Menghadapi Agresi Militer Belanda I
Minggu, September 15, 2019
Agresi terbuka Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia. Pada tanggal 30 Juli pemerintah India serta Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia lekas dimasukkan dalam daftar acara Dewan Keamanan. Permintaan itu diterima baik serta pada tanggal 31 Juli dimasukkan dalam acara pembicaraan Dewan Keamanan. Tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 1947.
Sementara itu buat mengawasi gencatan senjata dibentuk Komisi Konsuler. Dewan Keamanan yang memperdebatkan masalah Indonesia akhirnya menyetujui usulan Amerika Serikat. Bahwa buat mengawasi penghenetian ini perlu dibentuk suatu komisi jasa-jasa baik. Indonesia serta Belanda dipersilahkan buat memilih satu negara yang dipercayai mengawasi penghentian permusuhan Pemerintah Indonesia meminta Australia menjadi angota komisi, serta Belanda memilih Belgia. Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia diwakili Paul Van Seland, serta Amerika diwakili Dr. Frank Graham. Komite ini di Indonesia diketahui dengan Komisi Tiga Negara (KTN).
Dalam masalah militer KTN mengambil inisiatif, tetapi di dalam masalah politik KTN cuma memberikan saran serta usulan, tidak memiliki hak buat memasukkan persoalan politik. KTN mulai bekerja di Indonesia pada bulan Oktober 1947. Setelah KTN mengadakan pembicaraan dengan kedua belah pihak akhirnya disepakati buat kembali ke meja prundingan. Belanda mengajukan Jakarta selaku tempat perundingan, tetapi ditolak oleh pihak Republik. Republik menganggap di Jakarta tidak ada kebebasan buat menjelaskan pendapat, Republik menginginkan perundingan dilaksanakan di luar daerah yang dikuasai Belanda. KTN mengambil jalan tengah serta mengusulkan kedua belah pihak menerima tempat perundingan di atas sebuah Kapal Amerika Serikat yang disediakan atas permintaan KTN.
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden menunjuk Mr. Amir Sjarifudin buat menyusun kabinet baru. Perundingan dengan Belanda delegasi Republik dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifudin. Perundingan yang diselenggarakan di atas Kapal Renville dibuka pada tanggal 8 Desember 1947 di bawah pimpinan Hermans wakil Belgia dalam KTN. Sementara itu perundingan Komisi Taktis mengalami jalan buntu. Hal ini disebabkan karna Belanda menolak saran dari KTN buat melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB.
Pihak Belanda tidak mau berunding masalah politik sebelum gencatan senjata beres. Karena macetnya perundingan, pemerintah Indonesia mengeluarkan keterangan mengenai sebab-sebab kemacetan tersebut dinyatakan pihak Belanda cuma menyetujui hal-hal yang menguntungkan dirinya. Kecepatan gerakan pasukan Belanda menunjukkan keinginan buat menduduki daerah seluas barangkali dengan dalih mengadakan operasi-operasi pembersihan berdasarkan mereka yang terdepan. Namun situasi pada tanggal 4 Agustus 1947 menunjukkan Apabila pihak Belanda cuma menduduki kotakota saja, di luar kota pemerintahan RI serta TNI tetap aktif.
Untuk mengatasi kemacetan perundingan ini KTN mengajukan usulan baru supaya kedua belah pihak berunding dulu dengan KTN. Dari hasil perundingan itu KTN menyimpulkan Apabila persetujuan Linggarjati dapat dijadikan dasar perundingan namun terdapat kesulitan mengenai gencatan senjata, karna Belanda tetap menekankan pada tuntutan pada garis Van Mook, sedangkan pihak Republik menolak wakil Australia mengusulkan daerah demiliterisasi yang diawsai oleh polisi. Pasukan masing-masing diundurkan sejauh 10 km, kemudian KTN memberikan usul politik yang didasari atas persetujuan Linggarjati, yaitu:
1) kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
2) kerjasama Indonesia Belanda.
3) suatu negara yang berdaulat atas dasar federasi.
4) Uni antara Indonesia Serikat serta bagian lain kerajaan Nederland.
Sebagai balasan usulan KTN pihak Belanda mengajukan 12 prinsip politik buat disampaikan pada pihak Republik. Prinsip-prinsip Belanda di antaranya yaitu menghidupkan kegiatan ekonomi, tetapi dalam usul itu tidak ada masalah mengenai penarikan pasukan Belanda, Belanda menjelaskan itu yaitu usaha mareka terakhir, apabila ditolak Belanda tidak dapat melanjutkan perundingan serta RI diberi 48 jam buat menjawabnya. KTN menyadari sikap Belanda ini situasi berbahaya. Untuk mengatasi hal ini KTN mengajukan 6 prinsip tambahan buat mencapai penyelesaian politik. Karena prinsip-prinsip itu disampaikan kepada dua belah pihak, pemerintah RI mendapatkan jaminan dari KTN, Apabila kekuasaan Republik tidak berkurang selama peralihan sampai diserahkan kedaulatan Belanda kepada negara federasi Indonesia.
Pihak Belanda berjanji juga bakal menerima usulan KTN. Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1947 kedua belah pihak bertemu di atas kapal Renvile buat menandatangani persetujuan gencatan senjata serta prinsip-prinsip politik yang Telah disetujui bersama KTN. Sementara berlangsung perundingan pihak Belanda terus berusaha membentuk negara-negara boneka. Konferensi Jawa Barat II diselengarakan di Bandung pada tanggal 16-19 Desember 1947 buat menentukan status Jawa Barat. Menyatakan Apabila Jawa Barat yaitu bagian dari RI serta status Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari RI. Di samping itu Belanda juga membentuk Komite Indonesia Serikat serta membentuk Negara Indonesia Timur.
Sumber: Kebijakan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal 1950-1959 oleh Yosep Hengki Utama Riawan
Sementara itu buat mengawasi gencatan senjata dibentuk Komisi Konsuler. Dewan Keamanan yang memperdebatkan masalah Indonesia akhirnya menyetujui usulan Amerika Serikat. Bahwa buat mengawasi penghenetian ini perlu dibentuk suatu komisi jasa-jasa baik. Indonesia serta Belanda dipersilahkan buat memilih satu negara yang dipercayai mengawasi penghentian permusuhan Pemerintah Indonesia meminta Australia menjadi angota komisi, serta Belanda memilih Belgia. Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia diwakili Paul Van Seland, serta Amerika diwakili Dr. Frank Graham. Komite ini di Indonesia diketahui dengan Komisi Tiga Negara (KTN).
Dalam masalah militer KTN mengambil inisiatif, tetapi di dalam masalah politik KTN cuma memberikan saran serta usulan, tidak memiliki hak buat memasukkan persoalan politik. KTN mulai bekerja di Indonesia pada bulan Oktober 1947. Setelah KTN mengadakan pembicaraan dengan kedua belah pihak akhirnya disepakati buat kembali ke meja prundingan. Belanda mengajukan Jakarta selaku tempat perundingan, tetapi ditolak oleh pihak Republik. Republik menganggap di Jakarta tidak ada kebebasan buat menjelaskan pendapat, Republik menginginkan perundingan dilaksanakan di luar daerah yang dikuasai Belanda. KTN mengambil jalan tengah serta mengusulkan kedua belah pihak menerima tempat perundingan di atas sebuah Kapal Amerika Serikat yang disediakan atas permintaan KTN.
Kapal Perang Amerika USS Renville
Sebelum itu sudah dibentuk suatu komisi buat melaksanakan gencatan senjata, yang disebut Komite Taktis. Di dalam perundingan Komisi Taktis yang Telah dilakukan, usulan mengenai daerah batas militer dianggap kurang praktis, serta Belanda tetap mempertahankan garis Van Mook, yakni suatu garis yang menghubungkan pucuk-pucuk pasukan Belanda yang dimajukan sesudah keluar perintah dari Dewan Keamanan buat menghentikan permusuhan. Kemudian mareka mengeluarkan pernyataan dari tempat perundingan di Kaliurang, yang berisikan dilarang menggelar sabotase, intimidasi, pembalasan dendam, serta tindakan yang semacamnya terhadap orang-orang atau masyarakat.Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden menunjuk Mr. Amir Sjarifudin buat menyusun kabinet baru. Perundingan dengan Belanda delegasi Republik dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifudin. Perundingan yang diselenggarakan di atas Kapal Renville dibuka pada tanggal 8 Desember 1947 di bawah pimpinan Hermans wakil Belgia dalam KTN. Sementara itu perundingan Komisi Taktis mengalami jalan buntu. Hal ini disebabkan karna Belanda menolak saran dari KTN buat melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB.
Pihak Belanda tidak mau berunding masalah politik sebelum gencatan senjata beres. Karena macetnya perundingan, pemerintah Indonesia mengeluarkan keterangan mengenai sebab-sebab kemacetan tersebut dinyatakan pihak Belanda cuma menyetujui hal-hal yang menguntungkan dirinya. Kecepatan gerakan pasukan Belanda menunjukkan keinginan buat menduduki daerah seluas barangkali dengan dalih mengadakan operasi-operasi pembersihan berdasarkan mereka yang terdepan. Namun situasi pada tanggal 4 Agustus 1947 menunjukkan Apabila pihak Belanda cuma menduduki kotakota saja, di luar kota pemerintahan RI serta TNI tetap aktif.
Untuk mengatasi kemacetan perundingan ini KTN mengajukan usulan baru supaya kedua belah pihak berunding dulu dengan KTN. Dari hasil perundingan itu KTN menyimpulkan Apabila persetujuan Linggarjati dapat dijadikan dasar perundingan namun terdapat kesulitan mengenai gencatan senjata, karna Belanda tetap menekankan pada tuntutan pada garis Van Mook, sedangkan pihak Republik menolak wakil Australia mengusulkan daerah demiliterisasi yang diawsai oleh polisi. Pasukan masing-masing diundurkan sejauh 10 km, kemudian KTN memberikan usul politik yang didasari atas persetujuan Linggarjati, yaitu:
1) kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
2) kerjasama Indonesia Belanda.
3) suatu negara yang berdaulat atas dasar federasi.
4) Uni antara Indonesia Serikat serta bagian lain kerajaan Nederland.
Sebagai balasan usulan KTN pihak Belanda mengajukan 12 prinsip politik buat disampaikan pada pihak Republik. Prinsip-prinsip Belanda di antaranya yaitu menghidupkan kegiatan ekonomi, tetapi dalam usul itu tidak ada masalah mengenai penarikan pasukan Belanda, Belanda menjelaskan itu yaitu usaha mareka terakhir, apabila ditolak Belanda tidak dapat melanjutkan perundingan serta RI diberi 48 jam buat menjawabnya. KTN menyadari sikap Belanda ini situasi berbahaya. Untuk mengatasi hal ini KTN mengajukan 6 prinsip tambahan buat mencapai penyelesaian politik. Karena prinsip-prinsip itu disampaikan kepada dua belah pihak, pemerintah RI mendapatkan jaminan dari KTN, Apabila kekuasaan Republik tidak berkurang selama peralihan sampai diserahkan kedaulatan Belanda kepada negara federasi Indonesia.
Pihak Belanda berjanji juga bakal menerima usulan KTN. Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1947 kedua belah pihak bertemu di atas kapal Renvile buat menandatangani persetujuan gencatan senjata serta prinsip-prinsip politik yang Telah disetujui bersama KTN. Sementara berlangsung perundingan pihak Belanda terus berusaha membentuk negara-negara boneka. Konferensi Jawa Barat II diselengarakan di Bandung pada tanggal 16-19 Desember 1947 buat menentukan status Jawa Barat. Menyatakan Apabila Jawa Barat yaitu bagian dari RI serta status Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari RI. Di samping itu Belanda juga membentuk Komite Indonesia Serikat serta membentuk Negara Indonesia Timur.
Sumber: Kebijakan Politik Pemerintah RI Masa Demokrasi Liberal 1950-1959 oleh Yosep Hengki Utama Riawan