Raden Mas Soerjopranoto: De Stakings Koning
Kamis, Agustus 22, 2019
Sekali waktu, keresahan melanda kaum buruh pabrik gula akibat kesewang-wenangan kumpulan tuan-tuan pabrik. Seorang ningrat Jogja lekas bertindak. Pada 20 Agustus 1920, ia gerakkan serikat buruh pabrik gula dalam P.F.B. (Personeel Fabrieks Bond) buat melaksanakan tindakan mogok kerja. Di selatan Yogyakarta, tepatnya pabrik gula Madu Kismo, gerakan mogok massal dilancarkan. Aksi meluas ke beberapa wilayah Hindia Belanda. Koran De Express lekas mengangkat kabar ini serta memberi julukan pada pelaku penggeraknya selaku “De stakings Koning”, si raja Mogok.
Nama aslinya Raden Mas Soerjopranoto dengan nama kecil Iskandar. dia memang tidak setenar adiknya, Ki Hajar Dewantara. Akan tetapi, perjuangannya tidak kalah dengan sang adik. Masa kecil serta remajanya dihabiskan dengan sekolah. dia masuk Europeesche Lagere School (ELS), lalu mengambil Klein Ambtenaren Cursus [Kursus Pegawai Rendah], setingkat dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs [MULO] serta berikutnya masuk ke Middelbare Landbouw School [MLS], Sekolah Pertanian di Buitenzorg [Bogor].
Di sanalah kemudian Soerjopranoto bertemu dengan tokohtokoh pergerakan. Pada 1908, ia pernah berembuk dengan para pelajar STOVIA di Batavia buat membuat perhimpunan, tetapi gagal. Ajan tetapi, langkahnya tidak terhenti begitu saja. Saat ia memutuskan keluar dari dinas pertanian kolonial di Temanggung, ia lekas bergabung dengan Boedi Oetomo, selaku sekretaris cabang Yogyakarta. Soerjopranoto makin bersemangat. Pada 1911, Soerjopranoto masuk Sarekat Islam serta lekas menjadi orang penting. Soerjopranoto menjadi orang kedua dalam partai serta lekas terlibat dengan gerakan buruh milik SI. dia menjadi berani dengan gerakan pemogokan buruh sejak P.F.B. [Personeel Fabrieks Bond].
Pada 12 Februari 1912, ia terlibat dalam pendirian asuransi jiwa O.L.Mij [Onderlonge Levensverzekering Maatschappij] Bumi Putera yang diperuntukkan bagi kaum pribumi. Setelah itu bahkan Soerjopranoto menggagas sendirian Arbeids leger [barisan kerja] Adhi Dharma buat membantu ekonomi kaum pribumi termasuk mendirikan sekolah rakyat pribumi. Soerjopranoto terus bergerak melawan ketidakadilan pemerintah kolonial hingga tiga kali masuk penjara, awal di penjara Malang pada 1923 selama 3 bulan, kedua di Semarang pada 1926 selama 6 bulan, serta ketiga di Sukamiskin Bandung pada 1933 selama 16 bulan.
Soerjopranoto tidak pernah berhenti meski berkali-kali keluar masuk penjara. Pemerintah kolonial lekas membujuknya. dia ditawari menjadi anggota Volksraad, tetapi ditolaknya serta lebih memilih berada di jalan-jalan buat menggerakkan aksi mogok, di tengah-tengah rakyat pribumi.
Sejak Jepang masuk, Soerjopranoto menjadi guru di Taman Siswa milik adiknya, meski juga masuk dalam keanggotaan Cuo Sangi In [dewan pertimbangan]. Selepas kemerdekaan, Soerjopranoto lebih memilih buat mengurangi aktivitas politiknya dengan tetap mengajar di Taman Siswa. Hingga pada 15 Oktober 1959 sedang malam, ia meninggal dunia dalam usia 88 tahun. Jenazahnya lekas dibawa pulang ke Yogyakarta serta dikebumikan di makam keluarga “Rachmat Jati” di Kota Gede. Satu bulan berikutnya, presiden Soekarno memberi gelar pahlawan kemerdekaan Indonesia pada tokoh yang dijuluki orang Belanda selaku “de Javaanse Edelman met een ontembare wil” ini. Seorang bangsawan Jawa dengan tekad yang tidak terjinakkan.
Baca Juga
Soerjopranoto tidak pernah berhenti meski berkali-kali keluar masuk penjara. Pemerintah kolonial lekas membujuknya. dia ditawari menjadi anggota Volksraad, tetapi ditolaknya serta lebih memilih berada di jalan-jalan buat menggerakkan aksi mogok, di tengah-tengah rakyat pribumi.
Sejak Jepang masuk, Soerjopranoto menjadi guru di Taman Siswa milik adiknya, meski juga masuk dalam keanggotaan Cuo Sangi In [dewan pertimbangan]. Selepas kemerdekaan, Soerjopranoto lebih memilih buat mengurangi aktivitas politiknya dengan tetap mengajar di Taman Siswa. Hingga pada 15 Oktober 1959 sedang malam, ia meninggal dunia dalam usia 88 tahun. Jenazahnya lekas dibawa pulang ke Yogyakarta serta dikebumikan di makam keluarga “Rachmat Jati” di Kota Gede. Satu bulan berikutnya, presiden Soekarno memberi gelar pahlawan kemerdekaan Indonesia pada tokoh yang dijuluki orang Belanda selaku “de Javaanse Edelman met een ontembare wil” ini. Seorang bangsawan Jawa dengan tekad yang tidak terjinakkan.