Hos Cokroaminoto: Raja Jawa Tanpa Mahkota
Minggu, Agustus 25, 2019
Di paruh awal abad ke 20, semua percaya Kalau ia tokoh besar. Ribuan orang bakal berdesak-desakan menyaksikan ia naik podium. dia jago berorasi, menyebar propaganda, membakar emosi massa. dia mampu menghipnotis massa dengan suara baritonnya. Ribuan pengikutnya menganggap ia sang Erucokro [Ratu Adil] yang bakal membebaskan penderitaan pribumi. Akan tetapi, ia menolak anggapan itu. ia merasa bukan Ratu Adil, cuma ia memang pemimpin yang berusaha membebaskan pribumi dari pengisapan kaum kolonial Belanda. dia lantang bersuara, “kita diberi makan bukan karna kita diperlukan susunya”. dia menganggap kolonial Belanda cuma menjadikan kaum pribumi selaku sapi perahan. dia lawan penindasan itu dengan menyadarkan ribuan rakyat. Begitu takutnya hingga orang-orang kolonial menganggapnya sang “Raja Jawa” meski tidak memakai mahkota layaknya sunan atau sultan vorstenlanden.
Cokroaminoto yang lahir di desa Bakur sewaktu kecil populer nakal serta suka berkelahi. Sering kali ia berpindah-pindah sekolah, namun pada 1902, ia berhasil menamatkan OSVIA [Sekolah Pamongpraja] di Magelang. Setelah bekerja selama tiga tahun selaku juru tulis di Ngawi, ia pindah ke Surabaya serta bekerja pada perusahaan dagang. Di kota itu, ia memasuki Serikat Dagang Islam (SDI). Atas sarannya, pada 10 September 1912 secara resmi nama SDI diubah menjadi Serikat Islam [SI]. Cokroaminoto diangkat menjadi komisaris SI serta kemudian menjadi ketua pada 1915. Di bawah pimpinannya, SI berkembang dengan pesat serta tumbuh menjadi partai massa sehingga mencemaskan pemerintah Belanda.
Sebagai wakil SI dalam Volksraad, pada 25 Nopember 1918, ia mengajukan mosi yang diketahui dengan Mosi Cokroaminoto. Melalui mosi itu Pemerintah Belanda dituntut supaya membentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari rakyat serta oleh rakyat. Dituntut pula supaya pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen.
Cokroaminoto mengecam pengambilan tanah buat dijadikan perkebunan milik orang-orang Eropa. dia mendesak Sumatera Landsyndicaat supaya mengembalikan tanah rakyat di Gunung Seminung [tepi Danau Ranau, Sumatera Selatan]. Dituntutnya pula supaya kedudukan dokter-dokter pribumi disamakan dengan dokter-dokter Belanda. Pada 1920, dengan tuduhan menyiapkan pemberontakan buat menggulingkan Pemerintah Belanda, ia dimasukkan ke penjara. Selepas bebas, ia diminta lagi buat duduk dalam Volksraad. Permintaan itu ditolaknya, sebab ia tidak ingin lagi bekerjasama dengan Pemerintah Belanda.
Cokroaminoto tidak cuma bergiat dibidang politik, ia banyak pula menulis artikel di pelbagai surat kabar. Tulisan-tulisannya sering dimuat Oetoesan Hindia, Fadjar Asia, serta Bendera Islam. tetapi tidak lama ia mengelola Koran Bendera Islam, Cokroaminoto mengembuskan napas pungkasannya pada umur 52 tahun. Jenazahnya lekas dimakamkan di pemakaman Pakuncen Yogyakarta. Atas jasa-jasanya dalam bidang pergerakan nasional, Cokroaminoto dijadikan Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1961.
Baca Juga
Cokroaminoto tidak cuma bergiat dibidang politik, ia banyak pula menulis artikel di pelbagai surat kabar. Tulisan-tulisannya sering dimuat Oetoesan Hindia, Fadjar Asia, serta Bendera Islam. tetapi tidak lama ia mengelola Koran Bendera Islam, Cokroaminoto mengembuskan napas pungkasannya pada umur 52 tahun. Jenazahnya lekas dimakamkan di pemakaman Pakuncen Yogyakarta. Atas jasa-jasanya dalam bidang pergerakan nasional, Cokroaminoto dijadikan Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1961.