Raden Mas Tumenggung Ario Suryo: Sang Gubernur Sejati
Senin, Agustus 12, 2019
Raden Mas Tumenggung Ario Suryo, lahir di Magetan pada 9 Juli 1898. Setelah menyelesaikan studi dari Hollandsch-Inlandsche School atau HIS (setingkat Sekolah Dasar), ia melanjutkan sekolah ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, yang tidak lain ialah sekolah pendidikan bagi calon pegawai-pegawai bumiputra. Setelah tamat pada 1918, ia bekerja selaku pamong praja di Ngawi. Dua tahun kemudian dipindahkan ke Madiun selaku Mantri Veldpolitie. Pada tahun 1922 Ario Suryo mendapat kesempatan menempuh pendidikan polisi di Sukabumi. Setelah menjalani masa kerja selaku asisten wedana di beberapa tempat, ia kembali mendapat kesempatan belajar, kali ini di Bestuurs School di Batavia.
Pengalaman pendidikan Aryo Suryo menunjang karier dalam pemerintahan selama tiga periode. dia diangkat selaku wedana serta berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian menjadi Bupati Magetan pada tahun 1938 hingga berakhirnya masa pemerintahan Belanda. Di era pendudukan Jepang, ia dipercaya memegang jabatan Syucokan (Residen) Bojonegoro. Paska Kemerdekaan Republik Indonesia, Aryo Suryo didapuk menjadi Gubernur Jawa Timur berkedudukan di Surabaya.
Sebagai Gubernur Jawa Timur, Aryo Suryo menghadapi situasi kritis paska pendaratan pasukan Inggris di Surabaya pada tanggal 23 Oktober 1945. Kedatangan pasukan Inggris buat melucuti tentara Jepang. Akan tetapi, bersamaan pasukan Inggris terdapat Netherland Indies Civil Administration (NICA) bentukan Belanda yang berupaya menguasai kembali wilayah Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan bentrokan hebat pada tanggal 28-30 Oktober 1945 serta Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh. Inggris sangat marah. Tanggal 9 Nopember 1945 mereka mengeluarkan ultimatum agar semua orang Indonesia bersenjata api perlu menyerahkannya kepada Inggris selambat-lambatnya pukul 18.00 tanggal 9 Nopember 1945. Kalau ultimatum itu tidak dipenuhi, Surabaya bakal digempur dari darat, laut, serta udara.
Aryo Suryo selaku perwakilan pemerintah RI di Jawa timur diberi kebebasan buat melaksanakan kebijakan apa pun oleh pemerintah pusat di Jakarta. Setelah berunding dengan pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pukul 23.00 malam tanggal 9 Nopember 1945, ia berpidato di depan corong radio menolak ultimatum Inggris. Keesokan harinya, meletus pertempuran dahsyat antara arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggris. Peristiwa tersebut diketahui dengan Pertempuran Surabaya, serta tanggal terjadinya bentrok diabadikan selaku Hari Pahlawan.
Selepas Pertempuran Surabaya, tahun 1947, Aryo Suryo diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Takdir merenggut nyawanya tatkala mengadakan perjalanan dinas di desa Bago, Kedunggalar (Ngawi) pada 10 September 1948. dia dicegat serta dibunuh oleh gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tahun tersebut kondisi dalam negeri tengah terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dengan PKI berbasis di Madiun yang dikomando Muso serta Amir Syarifuddin. Jenazahn Aryo Suryo ditemukan empat hari kemudian, serta dimakamkan di Magetan.
Pengalaman pendidikan Aryo Suryo menunjang karier dalam pemerintahan selama tiga periode. dia diangkat selaku wedana serta berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian menjadi Bupati Magetan pada tahun 1938 hingga berakhirnya masa pemerintahan Belanda. Di era pendudukan Jepang, ia dipercaya memegang jabatan Syucokan (Residen) Bojonegoro. Paska Kemerdekaan Republik Indonesia, Aryo Suryo didapuk menjadi Gubernur Jawa Timur berkedudukan di Surabaya.
Sebagai Gubernur Jawa Timur, Aryo Suryo menghadapi situasi kritis paska pendaratan pasukan Inggris di Surabaya pada tanggal 23 Oktober 1945. Kedatangan pasukan Inggris buat melucuti tentara Jepang. Akan tetapi, bersamaan pasukan Inggris terdapat Netherland Indies Civil Administration (NICA) bentukan Belanda yang berupaya menguasai kembali wilayah Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan bentrokan hebat pada tanggal 28-30 Oktober 1945 serta Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh. Inggris sangat marah. Tanggal 9 Nopember 1945 mereka mengeluarkan ultimatum agar semua orang Indonesia bersenjata api perlu menyerahkannya kepada Inggris selambat-lambatnya pukul 18.00 tanggal 9 Nopember 1945. Kalau ultimatum itu tidak dipenuhi, Surabaya bakal digempur dari darat, laut, serta udara.
Baca Juga
Aryo Suryo selaku perwakilan pemerintah RI di Jawa timur diberi kebebasan buat melaksanakan kebijakan apa pun oleh pemerintah pusat di Jakarta. Setelah berunding dengan pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pukul 23.00 malam tanggal 9 Nopember 1945, ia berpidato di depan corong radio menolak ultimatum Inggris. Keesokan harinya, meletus pertempuran dahsyat antara arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggris. Peristiwa tersebut diketahui dengan Pertempuran Surabaya, serta tanggal terjadinya bentrok diabadikan selaku Hari Pahlawan.
Selepas Pertempuran Surabaya, tahun 1947, Aryo Suryo diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Takdir merenggut nyawanya tatkala mengadakan perjalanan dinas di desa Bago, Kedunggalar (Ngawi) pada 10 September 1948. dia dicegat serta dibunuh oleh gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tahun tersebut kondisi dalam negeri tengah terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dengan PKI berbasis di Madiun yang dikomando Muso serta Amir Syarifuddin. Jenazahn Aryo Suryo ditemukan empat hari kemudian, serta dimakamkan di Magetan.