA berhasil diperdayai Jepang lewat sebuah perjanjian di Ngancar pada tanggal 19 Februari 1945. Isi dari perjanjian tersebut antara lain; Pemerintah Jepang bakal mempercepat kemerdekaan Indonesia, tidak bakal melucuti persenjataan kesatuan tentara PETA Blitar, serta membebaskan tuntutan hukum bagi gerakan pemberontakan PETA Blitar. Akan tetapi, sekembalinya dari Hutan Ngancar, sekitar 67 anggota PETA ditangkap serta dibawa ke pengadilan Jakarta buat menerima hukuman. Enam orang pimpinan, yakni Shodanco Muradi, Cudanco Ismangil, Shodanco Suparjon, Bundanco Halir Mangkudidjaja, Bundanco Sunanto, serta Bundanco Sudarmo dihukum mati. Dalam persidangan tidak tercatat nama Supriyadi, serta sampai kini Kabar tentang kondisi Supriyadi ketika itu tidak diketahui.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Nasional