Sultan Thaha Sjaifuddin: Sultan Jambi Penentang Kompeni
Jumat, September 27, 2019
Taha Syaifuddin naik tahta menjadi sultan pada tahun 1855. Paska kenaikannya, ia membatalkan semua perjanjian dengan Belanda yang dibuat oleh para pendahulunya. Bagi Taha Syaifuddin, perjanjian-perjanjian tersebut cuma merugikan kesultanan Jambi. Salah satu perjanjian yang nyata merugikan yakni tentang kedudukan Jambi yang disepakati pada 1833. Menurut perjanjian, Jambi yaitu milik Belanda serta dipinjamkan kepada Sultan Jambi. Tindakan Syaifuddin membuat Pemerintah Hindia Belanda geram, mereka mengancam bakal menyerang Kalau sultan tak ingin bekerja sama.
Belanda mengirim Residen Palembang buat berunding dengan Sultan Taha. Perundingan itu gagal. Sesudah itu, Belanda menyampaikan ultimatum agar Sultan Taha menyerahkan diri. Karena Sultan Taha menolak ultimatum, pada 25 September 1858 Belanda mengirim pasukan ke Muara Kumpeh yang terdiri atas tiga puluh buah kapal perang, dipimpin oleh Mayor van Rangen. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Taha Syaifuddin beserta pasukan plus dukungan rakyat berhasil menenggelamkan sebuah kapal Belanda. Mereka juga menggempur benteng milik Belanda di Jambi. Perlawanan tersebut memaksa Belanda mendatangkan bala bantuan pasukan tentara yang berkududukan di Aceh. Sultan beserta pasukannya terpaksa keluar dari keraton serta ke Muara Tembesi. Di tempat tersebut mereka membangun pertahanan.
Guna meraih hati rakyat Jambi, Belanda mengangkat salah seorang putra sultan yang masih berusia tiga tahun menjadi Pangeran Ratu atau Putera Mahkota. Untuk mendampingi putera mahkota, diangkat dua orang wali. Namun, usaha tersebut tak berhasil, rakyat tetap memilih berjuang bersama Sultan, memilih Taha Syaifuddin.
Perlawanan Sultan Taha berlangsung lama hingga puluhan tahun. Sultan Taha membeli senjata dari pedagang-pedagang Inggris lewat Kuala Tungkal, Siak, serta Indragiri. Pada 1885, mereka kembali menyerang benteng Belanda di dalam kota Jambi serta menghancurkan pos militer Belanda di Muara Sabak. Mendapat serangan keras, Belanda meningkatkan operasi militer dengan mendatangkan pasukan dalam jumlah besar yang dipasok dari basecamp Magelang. Sultan Taha terpaksa meninggalkan Muara Tembesi serta pindah ke tempat lain.
Pada tanggal 31 Juli 1901, terjadi pertempuran sengit di Surolangun. Sultan serta sisa pasukan mundur ke pedalaman di Sungai Aro. Belanda terus mengejar serta pada tahun 1904 Belanda mengetahui kedudukan sultan Sungai Aro. Belanda lekas menyerang. Beberapa pengikut Sultan T aha tertangkap, sultan sendiri berhasil lolos. Namun, pada tanggal 26 April 1904 tersiar Berita Sultan Taha Syaifuddin meninggal dunia di Muara Tebo. Praktis perlawanan pun perlahan berakhir.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional
Belanda mengirim Residen Palembang buat berunding dengan Sultan Taha. Perundingan itu gagal. Sesudah itu, Belanda menyampaikan ultimatum agar Sultan Taha menyerahkan diri. Karena Sultan Taha menolak ultimatum, pada 25 September 1858 Belanda mengirim pasukan ke Muara Kumpeh yang terdiri atas tiga puluh buah kapal perang, dipimpin oleh Mayor van Rangen. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Taha Syaifuddin beserta pasukan plus dukungan rakyat berhasil menenggelamkan sebuah kapal Belanda. Mereka juga menggempur benteng milik Belanda di Jambi. Perlawanan tersebut memaksa Belanda mendatangkan bala bantuan pasukan tentara yang berkududukan di Aceh. Sultan beserta pasukannya terpaksa keluar dari keraton serta ke Muara Tembesi. Di tempat tersebut mereka membangun pertahanan.
Guna meraih hati rakyat Jambi, Belanda mengangkat salah seorang putra sultan yang masih berusia tiga tahun menjadi Pangeran Ratu atau Putera Mahkota. Untuk mendampingi putera mahkota, diangkat dua orang wali. Namun, usaha tersebut tak berhasil, rakyat tetap memilih berjuang bersama Sultan, memilih Taha Syaifuddin.
Perlawanan Sultan Taha berlangsung lama hingga puluhan tahun. Sultan Taha membeli senjata dari pedagang-pedagang Inggris lewat Kuala Tungkal, Siak, serta Indragiri. Pada 1885, mereka kembali menyerang benteng Belanda di dalam kota Jambi serta menghancurkan pos militer Belanda di Muara Sabak. Mendapat serangan keras, Belanda meningkatkan operasi militer dengan mendatangkan pasukan dalam jumlah besar yang dipasok dari basecamp Magelang. Sultan Taha terpaksa meninggalkan Muara Tembesi serta pindah ke tempat lain.
Pada tanggal 31 Juli 1901, terjadi pertempuran sengit di Surolangun. Sultan serta sisa pasukan mundur ke pedalaman di Sungai Aro. Belanda terus mengejar serta pada tahun 1904 Belanda mengetahui kedudukan sultan Sungai Aro. Belanda lekas menyerang. Beberapa pengikut Sultan T aha tertangkap, sultan sendiri berhasil lolos. Namun, pada tanggal 26 April 1904 tersiar Berita Sultan Taha Syaifuddin meninggal dunia di Muara Tebo. Praktis perlawanan pun perlahan berakhir.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional