Sejarah Berdirinya Kerajaan Tidore
Selasa, Oktober 01, 2019
Tidore merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku Utara, yang lokasi persisnya berada di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Sebelum Islam datang ke bumi Nusantara, pulau Tidore diketahui dengan nama Limau Duko atau Kie Duko yang berarti “pulau yang bergunung api.” Penamaan ini disesuaikan dengan kondisi topograi pulau Tidore yang memiliki gunung api—bahkan merupakan gunung tertinggi di gugusan kepulauan Maluku—yang oleh penduduk asli, gunung tersebut mereka namakan gunung Kie Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Sedangkan buat nama Tidore sendiri berasal dari gabungan dari tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re (aku sudah sampai).
Disebabkan sebab letak geograisnya yang berada di antara pulau Sulawesi serta pulau Irian jaya, Kerajaan Tidore menjadi salah satu kerajaan besar yang berada di kepulauan Maluku sekaligus memiliki posisi yang sangat strategis serta penting dalam dunia perdagangan masa itu. Ditambah lagi kalau kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar sehingga di juluki selaku “The Spicy Island.”
Pada dikala itu, rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang serta bertujuan ke sana bakal melewati rute perdagangan tersebut. Para pedagang dari Arab serta India yang beragama Islam serta berperan dalam perdagangan internasional juga banyak yang berdagang serta menetap disana. Berwal dari situ, syiar agama Islam akhirnya sampai serta meluas di Maluku, seperti Ambon, Ternate, serta Tidore. Agama Islam yang masuk ke Kerajaan Tidore dibawa oleh Ciriliati, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliati atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Keadaan seperti ini, sudah mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, serta budaya.
Kesultanan Tidore merupakan satu dari empat kerajaan besar yang berada di Maluku, tiga lainnya yaitu Ternate, Jaijolo serta Bacan. Dari keempatnya, cuma Tidore serta Ternate-lah yang memiliki ketahanan politik, ekonomi serta militer. Keduanya pun bersifat ekspansionis, di mana Ternate menguasai wilayah barat Maluku sedangkan Tidore mengarah ke timur yang wilayahnya meliputi Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Maba, Patani, Seram Timur, Rarakit, Werinamatu, Ulisiwa, Kepulauan Raja Empat, Papua daratan serta sekitarnya. Sejak kesatu berdirinya hingga raja yang ke-4, letak pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan berada di kota mana. Baru pada era Jou Kolano Balibunga, beberapa informasi mengenai pusat kerajaan Tidore mulai sedikit terkuak meski masih dalam perdebatan. Tempat yang menjadi pusat pemerintahan terdahulu Kerajaan Tidore tersebut yaitu Balibunga. Namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan di mana sebenarnya letak Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore serta ada pula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M, dikala Kerjaan Tidore dipimpin oleh Sultan Ciriliati, letak pusat kerajaan berada di Gam Tina serta dikala Sultan Mansyur naik tahta pada tahun 1512 M, pusat kerajaan dipindahkan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Perpindahan posisi ibu kota baru ini berdekatan langsung dengan kerajaan Ternate serta cuma diapit oleh Tanjung Mafugogo serta pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah serta tenang serta dekat dengan Kerajaan Ternate yang juga merupakan salah satu kerajaan besar, akhirnya lokasi ibukota yang baru ini cepat berkembang serta menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarah kerajaan Tidore, tercatat sudah terjadi beberapa kali perpindahan ibukota sebab sebab yang beraneka ragam. Tahun 1600 M misalnya, ibukota dipindahkan oleh Sultan ke 17 kerajaan Tidore yaitu Mole Majimu (Ala ud-din Syah) dari Rum ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan sebab meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan buat berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih menjadi animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibu kota yang terakhir yaitu ke Limau Timore di masa Sultan ke 33 yaitu Sultan Saif ud-din (1857 – 1865). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga dikala ini.
tidak cuma Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore juga merupakan salah satu Kerajaan besar di jazirah Maluku Utara yang berhasil mengembangkan kekuasaannya terutama ke wilayah selatan pulau Halmahera serta kawasan Papua bagian barat. Sejak 600 tahun yang lalu Kerajaan ini sudah memiliki hubungan kekuasaan hingga sampai ke Irian Barat (Pesisir Tanah Papua). Waktu itu, yang memegang kendali kekuasaan pemerintahan di Kerajaan Tidore yaitu Sultan Mansyur, Sultan Tidore yang ke 12.
Menurut (almarhum) Sultan Zainal Abidin “Alting” Syah (Sultan Tidore yang ke 36) yang dinobatkan di Tidore pada 27 Februari 1947 / 26 Rabiulawal 1366 H, kalau Kerajaan Tidore terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Nyili Gam
a. Yade Soa-Sio se Sangadji se Gimelaha
b. Nyili Gamtumdi
c. Nyili Gamtufkange
d. Nyili Lofo-Lofo
2. Nyili Papua (Nyili Gulu-Gulu)
a. Kolano Ngaruha (Raja Ampat)
b. Papua Gam Sio
c. Mavor Soa Raha
Disebutkan dalam catatan beliau, kalau bukan Irian Barat melainkan Papua. Kerajaan Tidore juga pernah menaklukkan pulau-pulau di sekitarnya seperti pulau Gebe, pulau Patani, Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, Sorong, Gorong, Maba, Weda serta Papua. Ketika Sultan Mansyur yang merupakan Sultan Tidore pernah menyelenggarakan expedisi sampai ke pulau Halmahera bagian selatan sampai di “Papua” serta pulau-pulau sekitarnya dicatat dalam sebuah sejarah dengan menggunakan bahasa Tidore. Yang kurang lebih seperti ini.
“Madero toma jaman yuke ia gena e jaman “Jou Kolano Mansyur” Jou Lamo yangu moju giraa2 maga i tigee Jou Kolano una Mantri una moi2 lantas wocatu idin te ona: Ni Kolano Jou Ngori ri nyinga magaro ngori totiya gam enareni, tiya Mantri moi2 yo holila se yojaga toma aman se dame madoya.
Ngori totagi tosari daerah ngone majoma sebab daerah ngone enareni yokene foli, kembolau gira toma dikala enarige ona jou Mantri moi-moi yo marimoi idin enarige, lantas Jou Kolano una rigee wotagi wopane oti isa toma Haleyora (Halmahera) wodae toma rimoi maronga Sisimaake wouci kagee lalu wotagi ine toma Akelamo lantas kagee wotomake jarita yowaje coba Jou Kolano mau hoda ngolo madomong kataa, gena e lebe laha Jou Kolano nowako koliho mote toma lolinga madomong kataa, gena e lebe laha Jou Kolano nowako koliho mote toma lolinga sebab kagee seba foloi.
Lantas gaitigee Jou Kolano wowako sewolololi ino toma lolinga majiko wotagi ia toma Bobaneigo lantas gaitigee womaku tomake se Jou Kolano Ternate, “Jou Kolano Komala” Gira Jou Kolano ona ngamalofo rigee yo maku yamu rai se yo maku sawera sewowaje, Jou Kolano Ternate tagi turus ia toma Kao, Jou Kolano Tidore woterus toma Lolobata, Bicoli, Maba se Patani.
Lantas kagee Jou Kolano wolahi Kapita2 kagee toma Maba, Buli, Bicoli se Patani ona yomote una terus toma Gebe la supaya yohoda kiye mega yoru-ruru, yo bapo ino uwa, toma Gebe madulu se I ronga “Papua”.
Gira2 tigee ona Kapita moi2 yomote Jou Kolano ine toma Gebe lalu turus toma Salawati, Waigeo, Waigama, Misowol (Misol), terus ine toma Papua Gam Sio, se Mavor Soa-Raha. Raisi karehe Jou Kolano se ona Kapita ona rigee yowako rora tulu toma Salawati, wotia Kapita hamoi se woangkat una wodadi Kolano kagee, hamoi yali toma Waigeo, hamoi yali toma Waigama, se hamoi yali toma Masowol (Misol). Kapita-kapita ngaruha onarigee Jou Kolano woangkat ona yodai Kolano teuna ipai maalu gena e mangale Kolano Ona Ngaruha rigee ngapala Kapita Patani, ona ngaruha yoparentah yodo toma Papua Gam Sio se Mavor Soa Raha”.
Yang apabila diterjemahan memiliki arti selaku berikut :
“Bahwa pada masa dahulu kala, masa kekuasaan Sultan Tidore yang bernama “Mansyur“, dimana daerah kekuasaannya belum/tidak luas, maka beliau berikir, kalau wilayah Kerajaan di Tidore pada masa itu memang terlalu kecil yakni cuma di pulau Tidore. Beliau menetapkan buat keluar mencari daerah tambahan. Para Menteri beliau berhadap serta titah beliau, kalau atas maunya sendiri bertolak nanti dari Tidore buat maksud yang utama serta kepada Menteri2 beliau tinggalkan kerajaannya buat dijalankan oleh para Menteri, menjaga agar supaya berada aman serta damai. Menteri bersatu serta menerima baik yang dititahkan.
Lalu dengan sebuah perahu biduk beliau beserta beberapa pengawal serta pengikutnya bertolak dari pulau Tidore ke Halmahera tengah serta selatan, tiba pada sebuah tempat namanya Sismaake. Di sana Beliau turun serta berjalan kaki ke Akelamo. Di Akelamo beliau mendapat keterangan/ceritera serta mendapat saran dari orang di Akelamo, katanya apabila beliau hendak melihat lautan sebelah (lautan di teluk Kao Halmahera), maka sebaiknya beliau melewati jalan di Dodinga, sebab di Dodinga sangat dekat dengan lautan sebelah. Sri Sultan Mansyur kembali dari Akelamo menuju Dodinga serta dari Dodinga berjalan kaki ke Bobaneigo.
Di Bobaneigo Sultan Ternate yang ke XVI bertemu dengan Sri Sultan Ternate Bernama “Komala“, Kedua Sultan tersebut kemudian saling bertanya serta akhirnya menyepakati buat membagi pulau Halmahera menjadi dua wilayah kekuasaannya, dari Dodinga ke utara menjadi kekuasaan dari Sultan Ternate sedangkan wilayah dari Dodinga ke selatan Sultan Tidore yang menjadi penguasanya.
Pembagian kekuasaan di Halmahera ini menjadikan pulau Halmahera tepatnya di daerah Dodinga menjadi batas wilayah kultur antara kedua Kerajaan ini, bahkan masih bias dilihat serta ditemui sampai sekarang bakas pembagian tersebut, bahkan pembagian daerah dengan cara pembagian yang seperti Sultan Ternate serta Tidore lakukan sampai saat ini dijadikan dasar oleh Pemerintah buat menetapkan batas wilayah Kabupaten sejak jaman Indonesia merdeka.
Kemudian dalam perjalanan selanjutnya Sultan Mansyur berkelana menuju kedaerah Lolobata, Bicoli, Maba, Buli serta Pulau Patani. Di sana Sultan Mansyur minta supaya Kapitan-kapitan dari Maba, Buli, Bicoli serta Patani turut dengan beliau ke pulau Gebe buat menyelidiki pulau-pulau apa yang terapung di balik pulau Gebe, dalam pengamatan Sultan Mansyur terlihat antara pulau yang satu dengan lain tidak berdekatan. Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Sultan Mansyur dikala itu yaitu pulau “Papua”.
Kapitan-kapitan yang diajak oleh Sultan Mansyur tersebut akhirnya turut dengan beliau ke Gebe, terus berlanjut ke Salawati, Waigeo, Waigama, Misowol hingga pada daerah yang disebut selaku Papua Gam Sio (Negeri Sembilan di tanah Papua) serta Mavor Soa Raha Empat Soa/ Klan di Mavor). Sesudah berhasil sampai di pulau Papua tersebut Sultan Mansyur serta Kapitan-kapitannyanya kembali, singgah di Salawati, Waigeo, Waigama serta Misowol, serta disana Sultan Mansyur mengangkat keempat kapitan tadi menjadi Raja setempat yang bergelar seperti dirinya (Kolano), mereka berempat disebut selaku “Raja Empat” sebuah raja yang masih dibawah naungan payung kekuasaan Sultan Mansyur Raja dari kerajaan Tidore yang mengangkat mereka menjadi raja, dengan pengertian tersebut, dikpahami kalau mereka berempat menjadi Raja tetapi masih tunduk serta perlu mendengar perintah dari Sultan Tidore. Kekuasaan ke-empat Raja itu sampai di daerah yang disekitarnya yang kemudian disebut Papua Gam Sio serta dearah Mavor Soa-Raha”.
Namun sumber/ referensi tentang pengangkatan raja empat bila dikaji lebih jauh dengan menggunakan Analisa Historiograi, maka masih terdapat beberapa kelemahan, diantaranya :
1. Tak dijelaskan tahun berapa atau kurun waktunya kapan dari kejadian yang diuraikan dalam sumber ini.
2. Tokoh sentral yang dijelaskan dalam sumber ini yaitu “Sultan Mansyur”, namun dalam kisah ini Sultan Mansyur yang mana? Karena dalam silsilah kerajaan Tidore terdapat empat Sultan yang memakai nama Mansyur.
Terlepas dari itu semua, sejarah sudah mencatat kalau beberapa daerah diluar pulau Tidore, mulai dari Papua barat hingga pulau-pulau di selatan Pasiik pernah menjadi bagian dalam historis kerajaan Tidore.
Berikut ini yaitu nama-nama Kolano / Sultan kerajaan Tidore yang diurutkan berdasarkan tahun berkuasa dalam pemerintahannya, penyusunan ini didasarkan dari beberapa sumber baik lokal maupun sumber asing yang menjadi referensi kajian kerajaan Tidore,
Dan silsilahhnya yaitu selaku berikut :
1. (……… – ………) Kolano Sah Jati
2. (……… – ………) Kolano Bosamuangi
3. (……… – ………) Kolano Subu
4. (……… – ………) Kolano Balibunga
5. (……… – ………) Kolano Duku Madoya
6. (1317 – ………) Kolano Kie Matiti
7. (……… – ………) Kolano Sele
8. (……… – ………) Kolano Metagena
9. (1334 – 1372) Kolano Nur ud-din
10. (1373 – …?…) Kolano Hasan Syah
11. (1495 – 1512) Sultan Ciriliati alias Jamal ud-din
12. (1512 – 1526) Sultan Mansyur
13. (1529 – 1547) Sultan Amir ud-din Iskandar Zulkarnain
14. (1547 – 1569) Sultan Kie Mansyur
15. (1569 – 1586) Sultan Miri Tadu Iskandar Sani Amir ulMuzlimi, kawin dengan Boki Randan Gagalo, seorang puteri dari Sultan Babu’llah Datu Syah ibni Sultan Khair ul-Jamil.
16. (1586 – 1599) Sultan Gapi Maguna alias Sultan Zainal Abidin Siraj ud-din alias Kaicil Siraj ul-Arain, yang kawin dengan Boki Filola pada tahun 1585 seorang puteri dari sultan Ternate Sultan Said ud-din Barakat Syah ibni al-Marhum Sultan Babullah Datu Syah.
17. (1599 – 1626) Sultan Mole Majimu alias Molemgini Jamal ud-din alias ‘Ala ud-din Syah
18. (1626 – 1633) Sultan Ngora Malamo alias Sultan ‘Ala uddin ibni Sultan Jamal ud-din
19. (1633 – 1653) Sultan Gorontalo alias Kaicil Sehe
20. (1653 – 1657) Sultan Magiau alias Sultan Said ud-din ibni Sultan ‘Ala ud-din alias Kaicil Saidi 21. (1657 – 1689) Sultan Syaif ud-din alias Kaicili Goloino
22. (1689 – 1700) Sultan Hamzah Fakhr ud-din ibni alMarhum Sultan Syaif ud-din
23. (1700 – 1708) Sultan Abul Falal al-Mansyur
24. (1708 – 1728) Sultan Hasan ud-din
25. (1728 – 1756) Sultan Amir Muhid-din Bi-fallil-ajij alias Kaicil Bisalalihi
26. (1756 – 1780) Sultan Jamal ud-din
27. (1780 – 1784) Sultan Patra Alam
28. (1784 – 1797) Sultan Kamal ud-din
29. (1797 – 1805) Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan alias Jou Barakati
30. (1805 – 1810) Sultan Mohammad Zain al-Abidin
31. (1810 – 1822) Sultan Mohammad Tahir (Wafat : 17 November 1821)
32. (1822 – 1856) Sultan Akhmad-ul Mansyur (Dinobatkan 19 April 1822, wafat 11 Juli 1856)
33. (1857 – 1865) Sultan Akhmad Sai ud-din alias Khalifat ulMukarram Sayid-din Kaulaini ila Jaabatil Tidore alias Jou Kota (Dinobatkan April 1857)
34. (1867 – 1894) Sultan Johar Alam (Dinobatkan Agustus 1867)
35. (1894 – 1905) Sultan Akhmad Kawi ud-din Alting alias Kaicil Syahjoan, (Dinobatkan Juli 1849) Pada masa ini Keraton Tidore dibumihanguskan selaku sikap protes terhadap kebijakan pihak Belanda yang merugikan Tidore).
36. (1947 – …….) Sultan Zain al-Abidin “Alting” Syah (Dinobatkan di Tidore pada tgl. 27 Perbruari 1947, bertepatan dengan tgl. 26 Rabiulawal 1366-H).
37. (Sekarang) Sultan Djafar “Dano Yunus” Syah, (Dinobatkan ————- hingga sekarang).
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam oleh Binuko Amarseto