Kerajaan Makassar

Sulawesi selatan yaitu salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai catatan sejarah tentang kerajaan Islam kuno, cerita tentang keberanian rakyat Makassar atau suku Bugis, atau tentang sosok Sultan Hasanuddin yang begitu disegani oleh Belanda, sehingga tidak salah kalau Belanda memberikan julukan De Haantjes van Het Oosten atau Si Ayam Jantan dari Timur. Lahirnya kehidupan besar di Sulawesi Selatan tidak lepas dari geograis daerah Sulawesi Selatan itu sendiri yang mempunyai posisi yang sangat strategis, sebab letaknya yang berada di jalur pelayaran perdagangan Nusantara, sebuah posisi antara perjalanan dari Jawa buat menuju ke Maluku ataupun Manila, sebuah tempat transit yang berada antara sumber dagang serta tempat Bandar-bandar besar di Jawa, Makassar pun menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia bagian Barat. Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makassar cepat berkembang menjadi kerajaan besar serta berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.

Di Sulawesi Selatan terdapat salah satu kerajaan Islam terbesar, yaitu kerajaan Makassar, kerajaan yang merupakan ailiasi dari kerajaan Gowa serta Tallo, sebelum bahas lebih jauh tentang kerajaan Makassar maka alangkah lebih baiknya kita membahas kerajaan Gowa serta Tallo yang pada akhirnya nanti bakal menjadi kesatuan serta membentuk kerjaan Makassar. Kesultanan Gowa atau Terkadang ditulis Goa, pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang diketahui dengan nama Bate Salapang atau Sembilan Bendera, yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, ParangParang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero serta Kalili. Melalui mermacam cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung buat membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung selaku pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang kesatu yaitu Batara Guru serta saudaranya.

Menurut mitologi awal mula kerajaan Gowa diceritakan selaku berikut, mula-mula sebelum kedatangan Tomanurung di suatu wilayah yang nantinya bakal menjadi bagian dari kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut dengan Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang yang merupakan gabungan atau federasi dari suatu kelompok. Kesembilan nama pemerintahan otonom tersebut yaitu Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling serta Serro. Pada mulanya kesembilan pemerintahan otonom tersebut hidup berdampingan dengan damai, namun seiring dengan berjalannya waktu munculah perselisihan serta persaingan sebab adanya kecenderugnan buat menunjukkan siapa yang lebih perkasa serta siapa yang paling banyak mengadakan ekspansi kedaerah-daerah. Hingga akhirnya sebab dirasakan berdampak buruk pada hubungan yang sudah terjalin lama, maka disepakatilah buat mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom tersebut kemudian sepakat buat memilih seorang menjadi pemimpin di antara mereka. Pemimpin yang bakal memimpin mereka diberi gelar Paccallaya. Setelah adanya Paccalaya yang menjadi pemimpin ditengahtengah mereka pun ternyata tidak membuat rivalitas dalam menunjukkan siapa diantara mereka yang paling hebat berakhir, sebab masing-masing wilayah berambisi buat menjadi ketua Bate Selapang.

Baca Juga


Pada ketika terjadi keributan antara kesembilan daerah tersebut, tersiarlah Kabar kalau di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit Tamalate, muncul seorang putri yang memancarkan cahaya dengan memakai dokoh yang indah. Mendengar adanya Kabar tersebut, Paccallaya serta Bate Salapang bergegas mendatangi tempat itu, alkisah kedua orang tersebut setelah sampai ditujuan tidak mendapati putri tersebut, kemudian mereka melihat sebuah cahaya di bukit Tamalame, mereka kemudian duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita cantik yang tidak lain yaitu putri yang mereka cari, seorang putri yang tidak diketahui nama serta asal-usulnya.

Oleh sebab itu, mereka akhirnya sepakat buat menyebutnya dengan Tomanurung. Lalu, Paccallaya bersama Bate Salapang mengatakan pada Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari buat mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di negeri kami serta sombaku lah yang merajai kami”. Oleh Tomanurung permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit serta berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa” yang artinya kurang lebih yaitu sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa.

Bukan lama kemudian datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo serta Laki Padada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya serta kasuwiyang yang masih bersama Tomanurung kemudian mengutarakan maksud serta tujuan mereka dengan memperkenalkan kedua pemuda tersebut, yaitu agar Karaeng Bayo serta Tomanurung dapat dinikahkan dengan harapan keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudian semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang pada intinya mengatur tentang hak, wewenang serta kewajiban orang yang memerintah serta diperintah. Ketentuan tersebut berjalan hingga ketika Tomanurung serta Karaeng Bayo menghilang, yaitu pada ketika Tumassalangga Baraya lahir. Tumassalangga Baraya yaitu anak tunggal dari Tomanurung serta Karaeng Bayo.

Tumassalangga Baraya inilah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa. Hingga berjalannya waktu kerajaan Gowa mencapai puncak keemasannya pada abad ke XVI yang pada ketika itu lebih terkenal dengan sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo” atau disebut pula dengan zusterstaten (kerajaan bersaudara) oleh Belanda. Dimulainya menjadi kerajaan Dwi-Tunggal ini pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumaparissi Klonna (1510-1545), serta persatuan kekuatan kedua kerajaan ini sangat sulit dipisahkan sebab kedua kerajaan Sudah mengungkap ikrar buat saling bersama, ikrar tersebut terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” yang artinya “Dua Raja tetapai satu rakyat”. Semakin berkembang kerajaan tersebut di daerah Makassar akhirnya kesatuan dua kerajaan itu disebut dinamai Kerajaan Makassar.

Gowa merupakan kerajaan terbesar setelah Kerajaan Sriwijaya serta Majapahit yang pernah berdiri serta berkuasa di wilayah nusantara. Pernyataan tersebut didasarkan pada faktafakta sejarah yang ada. Kerajaan Gowa diperkirakan sudah berdiri sejak awal abad ke-13 M, di mana masyarakat serta penguasa Kerajaan Gowa menganut kepercayaan animisme. Seiring dengan berkembangnya Gowa menjadi pusat perdagangan di kawasan timur nusantara, para saudagar Muslim mulai berniaga ke wilayah itu. Perlahan tapi pasti, interaksi yang cukup sering antara pedagang Arab serta Pribumi membuat pengetahuan tentang agama Islam secara perlahan mulai dipahami oleh pribumi sampai akhirnya ajaran Islam pun mulai bersemi di daerah kekuasaan Kerajaan Gowa.

Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata Gowayang menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi serta perkiraan antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang berarti kamar atau bilik/ perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/ perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai buat mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasidi bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga leburlah Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII(1320).

Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan sendiri dilakukan oleh Datuk Ri Bandang yang berasal dari Sumatera. Sampai akhirnya pada abad 17 agama Islam sudah berkembang pesat di Sulawesi Selatan. Kala itu, agama Islam ternyata Selain menarik minat masyarakat tapi juga para penguasa kerajaan. Menurut Ensiklopedi Islam (diterbitkan oleh penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve), penguasa Gowa kesatu yang memeluk Islam yaitu I Manga’rangi Daeng Manra’bia (raja Gowa ke-14) dengan gelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639 M) yang kemudian diikuti oleh Raja Tallo Daeng Manrabia yang bergelar Sultan Abdullah.

Sejak 1605 M (8 tahun setelah Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna menjabat selaku raja Kerajaan Gowa), Islam dijadikan selaku agama resmi serta akhirnya Kerajaan Gowa bermetamorfosis menjadi sebuah kesultanan. Setelah Sultan Alauddin wafat pada 1639, tahta Kesultanan Gowa dilajutkan oleh I Mannuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid. Sultan Malikussaid merupakan penguasa Gowa ke-15. ia wafat pada 1653 setelah memerintah selama 14 tahun (1639-1653).

Di samping Kerajaan Tallo, Bone, Sopeng, Wajo serta Sidenreng yang berdiri di daerah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa yaitu salah satu kerajaan besar serta paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan pada abad ke 16. Mayoritas rakyat dari kerajaan Gowa berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan serta pesisir barat Sulawesi. Dari sejumlah kerajaan itu, akhirnya kerajaan Gowa serta Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, yang pada akhirnya melahirkan kerajaan yang lebih diketahui dengan nama Kerajaan Makassar dengan raja yang paling terkenal yaitu Sultan Hasanuddin.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel