Masa Kemunduran Kerajaan Aceh
Senin, Oktober 14, 2019
Kemunduran kerajaan Aceh diawali masa dikala sepeninggal Sultan Iskandar Muda pada tahun 1636, sepeninggal Sultan Iskandar Muda tampuk keuasaan digantikan oleh menantunya, yaitu Sultan Iskandar Tsani yang kemudian memerintah selama 5 tahun dalam kurun 1636-1641. Sultan Iskandar Tsani memiliki sikap yang berbeda dengan Sultan Iskandar Muda dalam menanggapi kaum Kolonialis atau bangsa asing. Sultan Iskandar Tsani bersikap sangat terbuka serta kompromistis terhadap kaum Kolonialis atau bangsa asing, baik terhadap Belanda, Inggris ataupun Portugis.
Semenjak Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani, tanda-tanda kemunduran mulai tampak. Hal ini tidak lepas dari adanya pengaruh campur tangan bangsa asing yang mendapat kesempatan dari sultan secara longgar dalam urusan perdagangan serta politik dengan pemerintahan Aceh. Kemunduran Aceh ini makin terlihat setelah Sultan Iskandar Tsani wafat yang kemudian digantikan isterinya yaitu Sultanah Tajul Alam Syaituddin Syah, yang memerintah pada tahun 1641-1675. Dalam pemerintahan yang cukup lama selama kurang lebih 34 tahun kekuasaan Aceh menjadi sangat lemah dimata daerah bawahannya. Wilayah Aceh yang meliputi daerah-daerah tidak dapat lagi dikuasai oleh Sultanah sehingga Nampak seolah-olah tidak ada lagi kekuatan buat mempertahankannya. Hingga pada akhirnya banyak daerah bawahan yang melepaskan diri dari kekuasaan Aceh.
Masalah yang lain pun mulai bermunculan. Seperti halnya dalam masalah ekonomi yang makin terpuruk akibat ulah pedagang-pedagang asing yang makin berkuasa serta sudah mulai menerapkan politik adu dombanya. Sementara situasi dalam negeri sudah nampak tidak sehat karna para kapitalis makin meraja lela dalam penguasaan di bidang materi tanpa ambil peduli suasana perekonomian kerajaan yang tengah dilanda resesi berat.
Terpaksa Sultanah mengambil tindakan menjalin kerja sama dengan Belanda. tahap ini dilakukan semata-mata buat mempertahankan Aceh dari gilasan serta serbuan kaum Kolonialis Portugis sebagaimana yang terjadi di Malaka. Tanpa diperhitungkan terlebih dahulu Kalau niat buat memonopoli sudah bersarang di hati Belanda semenjak mereka menginjakkan kakinya di bumi Nusantara ini, maka sikap Sultanah tersebut dijadikan suatu momentum buat lebih menancapkan cengkeraman kuku imperialisme Belanda yang dimulai di Aceh. hal ini terbukti dengan mermacam fasilitas serta kesempatan yang diberikan secara leluasa kepada mereka. maka akhirnya Belanda mendirikan kantor dagang mereka di Padang serta Salida.
Walaupun tindakan Belanda itu akhirnya diperingatkan oleh Sultanah, namun rupanya mereka sudah tidak menghiraukan peringatan tersebut. Sultanah Tajul Alam Syaiatuddin Syah wafat tahun 1675 serta digantikan oleh sultan wanita Nurul Alam Nakiatuddin (tak jelas asal usulnya) yang memerintah mulai tahun 1675-1678. Kehadirannya Sultanah belum bisa mengentaskan kerajaan Aceh dari mermacam kemelut dan permasalahan internal maupun eksternal yang ada. Begitu pula dikala digantikan oleh puterinya Raja Sertia, Aceh tetap dirundung kemelut yang berkepanjangan. Baru setelah ulamaulama serta tokoh masyarakat Aceh melancarkan perlawanan terhadap kompeni pada tahun 1873-1904, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar serta ïsterinya, Cik Di Tiro. Panglima Polim serta lain-lain, kerajaan Aceh mulai naik lagi kharismanya.
Dari permasalahan yang terjadi setelah kematian dari Sultan Iskandar Muda dapat disimpulkan Kalau terdapat dua faktor penting yang mengakibatkan kemunduran kerajaan Aceh Darussalam: kedua faktor tersebut ialah faktor intern serta faktor ekstern. Faktor intern, yang awal diakibatkan oleh lemahnya sultan-sultan pengganti Sultan Iskandar Muda dalam mengendalikan jalannya pemerintahan, yang berimbas lepasnya daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Aceh serta berusaha berdiri sendiri-sendin sehingga lebih memudahkan pihak luar buat memecah belah persatuan. Kedua, banyaknya kaum kapitalis dalam negeri yang tidak pedulikan lagi kesulitankesulitan yang dialami oleh kerajaan terutama di bidang ekonomi akibat serta sistem perekonomian yang diterapkan kaum kolonial. Kenyataan ini kemudian menyeret Aceh mengambil sikap kompromi dengan Kompeni.
Faktor ekstern, adanya campur tangan dari pihak Asing ; baik secara langsung atau tidak langsung. hal ini berawal dari kegagalan kerajaan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagai akibatnya para penerus Sultan Iskandar Muda terpaksa memberi kelonggaran kepada Belanda buat berdagang di wilayah Aceh karna Sudah membantunya dalam penerangan Malaka. Campur tangan ini akhirnya berlanjut terus menerus tanpa bisa ditolaknya oleh pewaris-pewaris tahta berikutnya.
Semenjak Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani, tanda-tanda kemunduran mulai tampak. Hal ini tidak lepas dari adanya pengaruh campur tangan bangsa asing yang mendapat kesempatan dari sultan secara longgar dalam urusan perdagangan serta politik dengan pemerintahan Aceh. Kemunduran Aceh ini makin terlihat setelah Sultan Iskandar Tsani wafat yang kemudian digantikan isterinya yaitu Sultanah Tajul Alam Syaituddin Syah, yang memerintah pada tahun 1641-1675. Dalam pemerintahan yang cukup lama selama kurang lebih 34 tahun kekuasaan Aceh menjadi sangat lemah dimata daerah bawahannya. Wilayah Aceh yang meliputi daerah-daerah tidak dapat lagi dikuasai oleh Sultanah sehingga Nampak seolah-olah tidak ada lagi kekuatan buat mempertahankannya. Hingga pada akhirnya banyak daerah bawahan yang melepaskan diri dari kekuasaan Aceh.
Masalah yang lain pun mulai bermunculan. Seperti halnya dalam masalah ekonomi yang makin terpuruk akibat ulah pedagang-pedagang asing yang makin berkuasa serta sudah mulai menerapkan politik adu dombanya. Sementara situasi dalam negeri sudah nampak tidak sehat karna para kapitalis makin meraja lela dalam penguasaan di bidang materi tanpa ambil peduli suasana perekonomian kerajaan yang tengah dilanda resesi berat.
Terpaksa Sultanah mengambil tindakan menjalin kerja sama dengan Belanda. tahap ini dilakukan semata-mata buat mempertahankan Aceh dari gilasan serta serbuan kaum Kolonialis Portugis sebagaimana yang terjadi di Malaka. Tanpa diperhitungkan terlebih dahulu Kalau niat buat memonopoli sudah bersarang di hati Belanda semenjak mereka menginjakkan kakinya di bumi Nusantara ini, maka sikap Sultanah tersebut dijadikan suatu momentum buat lebih menancapkan cengkeraman kuku imperialisme Belanda yang dimulai di Aceh. hal ini terbukti dengan mermacam fasilitas serta kesempatan yang diberikan secara leluasa kepada mereka. maka akhirnya Belanda mendirikan kantor dagang mereka di Padang serta Salida.
Walaupun tindakan Belanda itu akhirnya diperingatkan oleh Sultanah, namun rupanya mereka sudah tidak menghiraukan peringatan tersebut. Sultanah Tajul Alam Syaiatuddin Syah wafat tahun 1675 serta digantikan oleh sultan wanita Nurul Alam Nakiatuddin (tak jelas asal usulnya) yang memerintah mulai tahun 1675-1678. Kehadirannya Sultanah belum bisa mengentaskan kerajaan Aceh dari mermacam kemelut dan permasalahan internal maupun eksternal yang ada. Begitu pula dikala digantikan oleh puterinya Raja Sertia, Aceh tetap dirundung kemelut yang berkepanjangan. Baru setelah ulamaulama serta tokoh masyarakat Aceh melancarkan perlawanan terhadap kompeni pada tahun 1873-1904, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar serta ïsterinya, Cik Di Tiro. Panglima Polim serta lain-lain, kerajaan Aceh mulai naik lagi kharismanya.
Dari permasalahan yang terjadi setelah kematian dari Sultan Iskandar Muda dapat disimpulkan Kalau terdapat dua faktor penting yang mengakibatkan kemunduran kerajaan Aceh Darussalam: kedua faktor tersebut ialah faktor intern serta faktor ekstern. Faktor intern, yang awal diakibatkan oleh lemahnya sultan-sultan pengganti Sultan Iskandar Muda dalam mengendalikan jalannya pemerintahan, yang berimbas lepasnya daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Aceh serta berusaha berdiri sendiri-sendin sehingga lebih memudahkan pihak luar buat memecah belah persatuan. Kedua, banyaknya kaum kapitalis dalam negeri yang tidak pedulikan lagi kesulitankesulitan yang dialami oleh kerajaan terutama di bidang ekonomi akibat serta sistem perekonomian yang diterapkan kaum kolonial. Kenyataan ini kemudian menyeret Aceh mengambil sikap kompromi dengan Kompeni.
Faktor ekstern, adanya campur tangan dari pihak Asing ; baik secara langsung atau tidak langsung. hal ini berawal dari kegagalan kerajaan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagai akibatnya para penerus Sultan Iskandar Muda terpaksa memberi kelonggaran kepada Belanda buat berdagang di wilayah Aceh karna Sudah membantunya dalam penerangan Malaka. Campur tangan ini akhirnya berlanjut terus menerus tanpa bisa ditolaknya oleh pewaris-pewaris tahta berikutnya.