Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Dokter Penentang Kolonial Belanda

 
ia seorang yang cerdas serta rajin. Gurunya di Stovia menjulukinya “Een begaafd leerling”, seorang murid yang berbakat. Bakat itu pula yang mengantarnya menjadi populer ketika mampu meredam wabah pes di Malang 1910. Pemerintah memberinya tanda jasa Ridderkruis [lencana kehormatan Belanda]. Alih-alih bangga serta mengucap terima kasih pada pemerintah kolonial, ia justru mengembalikan lencana itu. ia tidak sudi menerima penghargaan dari pemerintah Belanda yang menjajah pribumi Hindia seperti dirinya.

Tjipto Mangoenkoesoemo lahir di Pecangakan, dekat Ambarawa tahun 1886. Setelah lulus sekolah ELS pada 1899, ia melanjutkan studi di STOVIA [Sekolah Dokter] di Batavia serta lulus pada 1905. Sejak itu, mulailah ia bertugas selaku dokter pemerintah di Bajarmasin serta Demak. Waktu bertugas di Demak, ia banyak menulis karangan yang menceritakan penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Karangan-karangan itu dimuat dalam harian De Express. Akibatnya, ia diberhentikan dari jabatan dokter pemerintah.

Kegiatan politiknya semakin meningkat setelah bersama Douwes Dekker serta Suwardi Suryaningrat turut mendirikan Indische Partij tahun 1912. Partai itu yaitu partai politik awal yang berjuang buat mencapai Indonesia merdeka. Akibat kegiatan dalam Komite Bumiputera, ia dibuang ke negeri Belanda pada tahun 1913. Komite itu dibentuk buat memprotes maksud Pemerintah Belanda merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis.

Baca Juga


Belum genap setahun, Tjipto Mangoenkoesoemo sudah kembali ke Hindia [Indonesia] karna serangan penyakit asma. ia lalu tinggal di kota Solo. Perjuangannya lalu dilanjutkan di dalam Volksraad, ia terus mengkritik Pemerintah Belanda serta membela kepentingan rakyat kecil. Akibatnya, pada 1920, ia diusir dari Solo, tempat ia giat mengembangkan studi klub bernama Kartini Club, selain juga menjalankan praktik swasta selaku dokter. ia lalu tinggal di Bandung selaku tahanan kota, tetapi kegiatan politiknya tidak berhenti. Rumahnya menjadi tempat berkumpul serta berdebat tokoh-tokoh pergerakan nasional.

Sekali lagi Pemerintah Belanda bertindak. Pada tahun 1927, Tjipto Mangoenkoesoemo dibuang ke Banda Neira. Setelah tiga belas tahun tinggal di Banda Neira, ia dipindahkan ke Ujungpandang serta dari sana dipindahkan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Karena udara Sukabumi tidak cocok buat penyakit asma, ia dipindahkan lagi ke Batavia. Pada 8 Maret 1943, ia akhirnya tidak sanggup melawan penyakitnya, dr.Tjipto Mangoenkoesoemo meninggal dunia di Batavia serta akhirnya dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa. Atas jasa serta pengorbanannya selaku pejuang pembela bangsa, pemerintah Indonesia memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tahun 1964.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel