Dinasti Buwaihiyah
Senin, September 16, 2019
Meskipun Mardawaij selalu berhasil mengusir para pemberontak dari ibu kota serta menyatukan kekuasaan, Ali beserta saudara-saudaranya bersatu buat membentangkan kekuasaan di wilayah baru di Persia. Pada tahun 322 Hijriah/934 Masehi, Ali berkuasa di Syiraz serta menjadikannya selaku ibu kota.
Pada tahun 323 Hijriah/935 Masehi, pasukan Mardawaij menyerang Turki serta membunuh Ali bin Buwaih. Sementara itu, saudara Ali yang bernama Hasan mampu menguasai Jibal dikala saudaranya yang bernama Ahmad menaklukkan Kerman.
Pada dikala itu, keadaan di Baghdad kacau-balau sehingga pihak luar dengan gampang ikut campur tangan. Al Muttaqi, yang berkuasa pada 329--333 Hijriah/940--944 Masehi, cuma menjadi bulan bulanan dari mermacam pihak, seperti para panglima yang hendak berkuasa serta Al Baridi, Gubernur Khurasan Muhammad bin Raiq, serta Hamdaniyah. Bahkan, dikala Al Muttaqi berusaha buat bekerja sama dengan Ikhsyid yang berkuasa di Mesir, penguasa Turki, Tauzun, menangkapnya serta mencukil matanya. Putra Al-Muttaqi yang bernama al-Mustaki ternyata tidak lebih baik daripada ayahnya.
)etika para pejabat yang menguasai al Mustaki tidak mampu memenuhi tuntutan pasukan perang negara, yaitu memberikan bayaran kepada mereka, serta para pejabat tidak mampu menangani kelaparan yang mengancam )rak, al Mustaki menggandeng tangan Ahmad bin Buwaih agar menjadi penyelamat. Ahmad pun bergerak dengan pasukannya dari Kerman menuju Irak.
Ahmad menguasai Wasith setelah peperangan sengit antara dia dengan Al Baridi serta Tauzun. Pada akhir tahun 334 Hijriah/945 Masehi, Ahmad memasuki )rak selaku pemenang. al Mustaki memberinya jabatan amirul umara’ serta memberinya gelar Muizzud Daulah.
Apapun yang terjadi, tidak lama kemudian Al Mustaki menyusul para pendahulunya ke alam baka sebab diduga berhubungan dengan musuh Buawihiyah.
Setelah al Mustaki, ada tiga orang khalifah yang menggantikannya, yaitu Al Muthi’, Ath Tha-i’, serta Al Qadir. Namun, mereka tidak lebih dari permainan serta pekerja buat Buwaihiyah. Para khalifah itu tidak memiliki kekuasaan, kecuali secara teori. Sementara itu, kabilah Buwaihiyah yang menguasai pemerintahan terkadang tinggal di Baghdad atau Syiraz, ibu kota mereka sendiri.
Buwaihiyah tidak mampu mempertahankan kekuasaan mereka, kecuali dengan terus-menerus bermusuhan dengan penduduk pegunungan Iran, misalnya kota Dailam yang selalu menampakkan sikap memberontak. Demikian juga kabilah-kabilah Arab di jazirah yang bersikap memusuhi Buwaihiyah setelah runtuhnya Dinasti Hamdaniyah.
Bukan lama kemudian, ketiga pewaris Buwaihiyah berseteru buat memperebutkan jabatan selaku raja. Sejak tahun 366 Hijriah/976 Masehi, Adhudud Daulah bin Hasan bin Buwaih merampas seluruh kekuasaan saudara-saudaraya agar Irak serta Persia menjadi sebuah negara kesatuan.
Bukan lama kemudian, Dinasti Buwaihiyah mengalami kemunduran pada tahun 373 Hijriah/983 Masehi sebab permusuhan di antara pewarisnya. Pada tahun 420 Hijriah/ 1029 Masehi, muncul Mahmud bin Sebaktakain dari Turki yang berhasil menundukkan Majdud Daulah bin Fakhdud Daulah Al Buwaihi yang menguasai wilayah Timur, sebagaimana Tughrulbik dari Saljuk yang pada tahun 447 Hijriah/1055 Masehi menangkap Malik ar Rahim al Buwaihi yang menguasai Irak. Kedua khalifah Dinasti Buwaihiyah itu mengakhiri hidup mereka di bui.
Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada masa Dinasti Buwaihiyah. Pada masa pemerintahan Adhudud Daulah, pembangunan rumah sakit Al-Adhudi dimulai serta selesai pada tahun 368 Hijriah/978 Masehi. Rumah sakit itu baru diresmikan pada tahun 372 Hijriah/983 Masehi. Hebatnya, rumah sakit itu sudah dilengkapi dengan obat serta tumbuhan obat serta peralatan yang memadai. Bahkan, pada tiap bidang ada dokter spesialis yang membidangi. Termasuk dokter tenar di rumah sakit tersebut yaitu Abu Hasan al-Ahwazi, salah seorang dokter bedah terpenting pada Abad Keempat Hijriah. ia digelari Al-Muhallil li Ilmi Thib sebab pendapatnya yang mengkritik kitab-kitab kuno dokter Yunani, seperti Socrates serta Galenos. ia meninggal di Baghdad tahun 384 Hijriah/994 Masehi. Peninggalannya yang terpenting yaitu ensiklopedia ilmiah yang berjudul Kamil ashShina’ah ath-Thibiyah.
Termasuk dokter kenamaan pada periode ini yaitu Abu Sahl al-Kuhi yang meninggal pada tahun 390 Hijriah/ 1000 Masehi, yang juga ahli astronomi serta isika. ia lahir di kota )uh di pegunungan Tabaristan, kemudian hijrah ke Baghdad. Di Baghdad, dia menimba ilmu politik. Syarafud Daulah bin Adhudud Daulah al-Buwaihi memintanya membuat tempat pengamatan cakrawala di Baghdad serta mengajarkan pelajaran pengamatan bintang. Al Kuhi lalu mendirikan tempat pengamatan bintang yang kuat serta kokoh agar tidak berubah sebab getaran. Al Kuhi juga unggul dalam membuat alat pengamatan cakrawala. Hal tersebut terlihat jelas dalam kitabnya, Shun’ah al-Ishthirlab bi al-Barahin.
Tokoh lainnya yang muncul pada era ini yaitu ahli astronomi serta ahli eksakta Abu Wafa’ alBauzajani 328--376 Hijriah/940--986 Masehi. Al-Bauzajani berhasil menjadikan dirinya orang besar yang selalu dikenang di Baghdad sehingga memiliki hubungan yang baik dengan Dinasti Buwaih. Ketika Syarafud Daulah al-Buwaihi membuat tempat pengamatan cakrawala di Baghdad, Al-Bauzajani termasuk bawahan Abu Sahl al-Kuhi.