Pangeran Diponegoro: Sang Erucokro Tanah Jawa
Kamis, September 19, 2019
Perang di wilayah Yogyakarta serta sekitarnya berlangsung selama lima tahun dari 1825 hingga 1830. Pemerintah Hindia Belanda membutuhkan biaya tidak sedikit dalam perang tersebut, sampai-sampai simpanan kas mereka terkuras. Perang itu kemudian diketahui dengan Perang Jawa, dikomandoi seorang pemimpin cerdik bernama Diponegoro.
Diponegoro ialah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati (putri Bupati dari Pacitan). Sedari kecil ia diasuh oleh neneknya di Tegalrejo. Nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo lahir tanggal 11 Nopember 1785. Sebenarnya, ketika Ontowiryo dewasa ia bakal diangkat menjadi raja oleh ayah handanya, namun dengan bijak menolak karna menyadari Kalau ibunya bukan seorang permasuri. Diponegoro tetap menjadi pangeran serta menduduki jabatan dewan penasihat Keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1820-an campur tangan Pemerintah Hindia Belanda dalam persoalan Kerajaan Yogyakarta makin menjadi. Peraturan tata tertib yang dibuat Pemerintah Belanda sangat merendahkan raja-raja Jawa, para bangsawan diadu domba sehingga dalam istana terdapat golongan yang pro serta yang anti Belanda. Kedua golongan itu saling curiga mencurigai. Sementara itu, tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil buat perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belanda. Karenanya, Diponegoro yang tidak menyukai turut campur Belanda dalam lingkup keraton, memilih meninggalkan istana lalu menetap di Tegalrejo.
ubungan makin memanas antara Diponegoro dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika pemerintah kolonial tersebut berencana membangun jalan buat melancarkan sarana transportasi serta militer di Yogyakarta. Pembangunan bakal menggusur banyak lahan, termasuk tanah milik keluarga besar Diponegoro di Tegalrejo, di sana terdapat makam leluhur Diponegoro di tanah tersebut. Guna mencari solusi Residen Belanda, A.H. Smisaert mengundang Diponegoro buat menemuinya, tetapi undangan itu ditolak. Konflik memuncak ketika dilakukannya pematokan tanah. Diponegoro memerintahkan orang-orangnya mencabut patok-patok tersebut. Perilaku Diponegoro membuat Belanda geram, bahkan Diponegoro dituduh menyiapkan pemberontakan. Pada tangga 20 Juni 1825, pasukan bermeriam didatangkan ke Tegalrejo.
Diponegoro terpaksa mengungsi karna ia belum mempersiapkan diri. Setelah meninggalkan kediamannya, Diponegoro selekasnya menghimpun kekuatan. dia mendapat banyak dukungan dari beberapa bangsawan dari Yogyakarta serta Jawa Tengah yang kecewa dengan keraton maupun Belanda. Salah satunya yakni bangsawan Sentot Prawirodirjo—seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur. Untuk menghadapi tentara Belanda yang diketahui mempunyai senjata-senjata modern, Diponegoro beserta pengikutnya menggunakan strategi gerilya, berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah.
Strategi tersebut berhasil merepotkan tentara Belanda serta menjadi makin repot karna Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awalnya pertempuran banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, serta Lowano (perbatasan Purworejo-Magelang). Perlawanan berpindah ke daerah lain, yakni Gunungkidul, Madiun, Magetan, Kediri, serta sekitar Semarang. Belanda kewalahan menghadapi gerilya Diponegoro beserta pengikutnya. Hingga akhirnya “kompeni” menemukan ide jitu dengan menerapkan strategi Benteng Stelsel. Pelan tapi pasti, caranya yakni dengan membangun benteng-benteng pertahanan dibangun serta terus dijaga seusai tentara Belanda berhasil menguasai daerah yang ditinggalkan Diponegoro. Lama kelamaan pasukan Diponegoro menjadi terjepit, wilayah gerilyanya menjadi menyempit. Banyak pengikut yang kemudian menyerahkan diri termasuk Sentot Prawirodirjo. Kondisi tersebut membuat Diponegoro menerima tawaran berunding dari Jenderal De Kock yang dilaksanakan di Magelang pada 25 Maret 1830. Karena tidak ada titik temu di pertemuan tersebut, Diponegoro beserta sisa balanya pun disergap. Diponegoro kemudian dibuang ke Sulawesi serta meninggal di sana pada 8 Januari 1855.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional
Diponegoro ialah putra Sultan Hamengkubuwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati (putri Bupati dari Pacitan). Sedari kecil ia diasuh oleh neneknya di Tegalrejo. Nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo lahir tanggal 11 Nopember 1785. Sebenarnya, ketika Ontowiryo dewasa ia bakal diangkat menjadi raja oleh ayah handanya, namun dengan bijak menolak karna menyadari Kalau ibunya bukan seorang permasuri. Diponegoro tetap menjadi pangeran serta menduduki jabatan dewan penasihat Keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1820-an campur tangan Pemerintah Hindia Belanda dalam persoalan Kerajaan Yogyakarta makin menjadi. Peraturan tata tertib yang dibuat Pemerintah Belanda sangat merendahkan raja-raja Jawa, para bangsawan diadu domba sehingga dalam istana terdapat golongan yang pro serta yang anti Belanda. Kedua golongan itu saling curiga mencurigai. Sementara itu, tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil buat perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belanda. Karenanya, Diponegoro yang tidak menyukai turut campur Belanda dalam lingkup keraton, memilih meninggalkan istana lalu menetap di Tegalrejo.
ubungan makin memanas antara Diponegoro dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika pemerintah kolonial tersebut berencana membangun jalan buat melancarkan sarana transportasi serta militer di Yogyakarta. Pembangunan bakal menggusur banyak lahan, termasuk tanah milik keluarga besar Diponegoro di Tegalrejo, di sana terdapat makam leluhur Diponegoro di tanah tersebut. Guna mencari solusi Residen Belanda, A.H. Smisaert mengundang Diponegoro buat menemuinya, tetapi undangan itu ditolak. Konflik memuncak ketika dilakukannya pematokan tanah. Diponegoro memerintahkan orang-orangnya mencabut patok-patok tersebut. Perilaku Diponegoro membuat Belanda geram, bahkan Diponegoro dituduh menyiapkan pemberontakan. Pada tangga 20 Juni 1825, pasukan bermeriam didatangkan ke Tegalrejo.
Diponegoro terpaksa mengungsi karna ia belum mempersiapkan diri. Setelah meninggalkan kediamannya, Diponegoro selekasnya menghimpun kekuatan. dia mendapat banyak dukungan dari beberapa bangsawan dari Yogyakarta serta Jawa Tengah yang kecewa dengan keraton maupun Belanda. Salah satunya yakni bangsawan Sentot Prawirodirjo—seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur. Untuk menghadapi tentara Belanda yang diketahui mempunyai senjata-senjata modern, Diponegoro beserta pengikutnya menggunakan strategi gerilya, berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah.
Strategi tersebut berhasil merepotkan tentara Belanda serta menjadi makin repot karna Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awalnya pertempuran banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, serta Lowano (perbatasan Purworejo-Magelang). Perlawanan berpindah ke daerah lain, yakni Gunungkidul, Madiun, Magetan, Kediri, serta sekitar Semarang. Belanda kewalahan menghadapi gerilya Diponegoro beserta pengikutnya. Hingga akhirnya “kompeni” menemukan ide jitu dengan menerapkan strategi Benteng Stelsel. Pelan tapi pasti, caranya yakni dengan membangun benteng-benteng pertahanan dibangun serta terus dijaga seusai tentara Belanda berhasil menguasai daerah yang ditinggalkan Diponegoro. Lama kelamaan pasukan Diponegoro menjadi terjepit, wilayah gerilyanya menjadi menyempit. Banyak pengikut yang kemudian menyerahkan diri termasuk Sentot Prawirodirjo. Kondisi tersebut membuat Diponegoro menerima tawaran berunding dari Jenderal De Kock yang dilaksanakan di Magelang pada 25 Maret 1830. Karena tidak ada titik temu di pertemuan tersebut, Diponegoro beserta sisa balanya pun disergap. Diponegoro kemudian dibuang ke Sulawesi serta meninggal di sana pada 8 Januari 1855.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional