Ernest Douwes Dekker: Ik Ben Indonesier, Saya Bangsa Indonesia!
Sabtu, Agustus 24, 2019
dia seorang Indo, seorang peranakan Belanda. Akan tetapi, ia mendukung penuh perjuangan kaum bumi putra buat kemerdekaan. dia selalu meneriakkan kata merdeka padahal darahnya mengandung darah Belanda, darah penjajah. Itulah Kenapa ia dimaki selaku pengkhianat, si pembuat onar oleh kaum kolonial. Tapi bagi kaum pergerakan, ia yaitu pejuang sejati. Dalam tulisannya, ia tanpa lelah selalu menyerukan, “Indie los van Hollad”, Indonesia bebas dari Belanda. Dan kepada sesama kaum pergerakan ia selalu menyeru, “Kameraden, stokt de vuren!”, nyalakan Api, Kawan-kawan!. dia tanpa henti selalu mengajak rakyat melawan pemerintah kolonial.
Nama lengkapnya Ernest Eugene Francois Douwes Dekker serta masih mempunyai hubungan kerabat dengan Eduard Douwes Dekker, si Multatuli yang menulis novel terkenal, Max Havelaar. Mungkin nama marga Douwes Dekker memang terlahir selaku pembela kaum pribumi Hindia. dia anak seorang pengusaha yang mampu menjamin hidupnya. Sejak kecil, Nes—sapaan Douwes Dekker, sekolah HBS di Surabaya. dia lalu pindah ke Gymnasium Willem III, suatu sekolah elit
di Batavia. Selepas lulus, Nes bekerja di perkebunan kopi “Soember Doeren” di Malang Jawa Timur lalu berganti di perkebunan tebu di Kraksaan selaku laboran. dia tak betah bekerja karna selalu konflik dengan petinggi perkebunan, konflik terjadi karna Nes membela kaum buruh pribumi.
Sesudah itu, beberapa tahun lamanya ia mengembara di luar negeri. Sebagai sukarelawan, ia turut dalam Perang Boer melawan Inggris di Afrika Selatan pada 1899. dia ditawan Inggris serta di penjarakan di Sri Lanka. Setelah bebas, ia kembali ke Hindia [Indonesia], lalu menjadi wartawan di De Locomotief serta menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad. Rumahnya menjadi tempat berkumpul kaum pergerakan serta lekas mendirikan harian De Express yang banyak memuat karangan buat memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia.
Nama lengkapnya Ernest Eugene Francois Douwes Dekker serta masih mempunyai hubungan kerabat dengan Eduard Douwes Dekker, si Multatuli yang menulis novel terkenal, Max Havelaar. Mungkin nama marga Douwes Dekker memang terlahir selaku pembela kaum pribumi Hindia. dia anak seorang pengusaha yang mampu menjamin hidupnya. Sejak kecil, Nes—sapaan Douwes Dekker, sekolah HBS di Surabaya. dia lalu pindah ke Gymnasium Willem III, suatu sekolah elit
Sesudah itu, beberapa tahun lamanya ia mengembara di luar negeri. Sebagai sukarelawan, ia turut dalam Perang Boer melawan Inggris di Afrika Selatan pada 1899. dia ditawan Inggris serta di penjarakan di Sri Lanka. Setelah bebas, ia kembali ke Hindia [Indonesia], lalu menjadi wartawan di De Locomotief serta menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad. Rumahnya menjadi tempat berkumpul kaum pergerakan serta lekas mendirikan harian De Express yang banyak memuat karangan buat memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia.
Pada tahun 1912, ia ikut mendirikan Indische Partij (IP), partai politik awal yang lahir di Indonesia. Douwes Dekker yakin jika penjajahan dapat ditumbangkan dengan adanya aksi bersama antara semua golongan dalam masyarakat. Golongan Indo dianjurkannya agar bersatu dengan pribumi serta menganggap Hindia [Indonesia] selaku tanah air mereka.
Kegiatan dalam Komite Bumi putera menyebabkan ia berhadapan dengan pengadilan kolonial serta dibuang ke Belanda pada 1913. Komite itu dibentuk buat menentang maksud Pemerintah Belanda merayakan peringatan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Selama dibuang, Nes pergi ke Swiss buat memperdalam ilmunya. Dikala kuliah di Universitas Zurich, Swiss, ia mendaftarkan diri selaku orang Hindia [Indonesia], suku Jawa.
Setelah lima tahun berada dalam pembuangan, ia kembali ke Hindia [Indonesia] serta melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan dengan mendirikan perguruan Kesatria Institut. Di perguruan ini terhadap anak didik ditanamkan rasa kebangsaan. Saat kecamuk perang dunia kedua serta ketika Jepang berancang-ancang masuk Hindia, Nes ditangkap lagi karna dituduh pro Jepang. dia dibuang ke Suriname. Nes baru bisa bebas pada 1946 serta lewat petualangan yang panjang akhirnya bisa tiba di Yogyakarta pada 2 Januari 1947. Di ibu kota, ia disambut hangat pemimpin negara di Gedung Agung. Mereka memeluknya seraya mengucap, “selamat datang Nes”.
Nes lekas berganti nama pribumi, Danudirdja Setiabudhi, atas pemberian Soekarno. dia menjabat menteri negara tanpa portofolio yang cuma bekerja dalam waktu 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, serta terakhir selaku kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Pada class kedua, ia diciduk tentara Belanda pada 21 Desember 1948 di rumahnya di Kaliurang. Setelah interogasi, Nes dikirim ke Jakarta buat ditahan. Nes lekas dibebaskan karna kondisi fisiknya yang Sudah tua. dia lalu dibawa ke Bandung atas permintaannya serta tinggal di jalan Lembang. Di Bandung, ia kembali beraktivitas di Kesatria Institut. Nes wafat dini hari dalam usia 70 tahun serta dimakamkan di TMP Cikutra Bandung. Atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia memberi gelar pahlawan kemerdekaan Indonesia kepada Douwes Dekker pada 1961.
Kegiatan dalam Komite Bumi putera menyebabkan ia berhadapan dengan pengadilan kolonial serta dibuang ke Belanda pada 1913. Komite itu dibentuk buat menentang maksud Pemerintah Belanda merayakan peringatan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Selama dibuang, Nes pergi ke Swiss buat memperdalam ilmunya. Dikala kuliah di Universitas Zurich, Swiss, ia mendaftarkan diri selaku orang Hindia [Indonesia], suku Jawa.
Setelah lima tahun berada dalam pembuangan, ia kembali ke Hindia [Indonesia] serta melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan dengan mendirikan perguruan Kesatria Institut. Di perguruan ini terhadap anak didik ditanamkan rasa kebangsaan. Saat kecamuk perang dunia kedua serta ketika Jepang berancang-ancang masuk Hindia, Nes ditangkap lagi karna dituduh pro Jepang. dia dibuang ke Suriname. Nes baru bisa bebas pada 1946 serta lewat petualangan yang panjang akhirnya bisa tiba di Yogyakarta pada 2 Januari 1947. Di ibu kota, ia disambut hangat pemimpin negara di Gedung Agung. Mereka memeluknya seraya mengucap, “selamat datang Nes”.