Kiai Haji Zainal Mustafa: Penentang Jepang Dari Singaparna
Jumat, September 13, 2019
Saat Jepang datang, ia menentang seikeirei [memberi hormat dengan menundukkan kepala ke arah matahari terbit]. Perbuatan musyrik yang bertentangan dengan ajaran Islam sebab mendewakan matahari. Pengerahan Romusa [pekerja paksa] juga ditentangnya. Dia membentuk pasukan tempur dari pesantren Sukamanah serta melancarkan perlawanan bersenjata terhadap tentara Jepang. Muridmurid pesantrennya disuruh berpuasa buat mempertebal iman serta berlatih keras Pencak Silat. Sesuai rencana, perlawanan dimulai pada 25 Februari 1944. Sehari sebelum itu, datang utusan Jepang dari Tasikmalaya meminta berunding. Utusan itu lekas disandera serta ia lekas menyampaikan ultimatum supaya tanggal 25 Februari 1944, Jepang memerdekakan pulau Jawa. Jepang tidak terima serta perang akhirnya berkobar. Sang ulama penyeru perang ini melihat fasisme Jepang lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Zaenal Mustofa bernama asli Umri atau Hudaemi. Dia lahir dari keluarga petani berkecukupan, pasangan Nawapi serta Ratmah. Dia memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Lalu melanjutkan pendidikan ke pesantren Gunung Pari. Dia kemudian mondok di Pesantren Cilenga serta di Pesantren Sukamiskin Bandung. Selama hampir 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lain. Oleh sebab itu, ia mahir bahasa Arab serta mempunyai pengetahuan agama yang luas. Pada 1927, ia pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji serta sekembalinya ke kampung halaman mengubah namanya menjadi Zaenal Mustofa
Zaenal Mustofa kemudian mendirikan sebuah pesantren dengan nama Pesantren Sukamanah. Melalui pesantren itu ia hendak memajukan masyarakat Islam serta menyebarluaskan agama Islam. Dia sering mengadakan ceramah agama ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya. Maka sebutan kiai akhirnya melekat dengan namanya. Dia tumbuh menjadi pemimpin serta anutan yang karismatik, patriotik, serta berpandangan jauh ke depan. Pada 1933, ia masuk Nahdhatul Ulama (NU) serta diangkat selaku wakil NU Tasikmalaya. Namanya makin diketahui serta setiap berceramah, ia selalu menanamkan semangat kebangsaan serta menentang penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda menjadi curiga serta menuduhnya menghasut rakyat buat memberontak terhadap pemerintah. Pada 17 November 1941 ia ditangkap serta dimasukkan ke penjara Tasikmalaya serta di pindah ke Sukamiskin Bandung. Awal tahun 1942, ia dibebaskan. Akan tetapi, pada Februari 1942, ia kembali ditangkap dengan tuduhan sama dengan sebelumnya serta lekas masuk penjara Ciamis.
Sang kyai baru bebas setelah Belanda menyerah pada fasisme Jepang. Di masa Jepang inilah kebencian Mustofa makin besar terhadap penjajahan. Dia merasa Jepang justru lebih kejam dari Belanda. Dia selalu menentang kebijakan pemerintah Jepang. Dia menentang seikerei kesatu kali ketika semua alim ulama Singaparna berkumpul di alun-alun serta melakukannya. Dia juga dengan gigih menentang penggunaan tenaga secara paksa buat Jepang [Romusa].
Mustofa lekas mengadakan perlawanan. Menyiapkan santrinya menjadi laskar pejuang dengan senjata seadanya serta bekal ilmu bela diri pencak silat yang diberikannya di pesantren. Mustofa lekas bergerak. Rencananya, laskar singaparna ini bakal menculik para petinggi Jepang, menyelenggarakan sabotase, serta membebaskan tawanan Jepang. Akan tetapi, rencana ini bocor serta Jepang mengirim utusan ke pesantren. Utusan ini justru tertawan lalu keesokan harinya muncul opsir Jepang yang membuat keributan. Perkelahian terjadi, tiga opsir tewas serta satu orang melarikan diri. Mustofa lekas memberi ultimatum kepada pemerintah Jepang buat memerdekakan Pulau Jawa terhitung hari itu juga, 25 Februari 1944.
Pemerintah Jepang menjawabnya dengan mengirim pasukan yang besar ke pesantren Sukamanah. Pertempuran sengit tidak bisa dihindari serta pesantren Sukamanah diduduki tentara Jepang. Mustofa tertangkap serta pesantrennya lekas ditutup paksa oleh militer Jepang. Sang ulama yang tertangkap lekas dibawa Jepang ke Jakarta. Pada 25 Oktober 1944, Kyai Haji Zaenal Mustofa dijatuhi hukuman mati. Dia dieksekusi serta jenazahnya dikubur di pemakaman Belanda Ancol.
Atas jasa-jasanya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional pada Kyai Haji Zaenal Mustofa pada 1972. Setahun berselang, kuburannya di Ancol kemudian dipindahkan ke makam Sukamanah Singaparna Tasikmalaya.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional
Zaenal Mustofa bernama asli Umri atau Hudaemi. Dia lahir dari keluarga petani berkecukupan, pasangan Nawapi serta Ratmah. Dia memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Lalu melanjutkan pendidikan ke pesantren Gunung Pari. Dia kemudian mondok di Pesantren Cilenga serta di Pesantren Sukamiskin Bandung. Selama hampir 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lain. Oleh sebab itu, ia mahir bahasa Arab serta mempunyai pengetahuan agama yang luas. Pada 1927, ia pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji serta sekembalinya ke kampung halaman mengubah namanya menjadi Zaenal Mustofa
Zaenal Mustofa kemudian mendirikan sebuah pesantren dengan nama Pesantren Sukamanah. Melalui pesantren itu ia hendak memajukan masyarakat Islam serta menyebarluaskan agama Islam. Dia sering mengadakan ceramah agama ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya. Maka sebutan kiai akhirnya melekat dengan namanya. Dia tumbuh menjadi pemimpin serta anutan yang karismatik, patriotik, serta berpandangan jauh ke depan. Pada 1933, ia masuk Nahdhatul Ulama (NU) serta diangkat selaku wakil NU Tasikmalaya. Namanya makin diketahui serta setiap berceramah, ia selalu menanamkan semangat kebangsaan serta menentang penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda menjadi curiga serta menuduhnya menghasut rakyat buat memberontak terhadap pemerintah. Pada 17 November 1941 ia ditangkap serta dimasukkan ke penjara Tasikmalaya serta di pindah ke Sukamiskin Bandung. Awal tahun 1942, ia dibebaskan. Akan tetapi, pada Februari 1942, ia kembali ditangkap dengan tuduhan sama dengan sebelumnya serta lekas masuk penjara Ciamis.
Sang kyai baru bebas setelah Belanda menyerah pada fasisme Jepang. Di masa Jepang inilah kebencian Mustofa makin besar terhadap penjajahan. Dia merasa Jepang justru lebih kejam dari Belanda. Dia selalu menentang kebijakan pemerintah Jepang. Dia menentang seikerei kesatu kali ketika semua alim ulama Singaparna berkumpul di alun-alun serta melakukannya. Dia juga dengan gigih menentang penggunaan tenaga secara paksa buat Jepang [Romusa].
Mustofa lekas mengadakan perlawanan. Menyiapkan santrinya menjadi laskar pejuang dengan senjata seadanya serta bekal ilmu bela diri pencak silat yang diberikannya di pesantren. Mustofa lekas bergerak. Rencananya, laskar singaparna ini bakal menculik para petinggi Jepang, menyelenggarakan sabotase, serta membebaskan tawanan Jepang. Akan tetapi, rencana ini bocor serta Jepang mengirim utusan ke pesantren. Utusan ini justru tertawan lalu keesokan harinya muncul opsir Jepang yang membuat keributan. Perkelahian terjadi, tiga opsir tewas serta satu orang melarikan diri. Mustofa lekas memberi ultimatum kepada pemerintah Jepang buat memerdekakan Pulau Jawa terhitung hari itu juga, 25 Februari 1944.
Pemerintah Jepang menjawabnya dengan mengirim pasukan yang besar ke pesantren Sukamanah. Pertempuran sengit tidak bisa dihindari serta pesantren Sukamanah diduduki tentara Jepang. Mustofa tertangkap serta pesantrennya lekas ditutup paksa oleh militer Jepang. Sang ulama yang tertangkap lekas dibawa Jepang ke Jakarta. Pada 25 Oktober 1944, Kyai Haji Zaenal Mustofa dijatuhi hukuman mati. Dia dieksekusi serta jenazahnya dikubur di pemakaman Belanda Ancol.
Atas jasa-jasanya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional pada Kyai Haji Zaenal Mustofa pada 1972. Setahun berselang, kuburannya di Ancol kemudian dipindahkan ke makam Sukamanah Singaparna Tasikmalaya.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional