Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo: Gugur Selaku Pahlawan Revolusi
Kamis, Agustus 08, 2019
Pahlawan Revolusi Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 23 Agustus 1922. ia menamatkan sekolah umum di Algemeene Middelbare School (AMS). Pada masa pendudukan Jepang mengikuti pelatihan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi Jakarta, lalu diterima menjadi pegawai negeri di kantor Kabupaten Purworejo namun mengundurkan diri dengan hormat pada tahun 1944. Sesudah proklamasi 1945 ia masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian kepolisian, yang kemudian berkembang menjadi Corps Polisi Militer (CPM). Pada Juni 1946 diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto yang dikala itu menjadi Komandan Polisi Tentara (PT). Dari situ ia dipindahtugaskan ke Purworejo buat menjabat selaku Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo. Jabatan lain yang pernah ditugaskan padanya dalam kurun 1945 hingga 1950 yakni Kepala Staf CPM Yogyakarta serta Komandan CPM Detasemen III Surakarta.
Empat tahun sesudah Indonesia mendapat kedaulatan penuh, Sutoyo naik pangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer. Dua tahun kemudian ia bertugas di London selaku Asisten Atase Militer Republik Indonesia buat Inggris. Sekembalinya ke tanah air, ia mendapat Kursus C Sekolah Staf serta Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung sebelum diangkat menjadi Pejabat Sementara Inspektur Kehakiman Angkatan Darat (Irkeh AD). Berkat pengetahuan serta pengalaman yang luas di bidang hukum, pada 1961 ia diserahi tugas selaku Inspektur Kehakiman/Oditur
Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD).
Di pertengahan tahun 1960-an, kondisi perpolitikan Indonesia memanas dikarenakan rencana pembentukan angkatan kelima dimana buruh tani bakal dilengkapi dengan senjata. Sutoyo yaitu salah satu jenderal yang turut menolak kebijakan tersebut. Hingga terjadi tragedi, tanggal 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00, rumahnya didatangi satu peleton pasukan Cakrabirawa pimpinan Serma Surono. Lalu dua orang pratu memasuki kamarnya serta berkata apabila ia mendapat panggilan presiden. Dengan kawalan, kemudian Sutoyo dibawa pergi. Beberapa hari kemudian ia ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa bersamaan dengan jenderal Angkatan Darat lain di Lubang Buaya. Peristiwa penculikan jenderal AD tersebut dikenang dengan G30S.
Empat tahun sesudah Indonesia mendapat kedaulatan penuh, Sutoyo naik pangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer. Dua tahun kemudian ia bertugas di London selaku Asisten Atase Militer Republik Indonesia buat Inggris. Sekembalinya ke tanah air, ia mendapat Kursus C Sekolah Staf serta Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung sebelum diangkat menjadi Pejabat Sementara Inspektur Kehakiman Angkatan Darat (Irkeh AD). Berkat pengetahuan serta pengalaman yang luas di bidang hukum, pada 1961 ia diserahi tugas selaku Inspektur Kehakiman/Oditur
Di pertengahan tahun 1960-an, kondisi perpolitikan Indonesia memanas dikarenakan rencana pembentukan angkatan kelima dimana buruh tani bakal dilengkapi dengan senjata. Sutoyo yaitu salah satu jenderal yang turut menolak kebijakan tersebut. Hingga terjadi tragedi, tanggal 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00, rumahnya didatangi satu peleton pasukan Cakrabirawa pimpinan Serma Surono. Lalu dua orang pratu memasuki kamarnya serta berkata apabila ia mendapat panggilan presiden. Dengan kawalan, kemudian Sutoyo dibawa pergi. Beberapa hari kemudian ia ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa bersamaan dengan jenderal Angkatan Darat lain di Lubang Buaya. Peristiwa penculikan jenderal AD tersebut dikenang dengan G30S.