Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I: Tiji Tibeh
Senin, Oktober 14, 2019
dia seorang pangeran pemberani. Memimpin perang dalam usia muda. Saat usianya 19 tahun ia Sudah diangkat menjadi senopati perang bergelar Pangeran Prangwedana. ia lalu dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karna menyebar maut bagi musuh. Kehebatannya dalam strategi perang bukan cuma dipuji pengikutnya, tapi juga disegani lawannya. Gubernur Jawa, Baron van Hohendorff, menyanjungnya, “Pangeran yang satu ini sudah sejak muda terbiasa dengan perang serta menghadapi kesulitan sehingga tidak hendak bergabung dengan Belanda serta keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman”. dia membangun pasukan yang solid dengan motto, tiji tibeh [mati siji, mati kabeh, mukti siji, mukti kabeh]. dia menjaga kebersamaan dengan semboyan itu, Jika gugur satu, gugur semua serta Jika sejahtera satu, sejahtera semua.
Pangeran dari Mataram ini bernama asli Raden Mas Said. dia putra Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dengan R.A Wulan. Ketika Said masih berusia dua tahun, ayahnya ditangkap karna melawan kekuasaan Amangkurat IV [Paku Buwono I] yang dilindungi VOC serta dibuang ke Sri Langka. Saat itu, kekuasaan Mataram memang Sudah berada dalam kendali VOC. Mungkin karna itulah, Said membenci mati-matian kepada VOC.
Perlawanannya dimulai ketika terjadi pemberontakan laskar Tionghoa di ibu kota Mataram, Kartasura, pada 30 Juni 1742 dipimpin Raden Mas Garendi [Sunan Kuning]. Saat itu Said baru berumur 19 tahun serta lekas bergabung dengan pemberontak buat menuntut keadilan rakyat [baik pribumi maupun Tionghoa] yang ditindas Kumpeni Belanda [VOC]. Said membangun pertahanan di Randulawang, utara Surakarta serta diangkat selaku panglima perang.
Gerakan perlawanan ini makin besar ketika Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Said yang bergerilya melawan VOC di pedalaman Yogyakarta. Saat usianya 22 tahun ia lalu bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Mereka terus berjuang melawan VOC yang Sudah menguasai Mataram. Tapi kebersamaan kedua pangeran itu terhenti ketika Mangkubumi memisahkan diri. Jadilah Said berperang sendirian melawan Mataram serta VOC.
Said Sudah berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram serta VOC. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan VOC. Kemudian bersama dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram serta Belanda pada 1743-1752. Tiga tahun berselang, Said menentang perjanjian Giyanti yang membelah Mataram menjadi dua, Surakarta serta Yogyakarta. Pada 1756, ia bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol di hutan Sitakepyak Rembang. Besarnya pasukan musuh tercatat “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Meski pasukan Said jauh lebih kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Said cuma kehilangan 3 prajurit tewas serta 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Bahkan Said berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya. Selanjutnya pasukannya menyerbu benteng Vredeburg serta menyerang Keraton Yogyakarta. Penguasa Yogyakarta di bawah kendali VOC gagal menangkap Said. VOC yang tidak berhasil membujuk Said ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuhnya.
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Said. Akan tetapi, kemudian sunan Paku Buwono III berhasil mengajaknya berunding. Said bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa menyertakan VOC. Said menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sejak itu genjatan senjata tercapai lewat perjanjian Salatiga 17 Maret 1757. Said kemudian diangkat selaku Adipati Miji [penguasa mandiri]. dia lalu bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati AryaMangkunagara I. ia memerintah praja Mangkunegara yang meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang utara hingga Kedu. Akhirnya VOC juga perlu mengakui kekuasaan Mangkunegara I serta perlu menjunjungnya selaku raja ketiga di Jawa Tengah, setelah Sunan di Surakarta serta Sultan di Yogyakarta. Atas kepemimpinannya dalam mengobarkan perlawanan melawan VOC selama 16 tahun, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati AryaMangkunagara I ditahun 1988.
Sumber: Ensiklopedia Pahlawan Nasional
Pangeran dari Mataram ini bernama asli Raden Mas Said. dia putra Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dengan R.A Wulan. Ketika Said masih berusia dua tahun, ayahnya ditangkap karna melawan kekuasaan Amangkurat IV [Paku Buwono I] yang dilindungi VOC serta dibuang ke Sri Langka. Saat itu, kekuasaan Mataram memang Sudah berada dalam kendali VOC. Mungkin karna itulah, Said membenci mati-matian kepada VOC.
Perlawanannya dimulai ketika terjadi pemberontakan laskar Tionghoa di ibu kota Mataram, Kartasura, pada 30 Juni 1742 dipimpin Raden Mas Garendi [Sunan Kuning]. Saat itu Said baru berumur 19 tahun serta lekas bergabung dengan pemberontak buat menuntut keadilan rakyat [baik pribumi maupun Tionghoa] yang ditindas Kumpeni Belanda [VOC]. Said membangun pertahanan di Randulawang, utara Surakarta serta diangkat selaku panglima perang.
Gerakan perlawanan ini makin besar ketika Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Said yang bergerilya melawan VOC di pedalaman Yogyakarta. Saat usianya 22 tahun ia lalu bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Mereka terus berjuang melawan VOC yang Sudah menguasai Mataram. Tapi kebersamaan kedua pangeran itu terhenti ketika Mangkubumi memisahkan diri. Jadilah Said berperang sendirian melawan Mataram serta VOC.
Said Sudah berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram serta VOC. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan VOC. Kemudian bersama dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram serta Belanda pada 1743-1752. Tiga tahun berselang, Said menentang perjanjian Giyanti yang membelah Mataram menjadi dua, Surakarta serta Yogyakarta. Pada 1756, ia bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol di hutan Sitakepyak Rembang. Besarnya pasukan musuh tercatat “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Meski pasukan Said jauh lebih kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Said cuma kehilangan 3 prajurit tewas serta 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Bahkan Said berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya. Selanjutnya pasukannya menyerbu benteng Vredeburg serta menyerang Keraton Yogyakarta. Penguasa Yogyakarta di bawah kendali VOC gagal menangkap Said. VOC yang tidak berhasil membujuk Said ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuhnya.
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Said. Akan tetapi, kemudian sunan Paku Buwono III berhasil mengajaknya berunding. Said bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa menyertakan VOC. Said menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sejak itu genjatan senjata tercapai lewat perjanjian Salatiga 17 Maret 1757. Said kemudian diangkat selaku Adipati Miji [penguasa mandiri]. dia lalu bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati AryaMangkunagara I. ia memerintah praja Mangkunegara yang meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang utara hingga Kedu. Akhirnya VOC juga perlu mengakui kekuasaan Mangkunegara I serta perlu menjunjungnya selaku raja ketiga di Jawa Tengah, setelah Sunan di Surakarta serta Sultan di Yogyakarta. Atas kepemimpinannya dalam mengobarkan perlawanan melawan VOC selama 16 tahun, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati AryaMangkunagara I ditahun 1988.
Sumber: Ensiklopedia Pahlawan Nasional