Kiai Haji Zainul Arifin: Dari Gemeente Hingga Ketua Dprgr
Senin, Agustus 19, 2019
Dia ketika itu Telah menjadi ketua DPR Gotong Royong [DPRGR]. Akan tetapi, suhu politik yang panas perlu membuatnya berkorban nyawa. Pada 14 Mei 1962, ia berada dalam saf paling depan bersama presiden ketika salat Idul Adha. Saat itulah tiba-tiba seorang yang dianggap bagian gerakan DI/TII menembakkan pistol ke depan. Sebuah percobaan pembunuhan terhadap presiden sedang dilakukan, tetapi peluru justru mengarah pada Zainul. Dia tertembak di bagian bahu serta hampir sepuluh bulan berselang, ia meninggal dunia.
Zainul Arifin yakni anak tunggal keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Dia menyelesaikan HIS [Hollands Indische School] serta Normal School, sekolah guru, di Jambi. Dia juga belajar agama di Madrasah serta berlatih pencak silat. Saat usia 16 tahun, ia merantau ke Batavia. Di kota ini, ia bekerja selaku pegawai Gemeente [pegawai Kotapraja]. Dia cuma bertahan lima tahun, setelahnya ia aktif selaku guru di Meester Cornelis [Jatinegara], mendirikan kelompok sandiwara musikal tradisional Betawi Tonil Zainul serta giat pula dalam gerakan pemuda Ansor hingga menjadi pengurus NU [Nahdatul Ulama] hingga datangnya Jepang pada 1942.
Pemerintah Pendudukan Jepang melarang partai-partai politik berdiri. NU tak luput dari larangan ini. Jepang lalu mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia [Masyumi] selaku satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul memasuki organisasi ini serta diangkat selaku Kepala Bagian Umum. Di masa ini pula ia mengikuti latihan militer selama dua bulan, kemudian diangkat menjadi Panglima Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggota-anggotanya terdiri atas pemuda-pemuda Islam.
Selepas Proklamasi Kemerdekaan, ia tetap duduk dalam Pucuk Pimpinan Hizbullah. Laskar ini kemudian digabungkan ke dalam Tentara Nasional Indonesia [TNI]. Setelah penggabungan ini, ia diangkat selaku sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. tidak cuma itu, ia duduk pula selaku anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat [BK KNIP]. Sesudah Pengakuan Kedaulatan, ia diangkat menjadi anggota DPRS [Dewan Perwakilan Rakyat Sementara] dari tahun 1950-1953. Dia juga pernah duduk selaku Wakil II Perdana Menteri. Selepas pembubaran dewan Konstituante selepas dekrit presiden 5 Juli 1959 serta terbentuk DPRGR [DPR Gotong Royong], Zainul diangkat menjadi Ketuanya.
Dia terus berkiprah dalam lembaga eksekutif ini hingga akhirnya ia tertembak tepat dihari Idul Adha. Zainul tak mampu bertahan hingga ia mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 53 tahun. Jenazahnya lekas dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Pemerintah Indonesia kemudian memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional tepat dua hari selepas kepergiannya.
Zainul Arifin yakni anak tunggal keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Dia menyelesaikan HIS [Hollands Indische School] serta Normal School, sekolah guru, di Jambi. Dia juga belajar agama di Madrasah serta berlatih pencak silat. Saat usia 16 tahun, ia merantau ke Batavia. Di kota ini, ia bekerja selaku pegawai Gemeente [pegawai Kotapraja]. Dia cuma bertahan lima tahun, setelahnya ia aktif selaku guru di Meester Cornelis [Jatinegara], mendirikan kelompok sandiwara musikal tradisional Betawi Tonil Zainul serta giat pula dalam gerakan pemuda Ansor hingga menjadi pengurus NU [Nahdatul Ulama] hingga datangnya Jepang pada 1942.
Pemerintah Pendudukan Jepang melarang partai-partai politik berdiri. NU tak luput dari larangan ini. Jepang lalu mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia [Masyumi] selaku satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul memasuki organisasi ini serta diangkat selaku Kepala Bagian Umum. Di masa ini pula ia mengikuti latihan militer selama dua bulan, kemudian diangkat menjadi Panglima Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yang anggota-anggotanya terdiri atas pemuda-pemuda Islam.
Baca Juga
Selepas Proklamasi Kemerdekaan, ia tetap duduk dalam Pucuk Pimpinan Hizbullah. Laskar ini kemudian digabungkan ke dalam Tentara Nasional Indonesia [TNI]. Setelah penggabungan ini, ia diangkat selaku sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. tidak cuma itu, ia duduk pula selaku anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat [BK KNIP]. Sesudah Pengakuan Kedaulatan, ia diangkat menjadi anggota DPRS [Dewan Perwakilan Rakyat Sementara] dari tahun 1950-1953. Dia juga pernah duduk selaku Wakil II Perdana Menteri. Selepas pembubaran dewan Konstituante selepas dekrit presiden 5 Juli 1959 serta terbentuk DPRGR [DPR Gotong Royong], Zainul diangkat menjadi Ketuanya.
Dia terus berkiprah dalam lembaga eksekutif ini hingga akhirnya ia tertembak tepat dihari Idul Adha. Zainul tak mampu bertahan hingga ia mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 53 tahun. Jenazahnya lekas dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Pemerintah Indonesia kemudian memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional tepat dua hari selepas kepergiannya.