Kutipan Pidato Bung Karno Pada 1 Juni 1945

Presiden Sukarno ketika melawat ke Amerika Serikat 1950an. Foto: Kepustakaan Presiden Perpusnas

- Kedepannya setiap tanggal 1 Juni kita bakal memperingati Hari Lahir Pancasila selaku peringatan serta hari libur nasional. Hal tersebut dipertegas oleh pemerintah dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. 

Hari lahir Pancasila mengacu pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945. Pada hari itu Muhammad Yamin, Soepomo, kemudian Sukarno memaparkan gagasan mengenai dasar negara..


Istilah Pancasila baru diperkenalkan oleh Sukarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Tetapi masih ada proses selanjutnya yakni menjadi Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945 serta juga penetapan Undang-undang Dasar yang juga finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945.

"Berikut ini kutipan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945"

...Kesinilah kita semua perlu menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan „golongan kebangsaan". Kesinilah kita perlu menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan orang mengira kalau tiap-tiap negara merdeka ialah satu nationale staat! Tidak Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen ialah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Tidak bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, ialah nationale staat. Tidak Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar serta Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti perlu menjadi nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu, ialah nationale staat. Kita cuma 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya serta di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, kalau Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, kalau kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, kalau kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang sudah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, kalau tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.

Nationale staat cuma Indonesia  seluruhnya,  yang sudah berdiri dijaman Sri Wijaya serta Majapahit serta yang kini pula kita perlu dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil selaku dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Tidak kebangsaan Jawa,
bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain- lain,tetapi k e b a n g s a a n  I n d o n e s i a, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.

Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau bakal kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: „Saya tidak mau bakal kebangsaan".

Lim Koen Hian: Tidak begitu. Ada sambungannya lagi.

Soekarno : Kalau begitu, maaf, serta saya mengucapkan terima kasih, karna tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau bakal dasar kebangsaan, karna mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang berkata tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata kalau tidak ada bangsa
Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya „menschheid",„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, kalau  a d a         kebangsaan Tionghoa! saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran
kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan memiliki rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min Chu I" atau „The Three
People’s Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh „The Three People"s Principles" itu.

Maka oleh karna itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen selaku penganjurnya, yakinlah, kalau Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur.        (Anggauta-anggauta Tionghoa bertepuk tangan).

Saudara-saudara. Tetapi ........  tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada BAHAYANYA! Bahayanya ialah boleh menjadi orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber Alles". Inilah
bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, memiliki bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia cuma satu bahagian kecil Saja dari pada dunia! Ingatlah bakal hal ini!

Gandhi berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya ialah perikemanusiaan „My nationalism is humanity". Kebangsaan      yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, selaku dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan„Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung serta bermata biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, tengah bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, kalau bangsa Indonesialah yang terbagus serta termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita perlu menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan Saja perlu mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita perlu menuju pula  kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang
saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan „internasionalisme".

Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud  kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang berkata tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, serta lain-lainnya.

Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman- sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 serta prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, ialah bergandengan erat satu sama lain.

Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara buat satu orang, bukan satu negara buat satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua", „satu buat semua, semua buat satu". saya yakin syarat terkuat buat Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.

Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik buat memelihara agama. Kita, sayapun, ialah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna,  -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, serta melihat saya punya hati, tuan-tuan bakal dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.

Dan hati Islam Bung karno ini, mau membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita buat mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya,
agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, serta jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak boleh menjadi utusan- utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal  yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan kalau agama Islam benar-benar  h i d u p  di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan ialah orang Islam, pemuka-pemuka Islam,
ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, Hiduplah Islam Indonesia, serta bukan Islam yang cuma diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal
itu ialah satu bukti, kalau Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karna itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.

Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!

Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam serta saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen mau kalau tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia perlu menurut Injil, bekerjalah mati- matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil,       - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam
pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, serta beras bakal menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan

Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan, saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip  Kesejahteraan , prinsip ketidak bakal ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.  Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy,  sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara- saudara? Jangan saudara kira, kalau kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negra-negara Eropah ialah Badan Perwakilan, ialah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah
di Eropah justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, serta tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tidak lain tidak bukan sebabnya, ialah oleh karna badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche
Revolutie. Tidak lain tidak bukan ialah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah  politik demokrasi saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tidak ada keadilan sosial,  tidak ada ekonomi demokrasi sama sekali.

Saudara-saudara, saya ingat bakal kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang memiliki hak sama. Hak p o l i t i e k  yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?"  Maka oleh karna itu Jean Jaures berkata lagi:  „Wakil kaum buruh yang  mempunyai hak  p o l i t i e k  itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister.

ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik,  - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni  p o l i ti e k - e c o m i s c h e democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!  Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu          Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat mau sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil.

Maka oleh karna itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan Saja persamaan  p o l i t i e k,  saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan  e k o n o m i kita perlu melaksanakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita bakal buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang      bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid serta sociale rechtvaardigheid.

Kita bakal bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. saya ulangi lagi, segala hal bakal kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak bakal memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karna monarchie „vooronderstelt erfelijkheid",  - turun-temurun. Saya
seorang Islam, saya demokrat karna saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam berkata kalau kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, perlu dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita melaksanakan kepala negara, kita pilih. Jikalau
pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, serta mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karna itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.

Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? saya sudah mengemukakan 4 prinsip:

1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme,  -  atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat,   - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial.

Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Prinsip  K e t u h a n a n ! Tidak Saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama".

Dan hendaknya  N e g a r a  Indonesia satu  N e g a r a          yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang be r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadlirin).

Nabi Muhammad s.a.w. sudah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun sudah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: kalau prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah  Ketuhanan yang Berkebudayaan , Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku bakal berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui kalau Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!

Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, bakal mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita bakal bertuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!

Saudara-saudara! „Dasar-dasar Negara" sudah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, tengah kita membicarakan d a s a r. saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita memiliki Panca
Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?

Seorang yang hadir: Pendawa lima.

Soekarno: Pendawapun lima orangya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan serta ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang sobat kita ahli bahasa namanya ialah PANCASILA.  Sila artinya  azas  atau d a s a r,
serta di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal serta abadi.
(Tepuktangan riuh).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel